Riset di Pendidikan Tinggi Indonesia
A
A
A
PYAN AMIN
Mahasiswa Jurusan Ilmu Ekonomi,
Universitas Indonesia
Bagai macan ompong, institusi pendidikan tinggi Indonesia sering kali dianggap belum bisa memberikan hasil konkret untuk permasalahan negeri. Kiranya bangku kuliah masih berkutat pada pembahasan dan diskusi teori, sementara riset-riset yang dihasilkan masih sangat minim dan belum berdampak signifikan bagi masyarakat.
Padahal, penelitian dan pengabdian masyarakat merupakan bagian dari Tridarma Perguruan Tinggi. Tidak seperti pendidikan SD, SMP, atau SMA, perguruan tinggi bukan hanya tempat untuk belajarmengajar, namun tempat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan melalui penelitian. Sayangnya produktivitas perguruan tinggi dalam memublikasikan hasil riset masih rendah.
SCI mago mencatat pada 2013 Indonesia hanya bisa memublikasikan 4.175 jurnal ilmiah. Jangankan untuk mengejar negara sekelas Jepang (121.668), angka tersebut masih jauh di bawah Singapura (17.052), Thailand (11.313), dan Malaysia (23.190). Inilah salah satu hal yang menyebabkan perguruan tinggi Indonesia sulit menembus 100 besar universitas terbaik Asia (THE, 2014).
Pendidikan dan riset merupakan hal yang esensial untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan memajukan perekonomian. Studi Hassler (2007) menemukan bahwa masyarakat yang memiliki kemudahan akses pada pendidikan memiliki kesempatan dalam upward mobility yang lebih baik secara ekonomi.
Sementara itu, riset berguna untuk mengembangkan hasil dari pendidikan tersebut agar bisa diaplikasikan. Dalam sebuah studi, Yuen Ping Ho (2009) menyatakan bahwa aktivitas R&D (research and development ) secara positif memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Dalam kenyataannya, belum ada dukungan signifikan dari pemerintah.
Rasio jumlah peneliti per satu juta penduduk pada 2009, Indonesia hanya memiliki 199 peneliti, tertinggal dari negara tetangga seperti Malaysia (503), Thailand (292), dan Singapura (5.713). Pengeluaran pemerintah di bidang R&D juga masih rendah. Data yang dilansir Battelle (2014) menunjukkan bahwa pada 2012 pengeluaran pemerintah Indonesia untuk penelitian hanya mencapai 0,2% dari total GDP, jauh di bawah negara berkembang lain seperti Malaysia (0,8%), Brasil (1,3%), dan Afrika Selatan (1,0%).
Sementara itu, alokasi fiskal untuk dana riset di Indonesia juga hanya berada di kisaran 0,03% dari lebih dari APBN. Pelajar, peneliti, perguruan tinggi, dan pemerintah harus bisa bekerja sama dalam meningkatkan kuantitas dan kualitas riset. Sudah cukup dengan dijadikan kambing hitam atas buruknya kualitas sumber daya manusia. Dengan pengembangan riset, institusi pendidikan tinggi harus bisa menghasilkan karyakarya yang mampu menjawab permasalahan yang ada di masyarakat.
Mahasiswa Jurusan Ilmu Ekonomi,
Universitas Indonesia
Bagai macan ompong, institusi pendidikan tinggi Indonesia sering kali dianggap belum bisa memberikan hasil konkret untuk permasalahan negeri. Kiranya bangku kuliah masih berkutat pada pembahasan dan diskusi teori, sementara riset-riset yang dihasilkan masih sangat minim dan belum berdampak signifikan bagi masyarakat.
Padahal, penelitian dan pengabdian masyarakat merupakan bagian dari Tridarma Perguruan Tinggi. Tidak seperti pendidikan SD, SMP, atau SMA, perguruan tinggi bukan hanya tempat untuk belajarmengajar, namun tempat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan melalui penelitian. Sayangnya produktivitas perguruan tinggi dalam memublikasikan hasil riset masih rendah.
SCI mago mencatat pada 2013 Indonesia hanya bisa memublikasikan 4.175 jurnal ilmiah. Jangankan untuk mengejar negara sekelas Jepang (121.668), angka tersebut masih jauh di bawah Singapura (17.052), Thailand (11.313), dan Malaysia (23.190). Inilah salah satu hal yang menyebabkan perguruan tinggi Indonesia sulit menembus 100 besar universitas terbaik Asia (THE, 2014).
Pendidikan dan riset merupakan hal yang esensial untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan memajukan perekonomian. Studi Hassler (2007) menemukan bahwa masyarakat yang memiliki kemudahan akses pada pendidikan memiliki kesempatan dalam upward mobility yang lebih baik secara ekonomi.
Sementara itu, riset berguna untuk mengembangkan hasil dari pendidikan tersebut agar bisa diaplikasikan. Dalam sebuah studi, Yuen Ping Ho (2009) menyatakan bahwa aktivitas R&D (research and development ) secara positif memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Dalam kenyataannya, belum ada dukungan signifikan dari pemerintah.
Rasio jumlah peneliti per satu juta penduduk pada 2009, Indonesia hanya memiliki 199 peneliti, tertinggal dari negara tetangga seperti Malaysia (503), Thailand (292), dan Singapura (5.713). Pengeluaran pemerintah di bidang R&D juga masih rendah. Data yang dilansir Battelle (2014) menunjukkan bahwa pada 2012 pengeluaran pemerintah Indonesia untuk penelitian hanya mencapai 0,2% dari total GDP, jauh di bawah negara berkembang lain seperti Malaysia (0,8%), Brasil (1,3%), dan Afrika Selatan (1,0%).
Sementara itu, alokasi fiskal untuk dana riset di Indonesia juga hanya berada di kisaran 0,03% dari lebih dari APBN. Pelajar, peneliti, perguruan tinggi, dan pemerintah harus bisa bekerja sama dalam meningkatkan kuantitas dan kualitas riset. Sudah cukup dengan dijadikan kambing hitam atas buruknya kualitas sumber daya manusia. Dengan pengembangan riset, institusi pendidikan tinggi harus bisa menghasilkan karyakarya yang mampu menjawab permasalahan yang ada di masyarakat.
(bbg)