Zona Bebas Motor, Solusi yang Solutif?
A
A
A
Pemprov DKI Jakarta telah memberlakukan zona larangan sepeda motor di Jalan MH Thamrin-Medan Merdeka Barat. Tujuannya mengurangi kemacetan dan kecelakaan lalu lintas. Efektifkah? Bagaimana reaksi masyarakat?
Dimulai masa uji coba selama sebulan sejak 17 Desember 2014-17 Januari 2015, larangan sepeda motor hasil kebijakan keluaran Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) resmi diberlakukan.
Usai masa uji coba, sanksi tilang mulai diberlakukan bagi pengendara sepeda motor yang kedapatan melintas di Jalan MH Thamrin (Bundaran HI)-Medan Merdeka Barat dan sebaliknya. Konsekuensi kebijakan itu, para pengendara sepeda motor harus memutar mencari jalanjalan alternatif atau memarkirkan kendaraan serta melanjutkan perjalanan dengan angkutan massal.
Sebagai kompensasi atas aturan ini, Pemprov DKI Jakarta telah menyediakan area parkir. Hasilnya? Meski sudah melalui masa uji coba selama sebulan, nyatanya masih banyak pengendara yang kedapatan melintasi zona larangan tersebut. Dua hari pemberlakuan aturan yang dikeluarkan melalui Pergub No 195/2014 tentang Pembatasan Lalu Lintas Sepeda Motor ini, polisi telah menilang 264 pengendara motor (KORAN SINDO, 20/1/2015).
Sejak awal dikumandangkan, rencana ini memang sudah menuai pro dan kontra. KORAN SINDO menyelenggarakan jajak pendapat untuk merekam perdebatan masyarakat tersebut. Hasilnya, dari 400 responden yang dilibatkan, sebanyak 45,4% orang mendukung aturan ini. Mereka yang menolak mencapai 32,5%, ragu-ragu (16,3%), dan tidak menjawab (5,8%). Dari hasil ini tergambar publik yang menolak dan memberikan jawaban ragu-ragu mencapai 48,8%, lebih besar dari responden yang mendukung.
Bagi sebagian responden, program ini momok lantaran mobilitas para pengendara motor semakin sulit. Sementara solusi yang ditawarkan semisal penggunaan angkutan umum tidak cukup mampu menarik hati para pengendara motor untuk berpaling. Masih buruknya pelayanan, keamanan, serta jumlah armada yang tidak memadai membuat mereka tetap memilih menggunakan sepeda motor.
Penolakan juga karena sepeda motor dinilai lebih ekonomis dibandingkan dengan biaya yang harus mereka keluarkan untuk naik angkutan umum. Masyarakat lebih memilih membeli sepeda motor dengan harga bahan bakar (BBM) sekian rupiah ketimbang harus membayar ongkos angkutan umum. Terlebih harga sepeda motor juga kian terjangkau. “Jatuhnya akan lebih mahal kalau naik angkutan umum. Jadi saya tetap pilih motor. Bisa menghemat banyak, baik uang maupun tenaga,” kata Tieto, karyawan swasta.
“Aroma” diskriminasi juga dirasa para pengguna motor terkait aturan ini. Itu juga diungkapkan pengamat transportasi Yayat Supriatna ada indikasi ketidakadilan dalam kebijakan ini. “Tentu ini akan menimbulkan pertanyaan dari pengguna sepeda motor, kok mobil boleh lewat? Kami gak boleh?” tuturnya.
Alasan-alasan ini juga yang membuat 40,8% responden sepakat menolak rencana perluasan zona pelarangan sepeda motor seperti yang tengah dikaji pemerintah. Beberapa ruas jalan protokol yang rencananya menjadi area terlarang bagi sepeda motor meliputi Jalan Sudirman, Jalan Rasuna Said, Jalan Gatot Subroto (Balai Kartini-Slipi), Monas-Kota Tua, serta Jalan Hayam Wuruk.
Di sisi lain, aturan ini juga mendapat dukungan dengan harapan bisa menjadi suatu terobosan dalam mengurangi kesemrawutanlalulintasJakarta yang sudah sangat memprihatinkan. Pun, tingginya tingkatkecelakaansepeda motor juga melatarbelakangi dukungan terhadap kebijakan ini.
Transportasi Umum Kunci Penting
Berdasarkan metode penghitungan tingkat kemacetan lalu lintas bernama Highway Capacity Manual (HCM), rasio kemacetan di Jakarta dapat dikatakan sangat tinggi. Dari catatan Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya, jumlah kendaraan yang melintas tiap hari di Jakarta (tahun 2013) adalah 16.043.689 unit dengan kapasitas luas jalan raya sekitar 40,1 km.
Dari 16.043.689 kendaraan tersebut, 11.929.103 unit sepeda motor dan 3.003.499 mobil pribadi. Sedangkan angkutan publik seperti bus 360.022 unit, 617.635 mobil barang, dan 133.430 kendaraan khusus. Maraknya penggunaan kendaraan pribadi juga tak lepas dari banyak faktor. Penawaran menarik dari para produsen industri sepeda motor ditambah promosi dan kemudahan kredit membuat hampir setiap rumah (keluarga) di Indonesia tergoda memiliki sepeda motor.
Didukung peningkatan pertumbuhan pendapatan per kapita, itu berdampak pada kemampuan daya beli yang pada akhirnya memengaruhi gaya hidup. Satu rumah tangga bisa memiliki 2-3 unit sepeda motor. Moda transportasimassalsebenarnya mampu memainkan kunci penting untuk mengontrol volume penggunaan kendaraan pribadi. Sayangnya, angkutan umum belum terlalu dilirik.
Banyak alasan minimnya minat masyarakat menggunakan transportasi umum. Keluhan terbanyak adalah belum terpenuhinya kenyamanan, keamanan, serta ketersediaan jumlah armada. Hasil polling menunjukkan ketidakpuasan masyarakat yang selama ini berhubungan dengan pelayanan transportasi massal di Jakarta. Publik yang tidak puas mencapai 43,5%. Mereka yang menjawab puas hanya 7,8% responden. Sementara yang cukup puas sebesar 40,0% dan sisanya menjawab tidak tahu.
Menurut Yayat, sebelum transportasi publik dibangun harus ada sarana dan prasarana yang mendukung meliputi jalan, halte, atau trotoar. Semua sudah harus tersedia lengkap agar ketika sarana terbentuk, prasarananya sudah siap menopang.
Hunaifi masoed
Dimulai masa uji coba selama sebulan sejak 17 Desember 2014-17 Januari 2015, larangan sepeda motor hasil kebijakan keluaran Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) resmi diberlakukan.
Usai masa uji coba, sanksi tilang mulai diberlakukan bagi pengendara sepeda motor yang kedapatan melintas di Jalan MH Thamrin (Bundaran HI)-Medan Merdeka Barat dan sebaliknya. Konsekuensi kebijakan itu, para pengendara sepeda motor harus memutar mencari jalanjalan alternatif atau memarkirkan kendaraan serta melanjutkan perjalanan dengan angkutan massal.
Sebagai kompensasi atas aturan ini, Pemprov DKI Jakarta telah menyediakan area parkir. Hasilnya? Meski sudah melalui masa uji coba selama sebulan, nyatanya masih banyak pengendara yang kedapatan melintasi zona larangan tersebut. Dua hari pemberlakuan aturan yang dikeluarkan melalui Pergub No 195/2014 tentang Pembatasan Lalu Lintas Sepeda Motor ini, polisi telah menilang 264 pengendara motor (KORAN SINDO, 20/1/2015).
Sejak awal dikumandangkan, rencana ini memang sudah menuai pro dan kontra. KORAN SINDO menyelenggarakan jajak pendapat untuk merekam perdebatan masyarakat tersebut. Hasilnya, dari 400 responden yang dilibatkan, sebanyak 45,4% orang mendukung aturan ini. Mereka yang menolak mencapai 32,5%, ragu-ragu (16,3%), dan tidak menjawab (5,8%). Dari hasil ini tergambar publik yang menolak dan memberikan jawaban ragu-ragu mencapai 48,8%, lebih besar dari responden yang mendukung.
Bagi sebagian responden, program ini momok lantaran mobilitas para pengendara motor semakin sulit. Sementara solusi yang ditawarkan semisal penggunaan angkutan umum tidak cukup mampu menarik hati para pengendara motor untuk berpaling. Masih buruknya pelayanan, keamanan, serta jumlah armada yang tidak memadai membuat mereka tetap memilih menggunakan sepeda motor.
Penolakan juga karena sepeda motor dinilai lebih ekonomis dibandingkan dengan biaya yang harus mereka keluarkan untuk naik angkutan umum. Masyarakat lebih memilih membeli sepeda motor dengan harga bahan bakar (BBM) sekian rupiah ketimbang harus membayar ongkos angkutan umum. Terlebih harga sepeda motor juga kian terjangkau. “Jatuhnya akan lebih mahal kalau naik angkutan umum. Jadi saya tetap pilih motor. Bisa menghemat banyak, baik uang maupun tenaga,” kata Tieto, karyawan swasta.
“Aroma” diskriminasi juga dirasa para pengguna motor terkait aturan ini. Itu juga diungkapkan pengamat transportasi Yayat Supriatna ada indikasi ketidakadilan dalam kebijakan ini. “Tentu ini akan menimbulkan pertanyaan dari pengguna sepeda motor, kok mobil boleh lewat? Kami gak boleh?” tuturnya.
Alasan-alasan ini juga yang membuat 40,8% responden sepakat menolak rencana perluasan zona pelarangan sepeda motor seperti yang tengah dikaji pemerintah. Beberapa ruas jalan protokol yang rencananya menjadi area terlarang bagi sepeda motor meliputi Jalan Sudirman, Jalan Rasuna Said, Jalan Gatot Subroto (Balai Kartini-Slipi), Monas-Kota Tua, serta Jalan Hayam Wuruk.
Di sisi lain, aturan ini juga mendapat dukungan dengan harapan bisa menjadi suatu terobosan dalam mengurangi kesemrawutanlalulintasJakarta yang sudah sangat memprihatinkan. Pun, tingginya tingkatkecelakaansepeda motor juga melatarbelakangi dukungan terhadap kebijakan ini.
Transportasi Umum Kunci Penting
Berdasarkan metode penghitungan tingkat kemacetan lalu lintas bernama Highway Capacity Manual (HCM), rasio kemacetan di Jakarta dapat dikatakan sangat tinggi. Dari catatan Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya, jumlah kendaraan yang melintas tiap hari di Jakarta (tahun 2013) adalah 16.043.689 unit dengan kapasitas luas jalan raya sekitar 40,1 km.
Dari 16.043.689 kendaraan tersebut, 11.929.103 unit sepeda motor dan 3.003.499 mobil pribadi. Sedangkan angkutan publik seperti bus 360.022 unit, 617.635 mobil barang, dan 133.430 kendaraan khusus. Maraknya penggunaan kendaraan pribadi juga tak lepas dari banyak faktor. Penawaran menarik dari para produsen industri sepeda motor ditambah promosi dan kemudahan kredit membuat hampir setiap rumah (keluarga) di Indonesia tergoda memiliki sepeda motor.
Didukung peningkatan pertumbuhan pendapatan per kapita, itu berdampak pada kemampuan daya beli yang pada akhirnya memengaruhi gaya hidup. Satu rumah tangga bisa memiliki 2-3 unit sepeda motor. Moda transportasimassalsebenarnya mampu memainkan kunci penting untuk mengontrol volume penggunaan kendaraan pribadi. Sayangnya, angkutan umum belum terlalu dilirik.
Banyak alasan minimnya minat masyarakat menggunakan transportasi umum. Keluhan terbanyak adalah belum terpenuhinya kenyamanan, keamanan, serta ketersediaan jumlah armada. Hasil polling menunjukkan ketidakpuasan masyarakat yang selama ini berhubungan dengan pelayanan transportasi massal di Jakarta. Publik yang tidak puas mencapai 43,5%. Mereka yang menjawab puas hanya 7,8% responden. Sementara yang cukup puas sebesar 40,0% dan sisanya menjawab tidak tahu.
Menurut Yayat, sebelum transportasi publik dibangun harus ada sarana dan prasarana yang mendukung meliputi jalan, halte, atau trotoar. Semua sudah harus tersedia lengkap agar ketika sarana terbentuk, prasarananya sudah siap menopang.
Hunaifi masoed
(ftr)