Cemeti dalam Turning Targets

Minggu, 01 Februari 2015 - 13:24 WIB
Cemeti dalam Turning...
Cemeti dalam Turning Targets
A A A
Setiap perjalanan biasanya memiliki roh masingmasing. Penambahan umur dari tahun ke tahun tidak hanya diartikan sebagai rasa syukur semata, tapi bagaimana agar bisa lebih bermanfaat lebih maksimal kepada masyarakat banyak.

Setidaknya itulah niat yang terus dibangun Rumah Seni Cemeti (Cemeti Art House). Semua cerita di balik bertambahnya usia hingga ke-25 tahun menjadi cerita tersendiri yang dikemas melalui buku Turning Targets: 25 Tahun Cemeti. Pada saat acara peluncuran dan bedah buku yang berlangsung Rabu (28/1) lalu di Galeri Nasional Indonesia (GNI), Jakarta, dua pendiri Rumah Seni Cemeti,

Mella Jaarsma dan Nindityo Adipurnomo terlihat banyak melempar senyum simpul dan sesekali lepas ketika para pendedah, yakni Asikin Hasan (Kurator GNI) dan Ade Darmawan (Direktur Ruangrupa sekaligus kurator dan seniman). Di awal acara, Nindityo memaparkan awal berdirinya Cemeti beserta beberapa tantangan dan ujian yang dilaluinya bersama Mella, rekan yang juga istrinya.

Nindityo bercerita, pada Februari 1988 dia mendirikan Rumah Seni Cemeti karena ruang pameran di Yogyakarta sudah banyak tercampur dengan seni lain. Seperti pameran radio antik, majalah dinding (mading), jadi terkesan ramai sekali. Karena itu, dia mencari cara bagaimana agar bisa fokus dengan dunia seni rupa kontemporer. Cara itu adalah dengan mendirikan Cemeti.

Pada kesempatan ini, kedua pendiri sengaja tidak mengundang pendedah dari si penulis buku itu sendiri. Mengapa? Ternyata agar tidak muncul romantisme-romantisme cerita di dalamnya. Buku ini sebenarnya telah digagas pada 2013, silam saat perayaan hari jadi Rumah Seni Cemeti ke-25.

Setelah melewati dua tahun masa penyusunan, lahirlah Turning Targets: 25 Tahun Cemeti ini. Kendati demikian, lahirnya buku ini tak hanya menandai capaian apa saja yang telah dilakukan Rumah Seni Cemeti selama 25 tahun, melainkan lebih substansial dalam menafsir kembali jejak-jejak penting perkembangan seni rupa kontemporer Indonesia di masa lampau, dan membaca fenomena seni rupa kontemporer saat ini di Tanah Air.

Kompleksitas historis tersebut membutuhkan keterlibatan beberapa pakar sebagai tim penyusun buku. Akhirnya terpilihlah orang-orang pilihan yang terdiri dari seniman, kurator, peneliti, penulis, direktur artistik, dan sejarawan. Sifat kajian para penyusun buku yang multidisipliner mampu menyuguhkan wacana yang kaya sudut pandang dan pendekatankritismengenaiperubahan praktik seni rupa kontemporer, perkembangan estetika, kontestasi ruang dan ideologi, serta relasi subjek dan kuasa di dalam medan seni rupa, tanpa meninggalkan kesan romantika.

Rentetan kesejarahan itu menjadi diskursus tersendiri yang menjembatani transfer pengetahuan lintas generasi dengan perbedaan semangat zaman. Sebelum di Jakarta, acara serupa telah digelar di Surakarta (Fakultas Keguruan & Ilmu Pendidikan UNS) dan Surabaya (Perpustakaan c2o). Kemudian, akan menyusul ke Bandung (Selasar Sunaryo Art Space), lalu kembali ke rumah di Yogyakarta (Rumah Seni Cemeti).

Tempat Embrio Kegilaan Berkarya

Menurut Asikin, pasangan Mella dan Nindityo dinilai sebagai pasangan komplet. Sosok satu punya pengalaman luas di mancanegara, sosok lainnya punya jaringan lokal, terutama di lingkungan mahasiswa dan alumni Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta. Keduanya bertemu menjadi sebuah kekuatan untuk mendorong, memajukan, dan membangun infrastruktur seni rupa kontemporer Indonesia.

“Langkah yang sunyi dan terlalu berani. Tapi, bukankah sejarah telah membentangkan dirinya di hadapan kita bahwa hanya orang-orang pemberani yang dalam sunyi dapat mengubah jalannya sebuah cerita?” urainya. Dia ingat betul, Cemeti muncul ketika seni rupa kontemporer tanah air tengah membentuk dirinya dan hampir berpapasan dengan meredupnya Gerakan Seni Rupa Baru (1975-1989) yang antara lain menganjurkan keberagaman dalam seni rupa, mengalihkan orientasi dari seni tinggi ke gejala visual, dari elitisme ke populisme, dan dari seni ke kebudayaan.

Di awal 1990-an, karya-karya para perupa yang tampil di Cemeti mencerminkan kondisi sosial politik yang menegangkan selama Orde Baru (Orba) dalam bentuk parodi, sindiran, simbolistis, dan sebagainya. Media ungkap yang dipakai juga tak terbatas pada lukisan, gambar, grafis, fotografi, video, instalasi, tapi juga seni rupa pertunjukan. Lalu waktu berjalan hingga era 2000-an dan terdengar bahwa aktivitas pameran di Cemeti mulai memudar.

Bahkan di Jakarta terdengar kabar Cemeti akan segera tutup. Hal ini hampir bersamaan dengan bangkitnya galeri-galeri komersial yang ditunjang dengan kekuatan dana dan jaringan pasar. Menyusul pula ramainya ”event” temporal seni rupa, ”bazar art”, dan nama lainnya yang diselenggarakan pemodal besar di mal, hotel, yang antara lain juga menampilkan karyakarya yang dulu disebut alternatif.

Dalam tulisan di buku ini, seorang penulis Agung ”Jenong” Hujatnika menyebutnya sebagai era industrialisasi seni rupa, menempatkan karya-karya serupa barang-barang industri lain. Semua bergerak dengan cepat, karya-karya dipamerkan sesingkat-singkatnya, terjual sebanyak-banyaknya. Sementara itu, Ade melihat Cemeti bukanlah galeri komersial saja, tapi memiliki fokus dan keseriusan untuk berperan mengubah sistem saat didirikan dan saat ini.

“Bagaimana secara terus-menerus sebuah galeri mendedikasikan diri itu tidaklah mudah, tapi harus ada lingkaran ekosistem yang saling mendukung,” ujarnya. Saat ini, yang harus menjadi perhatian Cemeti, lanjut Ade, yakni Cemeti harus memiliki pernyataan yang jelas. Harus ada keraguan, spekulasi, keberanian untuk memamerkan karya-karya ”buruk” yang tidak ditampilkan Cemeti.

Dia menegaskan, harus ada ruang bagi seniman yang ”buruk” atau belum diterima di masyarakat, atau masih mencobacoba. Sebab, dia menilai saat ini tak ada lagi ruang seperti itu. “Bagaimana ruang-ruang, embrio- embrio, pencapaian-pencapaian itu. Bagaimana temanteman seniman ada jika tempat persemayaman itu belum ada,” ungkapnya.

Menurut dia, saat ini banyak orang yang membuat proses begitu cepat dan tidak ada lagi seniman yang ”bermain-main” dengan penciptaannya. “Ini sangat sulit. Tidak ada lagi yang berusaha merawat kegilaan-kegilaan, semua menjadi manner, nice. Seniman hanya berani terhadap Soeharto, tapi sama kolektor tidak berani. Ini krisis,” gugatnya. Apa yang diharapkan Ade terhadap Cemeti hanya satu, yakni harus menjadi publik.

Artinya, harus diserahkan ke publik dan menjadi lembaga yang settled. Cemeti harus dimiliki para pemangku kepentingan bangsa ini, bukan hanya di Yogyakarta, tapi di seluruh daerah di Tanah Air. Selama 25 tahun ini Ade melihat kurva Cemeti hanya berbentuk melandai. Karena itu dibutuhkan opsi yang cukup ekstrem, yakni naik atau jatuh sekalian.

Menanggapi berbagai ”tembakan” ini, Mella hanya berujar santai. Cemeti akan terus mengikuti perkembangan ke depan. Namun, satu pakem yang terus dipegangnya yakni Cemeti harus tetap mandiri dari kepentingan apapun. Terutama terkait dengan dana. Wanita asal Belanda yang telah hidup diTanah Air selama 30 tahun ini mengakui dana pasti memiliki kendala tersendiri.

Susi susanti
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1131 seconds (0.1#10.140)