KPK Didesak Seret Anggota DPR Lain
A
A
A
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) didesak menyeret anggota Komisi VII DPR 2009-2014 yang diduga terlibat kasus dugaan suap dan/atau gratifikasi pembahasan dan persetujuan APBN Perubahan 2013 Kementerian ESDM.
Dalam kasus ini, KPK baru menersangkakan dan menahan mantan Ketua Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Demokrat Sutan Bhatoegana. Padahal, dalam persidangan mantan Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini dan Deviardi alias Ardi (terpidana), terungkap adanya uang suap USD140.000 diterima Sutan melalui Iryanto dan upeti lain sebesar USD50.000 yang belum diterima Komisi VII DPR.
Uang USD140.000 sudah diterima 4 pimpinan, 43 anggota, dan Sekretariat Komisi VII DPR melalui Iryanto Muchyi pada 28 Mei 2013. Uang itu dibagi empat pimpinan Komisi VII DPR, yakni ketua dan wakil ketua sebesar USD7.500. Untuk 43 anggota Komisi VII DPR masingmasing USD2.500. Adapun untuk sekretariatnya sebesar USD2.500. Uang itu untuk kebutuhan pembahasan APBNP 2013 ESDM di DPR.
Tanda terima uang dari ESDM yang ditandatangani Iryanto sudah disita KPK. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta JM Muslimin menilai, kasus dugaan suap dan/atau gratifikasi pembahasan dan persetujuan APBNP 2013 Kementerian ESDM merupakan korupsi berjamaah. Artinya, pelakunya tidak hanya Sutan Bhatoegana. Cara untuk mengungkap korupsi berjamaah itu adalah dengan mengikuti aliran uangnya atau follow the money.
Karena itu, menurut dia, langkah KPK yang ingin mengungkap keterlibatan anggota Komisi VII DPR selain Sutan sudah benar. “Kasus ini mirip cek pelawat (yang menyeret) Miranda S Goeltom. Ungkap ke mana aliran uangnya dan semua demi keadilan, harus bertanggung jawab,” ungkap Muslimin kepada KORAN SINDO kemarin. Karena itu, menurut dia, dalam perkembangannya KPK harus bisa menjerat anggota DPR lainnya. Tentu, ujarnya, harus diikuti dengan dua alat bukti.
Muslimin mengatakan, fakta persidangan Rudi Rubiandini dan Deviardi soal adanya uang suap USD140.000 diterima Sutan dan hampir seluruh unsur Komisi VII DPR dan tanda terima Iryanto yang sudah disita KPK juga belum cukup. Penyidik, paparnya, harus dapat secara pasti memperoleh minimal dua alat bukti. Hal ini bisa didapat dengan terus melakukan proses dan teknik penyelidikan dan penyidikan.
Kroscek vertikal dan horizontal ditambah penelusuran anatomi dan genealogi kasus secara diagonal pun harus terus dilakukan. “Eksplorasi petunjukpetunjuk, dokumen-dokumen, atau cara-cara lain yang dianggap sah dan dapat dipertanggungjawabkan. Ini keahlian dan keterampilan penyidik,” ujarnya. Senada diungkapkan Direktur Eksekutif Manifest Institute Adi Wibowo.
Menurut dia, pengembangan tentu perlu dilakukan KPK. Karena itu, KPK harus melihat sejauh mana keterangan- keterangan yang sudah ada dan meyakinkan bahwa ada keterlibatan pihak lain. “Terkait nantinya siapa saja yang akan terseret, sangat tergantung dari temuan dan pengembangan itu,” tandasnya.
Adi menilai fakta persidangan Rudi Rubiandini dan Deviardi alias Ardi (terpidana) soal adanya uang suap USD140.000 yang diterima Sutan dan hampir seluruh unsur Komisi VII DPR belum cukup meyakinkan. Pasalnya, masih diperlukan alat bukti lain sehingga cukup meyakinkan secara hukum. “Kecepatan dan ketepatan dalam pengembangan untuk mendapatkan bukti seperti yang SBG sampaikan bahwa ada informasi penting itu diperlukan. Dan ketika memang ditemukan bukti keterlibatan pihak lain, siapa pun itu maka harus segera ditindaklanjuti,” tandasnya.
Sebelumnya, Deputi Pencegahan KPK Johan Budi SP menyatakan salah satu yang menjadi fokus KPK yakni berkaitan dengan anggota DPR Komisi VII 2009-2014 lainnya. Meski demikian, Johan belum menerima informasi siapa yang disasar. Yang pasti, Sutan sudah memberikan informasi yang begitu penting untuk pengembangan perkara ini. Termasuk pihak-pihak lain yang diduga terlibat.
Karena itu, anggota Komisi VII atau Komisi Energi menjadi target selanjutnya. Apalagi, dalam persidangan Rudi Rubiandini dan Deviardi alias Ardi terungkap adanya uang suap untuk seluruh unsur Komisi VII DPR yang diterima melalui Iryanto Muchyi. “Pengembangan itu (anggota Komisi VII lain) sangat terbuka.
Karena Pak SBG ini memberikan informasi-informasi yang cukup penting terkait kasus pembahasan APBNP 2013 Kementerian ESDM bersama Komisi VII DPR,” tandas Johan. Sebelumnya, KPK memutuskan menahan Sutan Bathoegana di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Kelas I Salemba, Jakarta, sejak Senin (2/2). Penahanan untuk 20 hari pertama ini dilakukan setelah Sutan diperiksa sebagai tersangka untuk kelima kalinya.
Kasus Sutan merupakan satu rangkaian dengan kasus suap Rudi Rubiandini, Deviardi alias Ardi. Dari kasus Rudi dan Ardi ini juga dikembangkan hingga KPK berhasil menyeret Presiden Direktur Parna Raya Group Artha Meris Simbolon (sudah divonis), mantan Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Waryono Karno (sudah ditahan), dan mantan Menteri ESDM Jero Wacik (belum ditahan).
KPK masih terus mengembangkan kasus Sutan. Bahkan, KPK tengah mengkaji pe-nerapan sangkaan baru terhadap Sutan. Informasi yang beredar bisa jadi terkait penerapan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Apalagi pada Juli 2014, penyidik sudah mendalami penghasilan Sutan lewat pemeriksaan Sekretaris Jenderal DPR Winantuningtyastiti.
Sabir laluhu
Dalam kasus ini, KPK baru menersangkakan dan menahan mantan Ketua Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Demokrat Sutan Bhatoegana. Padahal, dalam persidangan mantan Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini dan Deviardi alias Ardi (terpidana), terungkap adanya uang suap USD140.000 diterima Sutan melalui Iryanto dan upeti lain sebesar USD50.000 yang belum diterima Komisi VII DPR.
Uang USD140.000 sudah diterima 4 pimpinan, 43 anggota, dan Sekretariat Komisi VII DPR melalui Iryanto Muchyi pada 28 Mei 2013. Uang itu dibagi empat pimpinan Komisi VII DPR, yakni ketua dan wakil ketua sebesar USD7.500. Untuk 43 anggota Komisi VII DPR masingmasing USD2.500. Adapun untuk sekretariatnya sebesar USD2.500. Uang itu untuk kebutuhan pembahasan APBNP 2013 ESDM di DPR.
Tanda terima uang dari ESDM yang ditandatangani Iryanto sudah disita KPK. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta JM Muslimin menilai, kasus dugaan suap dan/atau gratifikasi pembahasan dan persetujuan APBNP 2013 Kementerian ESDM merupakan korupsi berjamaah. Artinya, pelakunya tidak hanya Sutan Bhatoegana. Cara untuk mengungkap korupsi berjamaah itu adalah dengan mengikuti aliran uangnya atau follow the money.
Karena itu, menurut dia, langkah KPK yang ingin mengungkap keterlibatan anggota Komisi VII DPR selain Sutan sudah benar. “Kasus ini mirip cek pelawat (yang menyeret) Miranda S Goeltom. Ungkap ke mana aliran uangnya dan semua demi keadilan, harus bertanggung jawab,” ungkap Muslimin kepada KORAN SINDO kemarin. Karena itu, menurut dia, dalam perkembangannya KPK harus bisa menjerat anggota DPR lainnya. Tentu, ujarnya, harus diikuti dengan dua alat bukti.
Muslimin mengatakan, fakta persidangan Rudi Rubiandini dan Deviardi soal adanya uang suap USD140.000 diterima Sutan dan hampir seluruh unsur Komisi VII DPR dan tanda terima Iryanto yang sudah disita KPK juga belum cukup. Penyidik, paparnya, harus dapat secara pasti memperoleh minimal dua alat bukti. Hal ini bisa didapat dengan terus melakukan proses dan teknik penyelidikan dan penyidikan.
Kroscek vertikal dan horizontal ditambah penelusuran anatomi dan genealogi kasus secara diagonal pun harus terus dilakukan. “Eksplorasi petunjukpetunjuk, dokumen-dokumen, atau cara-cara lain yang dianggap sah dan dapat dipertanggungjawabkan. Ini keahlian dan keterampilan penyidik,” ujarnya. Senada diungkapkan Direktur Eksekutif Manifest Institute Adi Wibowo.
Menurut dia, pengembangan tentu perlu dilakukan KPK. Karena itu, KPK harus melihat sejauh mana keterangan- keterangan yang sudah ada dan meyakinkan bahwa ada keterlibatan pihak lain. “Terkait nantinya siapa saja yang akan terseret, sangat tergantung dari temuan dan pengembangan itu,” tandasnya.
Adi menilai fakta persidangan Rudi Rubiandini dan Deviardi alias Ardi (terpidana) soal adanya uang suap USD140.000 yang diterima Sutan dan hampir seluruh unsur Komisi VII DPR belum cukup meyakinkan. Pasalnya, masih diperlukan alat bukti lain sehingga cukup meyakinkan secara hukum. “Kecepatan dan ketepatan dalam pengembangan untuk mendapatkan bukti seperti yang SBG sampaikan bahwa ada informasi penting itu diperlukan. Dan ketika memang ditemukan bukti keterlibatan pihak lain, siapa pun itu maka harus segera ditindaklanjuti,” tandasnya.
Sebelumnya, Deputi Pencegahan KPK Johan Budi SP menyatakan salah satu yang menjadi fokus KPK yakni berkaitan dengan anggota DPR Komisi VII 2009-2014 lainnya. Meski demikian, Johan belum menerima informasi siapa yang disasar. Yang pasti, Sutan sudah memberikan informasi yang begitu penting untuk pengembangan perkara ini. Termasuk pihak-pihak lain yang diduga terlibat.
Karena itu, anggota Komisi VII atau Komisi Energi menjadi target selanjutnya. Apalagi, dalam persidangan Rudi Rubiandini dan Deviardi alias Ardi terungkap adanya uang suap untuk seluruh unsur Komisi VII DPR yang diterima melalui Iryanto Muchyi. “Pengembangan itu (anggota Komisi VII lain) sangat terbuka.
Karena Pak SBG ini memberikan informasi-informasi yang cukup penting terkait kasus pembahasan APBNP 2013 Kementerian ESDM bersama Komisi VII DPR,” tandas Johan. Sebelumnya, KPK memutuskan menahan Sutan Bathoegana di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Kelas I Salemba, Jakarta, sejak Senin (2/2). Penahanan untuk 20 hari pertama ini dilakukan setelah Sutan diperiksa sebagai tersangka untuk kelima kalinya.
Kasus Sutan merupakan satu rangkaian dengan kasus suap Rudi Rubiandini, Deviardi alias Ardi. Dari kasus Rudi dan Ardi ini juga dikembangkan hingga KPK berhasil menyeret Presiden Direktur Parna Raya Group Artha Meris Simbolon (sudah divonis), mantan Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Waryono Karno (sudah ditahan), dan mantan Menteri ESDM Jero Wacik (belum ditahan).
KPK masih terus mengembangkan kasus Sutan. Bahkan, KPK tengah mengkaji pe-nerapan sangkaan baru terhadap Sutan. Informasi yang beredar bisa jadi terkait penerapan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Apalagi pada Juli 2014, penyidik sudah mendalami penghasilan Sutan lewat pemeriksaan Sekretaris Jenderal DPR Winantuningtyastiti.
Sabir laluhu
(ars)