Pulihkan Citra KPK dan Polri
A
A
A
MARWAN MAS
Guru Besar Ilmu Hukum,
Universitas Bosowa 45,
Makassar
Tidak mungkin dimungkiri, kisruh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri membuat citra dan wibawa kedua lembaga penegak hukum tergerus. Publik melihat KPK dan Polri saling berhadapan, padahal yang diduga bermasalah hanya individu.
Yang terjadi saat ini adalah yang ketiga kalinya, sehingga seharusnya sudah diketahui akar masalahnya agar tidak melebar ke mana-mana. Rakyat butuh kepastian, rakyat butuh KPK untuk memberantas korupsi. Rakyat juga butuh Polri untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.
Yang paling kompeten menyelesaikan kisruh adalah Presiden Joko Widodo (Jokowi), tetapi terkesan lambat yang membuat perseteruan berkembang menjadi bola liar, bahkan cenderung mengarah pada fitnah yang tidak rasional. Misalnya tudingan rekayasa dan kriminalisasi, penetapan tersangka karena ada kepentingan politis, atau karena balas dendam.
Persoalan hukum atas status tersangka dan pelaporan dugaan tindak pidana harus berjalan sesuai hukum yang berlaku. Tudingan miring yang belum tentu benar itu membuat publik terbelah, ada yang gigih membela KPK dan ada juga yang mendukung Polri. Itu terlihat di kantor KPK saat Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto ditangkap penyidik Bareskrim Polri, dan saat sidang pertama praperadilan BG di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (2/2/ 2015).
Maka itu, tidak boleh membiarkan kedua institusi penegak hukum itu terus berhadap-hadapan, hanya karena persoalan individu yang sarat politisasi. Memang persoalan individu tidak bisa dilepaskan dari kaitannya dengan institusi lantaran merekalah yang menggerakkan pelaksanaan fungsi dan wewenang institusi, tetapi tidak boleh digiring menjadi perseteruan institusi.
Jalan Keluar
Agar rakyat kembali percaya kepada kedua penegak hukum itu harus ada jalan keluar karena pangkal persoalan selalu sama, yaitu proses hukum terhadap individu pejabatnya. Seteru pertama yang populer disebut ”cicak-buaya ” karena dua wakil ketua KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah (Bibit-Chandra), dijadikan tersangka dugaan penyalahgunaan wewenang oleh Bareskrim Polri.
Seteru kedua dan ketiga karena perwira tinggi Polri diproses hukum oleh KPK lantaran diduga terkait kasus korupsi. Mengembalikan citra dan wibawa keduanya, perlu menggelorakan ”save KPK, save Polri, save pemberantasan korupsi ”. Semua tudingan harus dibuktikan secara hukum tanpa intervensi. Paling tidak ada tiga solusi yang bisa dipilih untuk memulihkan citra KPKPolri sekaligus dapat melaksanakan fungsinya dengan baik.
Pertama, jika semua pimpinan KPK jadi tersangka, berarti mereka akan diberhentikan sementara dari jabatannya sesuai Pasal 32 ayat (2) UU Nomor 30/ 2002 tentang KPK. Dalam kondisi seperti itu, KPK akan lumpuh, tidak bisa melaksanakan fungsinya memberantas korupsi. Maka itu, Presiden Jokowi perlu mengeluarkan perppu pergantian sementara pimpinan KPK sampai selesai masa jabatannya Desember 2015.
Presiden juga membentuk panitia seleksi pimpinan KPK paling lambat enam bulan sebelum berakhir masa jabatan pimpinan KPK, untuk memilih calon komisioner KPK secara permanen. Tetapi melihat persoalan hukum yang menimpa pimpinan KPK terkait dugaan tindak pidana masa lalunya, perlu memikirkan jalan keluar agar tidak ada kesan mencari-cari kesalahan untuk sekadar dijadikan tersangka karena akan diberhentikan sementara dari jabatannya.
Wajar jika publik mulai mempertanyakan hasil verifikasi panitia seleksi calon pimpinan KPK dan uji kelayakan dan kepatutan DPR yang menganggap tidak ada persoalan moral dan persoalan hukum sehingga pimpinan KPK jilid ketiga dipilih. Kedua, Presiden segera mengajukan nama baru calon kapolri ke DPR untuk mendapat persetujuan dan segera dilantik. Jikapun BG menggugat praperadilan harus dihargai sebagai upaya mencari keadilan.
Polri harus dijaga citranya sebagai alat negara yang menjaga kamtibmas dengan tugas: melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum (Pasal 30 ayat (4) UUD 1945). Ketiga, Indonesia sebagai negara hukum yang ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, maka kasus BG, kasus BW, dan pimpinan KPK lain yang juga dilapor ke polisi harus diproses hukum secara profesional, transparan, dan objektif. Apalagi, Presiden Jokowi dalam konferensi pers (26/1/2015) meminta agar proses hukum di KPK dan Polri dilaksanakan secara transparan, terang benderang dan tidak ada kriminalisasi.
Saling Mendukung
Menyikapi seteru yang sudah memasuki ruang publik maka wajar kalau kalangan aktivis antikorupsi dan berbagai elemen masyarakat mendesak agar KPK tidak dilumpuhkan. Profesionalitas penyidik dan pimpinan KPK menjerat elite-elite politik dan pejabat negara yang diduga terlibat korupsi, menjadi taruhan apakah korupsi yang sudah menjadi penyakit kronis itu bisa dihentikan, atau paling tidak dikurangi intensitasnya.
Realitas di masyarakat tidak mungkin ditutupi, mereka sangat percaya pada KPK dalam pemberantasan korupsi. Tidak mengherankan apabila banyak elemen masyarakat di seluruh pelosok negeri yang rela berdiri di depan membela KPK. KPK dan Polri harus berada pada posisi setara dan saling mendukung dalam upaya pemberantasan korupsi. Seteru yang berlarut justru membuat para koruptor dan calon koruptor yang antre di berbagai institusi negara bersorak-sorai.
Salah satu upaya Presiden untuk menyatukan sikap kedua institusi itu dengan membentuk tim independen dari tokoh masyarakat yang berkompeten dan dikenal memiliki integritas tinggi. Tim itulah yang diharapkan membantu mencari solusi yang tepat guna mengakhiri perseteruan. Namun, tidak boleh ada intervensi terhadap perlaksanaan teknis penyidikan yang dilakukan kedua institusi hukum itu.
Akhirnya, untuk mengembalikan citra Polri, Presiden harus segera memilih dan melantik kapolri baru. Begitu pula KPK, harus dijaga dari kemungkinan tidak bisa melaksanakan tugas dan fungsinya. Keduanya harus diisi sosok yang tidak berpotensi menimbulkan persoalan di kemudian hari. Momentum seleksi pimpinan baru KPK pertengahan tahun ini, perlu dijadikan landasan untuk mencari pimpinan KPK yang betulbetul tidak punya beban masa lalu yang bisa diungkap.
Guru Besar Ilmu Hukum,
Universitas Bosowa 45,
Makassar
Tidak mungkin dimungkiri, kisruh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri membuat citra dan wibawa kedua lembaga penegak hukum tergerus. Publik melihat KPK dan Polri saling berhadapan, padahal yang diduga bermasalah hanya individu.
Yang terjadi saat ini adalah yang ketiga kalinya, sehingga seharusnya sudah diketahui akar masalahnya agar tidak melebar ke mana-mana. Rakyat butuh kepastian, rakyat butuh KPK untuk memberantas korupsi. Rakyat juga butuh Polri untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.
Yang paling kompeten menyelesaikan kisruh adalah Presiden Joko Widodo (Jokowi), tetapi terkesan lambat yang membuat perseteruan berkembang menjadi bola liar, bahkan cenderung mengarah pada fitnah yang tidak rasional. Misalnya tudingan rekayasa dan kriminalisasi, penetapan tersangka karena ada kepentingan politis, atau karena balas dendam.
Persoalan hukum atas status tersangka dan pelaporan dugaan tindak pidana harus berjalan sesuai hukum yang berlaku. Tudingan miring yang belum tentu benar itu membuat publik terbelah, ada yang gigih membela KPK dan ada juga yang mendukung Polri. Itu terlihat di kantor KPK saat Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto ditangkap penyidik Bareskrim Polri, dan saat sidang pertama praperadilan BG di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (2/2/ 2015).
Maka itu, tidak boleh membiarkan kedua institusi penegak hukum itu terus berhadap-hadapan, hanya karena persoalan individu yang sarat politisasi. Memang persoalan individu tidak bisa dilepaskan dari kaitannya dengan institusi lantaran merekalah yang menggerakkan pelaksanaan fungsi dan wewenang institusi, tetapi tidak boleh digiring menjadi perseteruan institusi.
Jalan Keluar
Agar rakyat kembali percaya kepada kedua penegak hukum itu harus ada jalan keluar karena pangkal persoalan selalu sama, yaitu proses hukum terhadap individu pejabatnya. Seteru pertama yang populer disebut ”cicak-buaya ” karena dua wakil ketua KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah (Bibit-Chandra), dijadikan tersangka dugaan penyalahgunaan wewenang oleh Bareskrim Polri.
Seteru kedua dan ketiga karena perwira tinggi Polri diproses hukum oleh KPK lantaran diduga terkait kasus korupsi. Mengembalikan citra dan wibawa keduanya, perlu menggelorakan ”save KPK, save Polri, save pemberantasan korupsi ”. Semua tudingan harus dibuktikan secara hukum tanpa intervensi. Paling tidak ada tiga solusi yang bisa dipilih untuk memulihkan citra KPKPolri sekaligus dapat melaksanakan fungsinya dengan baik.
Pertama, jika semua pimpinan KPK jadi tersangka, berarti mereka akan diberhentikan sementara dari jabatannya sesuai Pasal 32 ayat (2) UU Nomor 30/ 2002 tentang KPK. Dalam kondisi seperti itu, KPK akan lumpuh, tidak bisa melaksanakan fungsinya memberantas korupsi. Maka itu, Presiden Jokowi perlu mengeluarkan perppu pergantian sementara pimpinan KPK sampai selesai masa jabatannya Desember 2015.
Presiden juga membentuk panitia seleksi pimpinan KPK paling lambat enam bulan sebelum berakhir masa jabatan pimpinan KPK, untuk memilih calon komisioner KPK secara permanen. Tetapi melihat persoalan hukum yang menimpa pimpinan KPK terkait dugaan tindak pidana masa lalunya, perlu memikirkan jalan keluar agar tidak ada kesan mencari-cari kesalahan untuk sekadar dijadikan tersangka karena akan diberhentikan sementara dari jabatannya.
Wajar jika publik mulai mempertanyakan hasil verifikasi panitia seleksi calon pimpinan KPK dan uji kelayakan dan kepatutan DPR yang menganggap tidak ada persoalan moral dan persoalan hukum sehingga pimpinan KPK jilid ketiga dipilih. Kedua, Presiden segera mengajukan nama baru calon kapolri ke DPR untuk mendapat persetujuan dan segera dilantik. Jikapun BG menggugat praperadilan harus dihargai sebagai upaya mencari keadilan.
Polri harus dijaga citranya sebagai alat negara yang menjaga kamtibmas dengan tugas: melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum (Pasal 30 ayat (4) UUD 1945). Ketiga, Indonesia sebagai negara hukum yang ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, maka kasus BG, kasus BW, dan pimpinan KPK lain yang juga dilapor ke polisi harus diproses hukum secara profesional, transparan, dan objektif. Apalagi, Presiden Jokowi dalam konferensi pers (26/1/2015) meminta agar proses hukum di KPK dan Polri dilaksanakan secara transparan, terang benderang dan tidak ada kriminalisasi.
Saling Mendukung
Menyikapi seteru yang sudah memasuki ruang publik maka wajar kalau kalangan aktivis antikorupsi dan berbagai elemen masyarakat mendesak agar KPK tidak dilumpuhkan. Profesionalitas penyidik dan pimpinan KPK menjerat elite-elite politik dan pejabat negara yang diduga terlibat korupsi, menjadi taruhan apakah korupsi yang sudah menjadi penyakit kronis itu bisa dihentikan, atau paling tidak dikurangi intensitasnya.
Realitas di masyarakat tidak mungkin ditutupi, mereka sangat percaya pada KPK dalam pemberantasan korupsi. Tidak mengherankan apabila banyak elemen masyarakat di seluruh pelosok negeri yang rela berdiri di depan membela KPK. KPK dan Polri harus berada pada posisi setara dan saling mendukung dalam upaya pemberantasan korupsi. Seteru yang berlarut justru membuat para koruptor dan calon koruptor yang antre di berbagai institusi negara bersorak-sorai.
Salah satu upaya Presiden untuk menyatukan sikap kedua institusi itu dengan membentuk tim independen dari tokoh masyarakat yang berkompeten dan dikenal memiliki integritas tinggi. Tim itulah yang diharapkan membantu mencari solusi yang tepat guna mengakhiri perseteruan. Namun, tidak boleh ada intervensi terhadap perlaksanaan teknis penyidikan yang dilakukan kedua institusi hukum itu.
Akhirnya, untuk mengembalikan citra Polri, Presiden harus segera memilih dan melantik kapolri baru. Begitu pula KPK, harus dijaga dari kemungkinan tidak bisa melaksanakan tugas dan fungsinya. Keduanya harus diisi sosok yang tidak berpotensi menimbulkan persoalan di kemudian hari. Momentum seleksi pimpinan baru KPK pertengahan tahun ini, perlu dijadikan landasan untuk mencari pimpinan KPK yang betulbetul tidak punya beban masa lalu yang bisa diungkap.
(bbg)