Aturan Penyadapan Hakim Tumpang Tindih

Rabu, 04 Februari 2015 - 12:54 WIB
Aturan Penyadapan Hakim Tumpang Tindih
Aturan Penyadapan Hakim Tumpang Tindih
A A A
JAKARTA - Komisi Yudisial (KY) menilai aturan penyadapan terhadap hakim masih tumpang tindih, terutama terkait dugaan pelanggaran kode etik.

Komisioner KY Taufiqurrahman Syahuri mengatakan, selama ini aparat kepolisian masih ragu untuk melakukan penyadapan terhadap hakim jika terkait persoalan etik. Menurut Taufiq, persoalan etik bukan merupakan ranah pidana, sedangkan penyadapan yang dilakukan aparat kepolisian haruslah berada dalam ranah pidana.

Sementara dalam Undang- Undang (UU) KY, ungkap Taufiq, justru diberikan keleluasaan untuk melakukan penyadapan terhadap hakim. Dalam Pasal 20 ayat (3) UU 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial dinyatakan bahwa dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim sebagaimana dimaksud padaayat(1) hurufa, Komisi Yudisial dapat memintabantuankepada aparat penegak hukum untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan dalam hal adanya pelanggaran kode etik dan/atau pedoman perilaku hakim oleh hakim.

“Kepolisian kaget dengan peraturan itu, karena polisi itu ada di ranah pidana, bukan norma etik. Jadi belum ada satu pemahaman sehingga kita minta dikoordinasikan dengan polisi,” ungkap Taufiq di Jakarta kemarin. Dia pun mengaku KY sudah meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menjembatani persoalan ini antara KY dan pihak kepolisian. Menurut dia, penyatuan pemahaman melalui presiden sangat penting agar tidak ada salah komunikasi soal penyadapan pelanggaran etik yang diduga dilakukan hakim.

Jika pihak kepolisian tetap melakukan penyadapan di luar pidana maka bisa dianggap melanggar UU. “Kalau penyadapan itu di luar pidana dan bukan kejahatan maka ada ancaman hukumannya, sedangkan dalam UU KY justru diperbolehkan,” paparnya. Pakar hukum tata negara Universitas Parah y a n g a n Bandung Asep Warlan Yusuf mengatakan, penyadapan terhadap hakim seperti yang termaktub dalam UU KY tidak bisa diterapkan pada seluruh pelanggaran etik.

Pasalnya, tidak semua perilaku etik bisa disadap mengingat sifatnya yang sangat privasi dan belum tentu berpengaruh pada publik. Hanya, menurut dia, aparat penegak hukum bisa melakukan penyadapan terhadap hakim apabila ada indikasi pelanggaran kode etik berat yang dilakukan. Misalnya terdapat indikasi pelanggaran kode etik berupa suap atau gratifikasi.

Di luar itu, tidak perlu dilakukan penyadapan yang melibatkan aparat hukum sebab sangat berlebihan jika diharuskan menyadap apabila hakim terduga hanya melakukan pelanggaran etik, seperti bertemu dengan para pihak atau selingkuh saja.

“Hemat saya, ada hal yang sangat privat jika dikaitkan dengan penyadapan apalagi mengenai etika. Misalnya ada hakim makan malam dengan pihak yang beperkara, lantas apa itu harus disadap? Kecuali kalau ada unsur pidana maka itu wajib disadap, karena itu masuk ranah publik. Kalau hanya etik belum tentu masuk ranah publik,” tandasnya.

Menurut Asep, memang perlu ada pemahaman bersama antara KY dan aparat hukum, khususnya kepolisian, mengenai penyadapan etik hakim.

Nurul adriyana
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7769 seconds (0.1#10.140)