AS Perketat Aturan Visa
A
A
A
WASHINGTON - Amerika Serikat (AS) segera memperketat aturan visa, menyusul sejumlah teror yang terjadi di Eropa, terutama penembakan brutal di kantor majalah Charlie Hebdoo di Paris, Prancis awal Januari lalu.
Politisi AS mengajukan perubahan atas kebijakan bagi warga Eropa dan negara lain yang masuk ke AS tanpa memerlukan visa. Washington khawatir para militan yang berasal dari negara tanpa visa ini dapat memanfaatkan aturan ini untuk melakukan teror di AS. Senator Dianne Feinstein mengatakan, AS memiliki program bebas visa bagi 38 negara untuk jenis visa turis.
Feinstein yang sebelumnya menjabat sebagai ketua Senat Komite Intelijen mendesak agar aturan ini diperketat dan bekerja cepat untuk membentuk aturan baru yang segera diajukan. Senator asal Michigan dari Partai Republik, Candice Miller, juga mendesak ada pengetatan aturan visa.
Menurutnya, Departemen Keamanan Dalam Negeri (DHS) AS berhak untuk menangguhkan pembebasan visa bagi 38 negara bila mereka gagal memberikan informasi penting atas pelaku teroris. Apalagi, kasus penyerangan di Paris beberapa hari lalu juga dilakukan oleh orang yang memiliki paspor Prancis. Selain itu, cukup banyak warga negara Eropa yang ikut bergabung sebagai militan di Suriah dan Irak.
Saat ini jumlah mereka diperkirakan mencapai 3.000-5.000 orang. Ini sebuah peringatan bagi AS atas bahaya ancaman teror. Zacarias Moussaoui, pelaku teror pada 11 September 2001, diketahui sangat mudah masuk ke AS dengan menunjukkan paspor Prancis. Sementara Richard Reid yang mencoba melakukan peledakan maskapai AS pada Desember 2001 dengan bom yang disembunyikan di bawah sepatunya juga tidak memerlukan visa karena memiliki paspor Inggris.
Pemerintah AS telah melakukan perubahan prosedur bagi negara yang tergabung dalam program bebas visa sejak serangan 11 September 2001. Pada 2008 penumpang yang akan masuk ke AS dari negara dengan program bebas visa sebelumnya harus mengisi formulir khusus yang dikenal dengan istilah sistem elektronik untuk otorisasi perjalanan.
Deputi Direktur Kejahatan Dalam Negeri AS Christian Beckner mengatakan, penerapan formulir elektronik ini penting sehingga memungkinkan otoritas AS memeriksa lebih awal siapa yang akan masuk ke dalam wilayahnya. Sekretaris Keamanan Dalam Negeri Jeh Johnson mengingatkan akan menjadi kesalahan jika program bebas visa ini dihentikan. Menurutnya, hal yang perlu dilakukan yaitu meningkatkan keamanan dari program ini.
“Kami melibatkan semua aliansi di Eropa dan lainnya untuk mendorong mereka bertukar informasi perjalanan tentang individu yang dicurigai,” ucap Johnson seperti dilansir Channel News Asia. Beberapa anggota parlemen khawatir negara-negara yang tergabung dalam program ini tidak bisa berbagi informasi tentang orang yang dicurigai.
“Departemen Keamanan Dalam Negeri terus memeriksa semua pemohon visa dan mencocokkan dengan pusat data terorisme. Kami tidak secara rutin mendapat informasi penting untuk mengidentifikasi dan menghentikan pejuang militan asing yang berhubungan dengan AS dari negara-negara peserta program visa ini,” ungkap Miller.
Profesor hukum Universitas Syracuse, Nathan Sales, mengatakan, cara terbaik terkait peningkatan keamanan adalah pertukaran data intelijen. “Solusinya tidak dengan menghentikan program bebas visa ini, tapi melakukan kerja sama pertukaran data intelijen yang disahkan secara hukum dan memperpanjang ruang lingkup kerja sama pertukaran data intelijen ini,” tutur Sales.
Arvin
Politisi AS mengajukan perubahan atas kebijakan bagi warga Eropa dan negara lain yang masuk ke AS tanpa memerlukan visa. Washington khawatir para militan yang berasal dari negara tanpa visa ini dapat memanfaatkan aturan ini untuk melakukan teror di AS. Senator Dianne Feinstein mengatakan, AS memiliki program bebas visa bagi 38 negara untuk jenis visa turis.
Feinstein yang sebelumnya menjabat sebagai ketua Senat Komite Intelijen mendesak agar aturan ini diperketat dan bekerja cepat untuk membentuk aturan baru yang segera diajukan. Senator asal Michigan dari Partai Republik, Candice Miller, juga mendesak ada pengetatan aturan visa.
Menurutnya, Departemen Keamanan Dalam Negeri (DHS) AS berhak untuk menangguhkan pembebasan visa bagi 38 negara bila mereka gagal memberikan informasi penting atas pelaku teroris. Apalagi, kasus penyerangan di Paris beberapa hari lalu juga dilakukan oleh orang yang memiliki paspor Prancis. Selain itu, cukup banyak warga negara Eropa yang ikut bergabung sebagai militan di Suriah dan Irak.
Saat ini jumlah mereka diperkirakan mencapai 3.000-5.000 orang. Ini sebuah peringatan bagi AS atas bahaya ancaman teror. Zacarias Moussaoui, pelaku teror pada 11 September 2001, diketahui sangat mudah masuk ke AS dengan menunjukkan paspor Prancis. Sementara Richard Reid yang mencoba melakukan peledakan maskapai AS pada Desember 2001 dengan bom yang disembunyikan di bawah sepatunya juga tidak memerlukan visa karena memiliki paspor Inggris.
Pemerintah AS telah melakukan perubahan prosedur bagi negara yang tergabung dalam program bebas visa sejak serangan 11 September 2001. Pada 2008 penumpang yang akan masuk ke AS dari negara dengan program bebas visa sebelumnya harus mengisi formulir khusus yang dikenal dengan istilah sistem elektronik untuk otorisasi perjalanan.
Deputi Direktur Kejahatan Dalam Negeri AS Christian Beckner mengatakan, penerapan formulir elektronik ini penting sehingga memungkinkan otoritas AS memeriksa lebih awal siapa yang akan masuk ke dalam wilayahnya. Sekretaris Keamanan Dalam Negeri Jeh Johnson mengingatkan akan menjadi kesalahan jika program bebas visa ini dihentikan. Menurutnya, hal yang perlu dilakukan yaitu meningkatkan keamanan dari program ini.
“Kami melibatkan semua aliansi di Eropa dan lainnya untuk mendorong mereka bertukar informasi perjalanan tentang individu yang dicurigai,” ucap Johnson seperti dilansir Channel News Asia. Beberapa anggota parlemen khawatir negara-negara yang tergabung dalam program ini tidak bisa berbagi informasi tentang orang yang dicurigai.
“Departemen Keamanan Dalam Negeri terus memeriksa semua pemohon visa dan mencocokkan dengan pusat data terorisme. Kami tidak secara rutin mendapat informasi penting untuk mengidentifikasi dan menghentikan pejuang militan asing yang berhubungan dengan AS dari negara-negara peserta program visa ini,” ungkap Miller.
Profesor hukum Universitas Syracuse, Nathan Sales, mengatakan, cara terbaik terkait peningkatan keamanan adalah pertukaran data intelijen. “Solusinya tidak dengan menghentikan program bebas visa ini, tapi melakukan kerja sama pertukaran data intelijen yang disahkan secara hukum dan memperpanjang ruang lingkup kerja sama pertukaran data intelijen ini,” tutur Sales.
Arvin
(bbg)