Perspektif Baru Konflik Polri-KPK

Jum'at, 13 Februari 2015 - 10:00 WIB
Perspektif Baru Konflik...
Perspektif Baru Konflik Polri-KPK
A A A
Wahyu T Setyobudi
Pengajar dan Peneliti PPM School of Management

Roller coaster, tampaknya analogi yang sempurna untuk menggambarkan hubungan antara Polri dan KPK beberapa pekan ke belakang ini.

Naik-turun, menikung dengan curam, melandai, namun tiba-tiba menanjak untuk kemudian menukik tajam. Dimulai dari penetapan yang mengejutkan Komjen Budi Gunawan (BG) sebagai tersangka oleh KPK di tengah-tengah euforia pencalonan tunggalnya sebagai kepala Polri, serentetan peristiwa saling sambung terkait.

Hingga saat ini seluruh petinggi KPK telah dilaporkan dan menjadi tersangka atau akan segera menjaditersangka. Tanpa mengecilkan peran Kompolnas, Tim Sembilan dan berbagai pihak lain yang ikut riuh-rendah meramaikan situasi sepertinya harapan akan berakhirnya konflik ini masih belum jelas adanya.

Masyarakat berbeda pendapat mengenai hubungan panas tersebut. Ada yang secara terang-terangan mendukung pihak tertentu, lengkap dengan urat leher yang ditarik kencang untuk membela. Ada pula yang bersedih atas situasi tegang ini dan mengambil posisi plegmatis dengan hashtag saveKPK dan savePolri. Sebagian besar lainnya, antara jenuh dan tidak terlalu peduli.

Bagi mereka, konflik ini tak lebih dari satu di antara pengisi berita. Apa pun yang terjadi, asalkan bisnis masih berjalan, pekerjaan masih dapat dikerjakan, life must go on. Saya tak hendak ikut-ikutan membahas keadaan ini dengan kacamata politik atau sosial, yang memang bukan bidang keahlian saya. Namun, fakta konflik ini justru sangat menggelitik jika dipandang sebagai kasus umum yang terjadi di sebuah organisasi.

Jika negara adalah suatu organisasi raksasa, konflik Polri-KPK dapat dipandang dalam suatu perspektif dinamika organisasi. KPK dan Polri merupakan organ vital dalam kehidupan berbangsa. Bagaikan organorgan tubuh yang saling bersaing menunjukkan siapa paling penting fungsinya, akhirnya akan sadar, bahwa sekecil apa pun peran organ itu pasti memiliki keutamaan untuk menjaga napas k e h i d u p a n .

Tanpa KPK atau Polri, r a s a n y a para penjahat korupsi akan merajalela. Dengan demikian, harmoni dan keselarasan gerak keduanya sangat dibutuhkan tanpa mengutamakan satu di atas yang lain. Setidaknya ada empat tahapan utama dalam dinamika suatu organisasi yaitu forming (pembentukan), storming (munculnya konflik), norming (penetapan aturan baru), dan performing (tahap menunjukkan kinerja).

Sesaat setelah terbentuk, organisasi akan mencari cara terbaik mencapai tujuan melalui kerja dari sub-sub organisasinya. Dengan rentang tugas dan wewenang serta cara pandang yang berbeda-beda, tak jarang muncullah gesekan antarsub organisasi. Di sinilah muncul konflik. Beberapa hal yang perlu diingat adalah konflik muncul karena kedua pihak memiliki cara yang berbeda untuk mencapai tujuan.

Tujuannya sama, caranya berbeda. Jika kita memaknai konflik dengan cara ini, sedikit-banyak ketegangan dapat dikurangi. Dua pihak yang berkonflik dalam organisasi pada dasarnya menginginkan kebaikan di level visi, namun berbeda dalam menentukan pelaksanaannya. Selain daripada hal tersebut, forming adalah tahap penting sebelum munculnya performing.

Tak ada perbaikan kinerja tanpa konflik. Organisasi yang adem ayem, menghindari konflik, dan selalu setuju dengan pendapat bagian lain niscaya akan mengalami kemandekan pertumbuhan dan inovasi yang terbonsai. Dinamika seperti ini tidak akan mampu menandingi dinamika industri dan lingkungan bisnis yang berubah demikian cepat.

Michael Porter, seorang pemikir tersohor di bidang manajemen, malah mengatakan dengan singkat, “chaos is now the new normality “, untuk menggambarkan turbulensi perubahan di lingkungan bisnis. Memaknai negara sebagai organisasi raksasa, dapat menawarkan perspektif baru dalam memandang konflik Polri- KPK ini. Pertama, kedua lembaga diciptakan oleh karsa manusia, seluruh rakyat Indonesia, untuk mengemban amanat penegakan hukum.

Dengan demikian, keduanya memegang mimpi bersama untuk mewujudkan negara bebas korupsi. Di titik ini keduanya memiliki persamaan. Konflik yang saat ini terjadi tentunya membuka peluang untuk melakukan perbaikan di masingmasing institusi dan pembenahan pola hubungan antarinstitusi tersebut. Tidak ada yang paling baik meneliti kelemahan suatu lembaga selain pihak yang sedang berseteru.

Konflik ini hendaknya menjadi upaya untuk menginventarisasi seluruh kelemahan sistem dan pola hubungan antarlembaga agar digunakan sebagai alat berbenah. Kedua, konflik ini dibutuhkan untuk meningkatkan kinerja jika—dan hanya jika—- konflik memiliki sifat fungsional dan bukan konflik yang disfungsional. Konflik yang bersifat fungsional berorientasi pada data, fakta, alat bukti, dan fokus pada masalah.

Sebaliknya, konflik yang bersifat disfungsional bertumpu pada emosi, dendam pribadi, prasangka, dan fokus pada personal. Jika konflik fungsional bisa kita harapkan membawa peningkatan kinerja, konflik disfungsional justru mendorong pada tersungkurnya kinerja. Seluruh pemain yang kali ini berada di panggung publik sedang memainkan peran masing-masing.

Dengan memperhatikan statement, gerakan, dan manuvernya, masyarakat dan penyelenggara kekuasaan akan menilai, mana yang memiliki kedewasaan untuk menjaga konflik fungsional atau mana yang justru menunjukkan koreng-koreng kepribadian sehingga membakar konflik disfungsional. Jikaseluruhtokohtelahbermain, terang-benderanglah siapa saja yang harus tereliminasi demi kelangsungan kenegaraan.

Jika demikian, peran pemegang kekuasaan tertinggi, pimpinan sekaligus konduktor dalam orkestrasi negara yaitu Presiden, sangatlah berat. Kemampuan Presiden untuk menjadi katalisator bagi transformasi dua lembaga penting ini sepanjang jalannya dari proses storming ke performing sedang diuji. Proses ini memerlukan pandangan yang tajam dan keberpihakan pada objektivitas fakta dan data sehingga perlu dilakukan penyaringan terhadap para pelaku konflik di masing-masing institusi.

Paling tidak, para pelaku di dalam institusi itu dapat dibedakan dalam dua dimensi utama. Dimensi pertama adalah kemampuannya untuk tetap fokus pada konflik fungsional. Sifatnya objektif dan berbasis data.

Dimensi kedua adalah pengaruh dan kemampuan transformasinya. Mereka yang masuk dalam kuadran pertama yakni memiliki kemampuan transformasi dan fokus pada konflik fungsional adalah calon-calon pemimpin yang diharapkan mampu mengambil peran lebih besar. Sedangkan mereka yang lemah di dua dimensi ini perlu diisolasi melalui sistem yang ada. Proses filterisasi pelaku seperti ini akan membawa perubahan besar dalam pola konflik.

Masyarakat yang harapharap cemas dengan perkembangan ini tentu menanti tindakan nyata dari pemimpin tertinggi. Jika dikaitkan dengan revolusi mental, mentalitas memandang konflik Polri-KPK sebagai hal positif yang membuka peluang untuk mencapai level kinerja baru yang lebih tinggi.

Hanya dengan cara itu, kita menghiasi perbedaan dengan harapan dan bisa mengharap jalan di depan lebih terang. Maju terus bangsaku.
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0686 seconds (0.1#10.140)