Trauma Melihat Wanita dan Anak-Anak Jadi Sasaran Tembak

Selasa, 27 Januari 2015 - 10:56 WIB
Trauma Melihat Wanita...
Trauma Melihat Wanita dan Anak-Anak Jadi Sasaran Tembak
A A A
Seorang mantan operator pesawat tanpa awak (drone ) militer Amerika Serikat (AS), Brandon Bryant, 27, memilih untuk mengundurkan diri setelah 6 tahun tergabung dalam angkatan udara AS. Alasan utamanya yaitu karena faktor kemanusiaan.

Bryant merasa tidak tega lagi “mencabut” nyawa orang-orang yang tidak bersalah. Dia bercerita, semenjak memegang peran sebagai operator pesawat tak berawak yang dijuluki Predator, Bryant mengaku sudah cukup banyak membunuh orang yang tidak bersalah hanya dengan menekan sebuah tombol dari ruang kendali di New Mexico.

Dia menjalankan Sang Predator dari sebuah kontainer di pangkalan pusat operasi militer. Hati Bryant baru tersentuh ketika dia mendapatkan perintah untuk menembak dan membunuh seorang anak kecil Afghanistan. Dia menyadari bahwa dirinya tidak dapat menerus pekerjaannya ini hingga akhirnya mengundurkan diri dari militer.

“Saat itu saya melihat orang-orang, wanita dan anak-anak tewas. Saya tak pernah menyangka bahwa saya akan membunuh begitu banyak orang. Bahkan, saya pikir saya tidak bisa membunuh seorang pun,” ungkapnya dikutip Dailymail. Bryant mengaku menjadi anggota militer bukan hal pilihan yang disengaja.

Ketika dia mengantarkan temannya mendaftar di angkatan darat dan mendengar informasi bahwa ia dapat melanjutkan ke universitas tanpa biaya, Bryant akhirnya tertarik untuk bergabung di angkatan udara. Bryant unggul dalam studinya dan ditugaskan ke unit pengumpulan data intelijen. Di sana dia banyak mempelajari cara mengoperasikan kamera dan laser yang terpasang di dalam drone. Tujuannya untuk menganaliis foto daratan, pemetaan, dan data cuaca.

Dia ditugaskan untuk menjadi operator sensor. Posisi ini setara dengan wakil pilot pada pesawat biasa. Pada misi pertamanya, dia harus mengoperasikan drone dengan melakukan 20 kali penerbangan di atas wilayah Irak. Pekerjaannya duduk di dalam ruangan pengendali yang terletak di pangkalan militer Nevada, AS. Saat itu pekerjaannya sudah mulai menimbulkan korban tewas. Pertama kali dia menembakkan misil yang langsung menewaskan dua pria. Saat itu Bryant langsung menangis ketika dalam perjalanan pulang ke rumah.

“Saya merasa tidak mempunyai rasa kemanusiaan selama seminggu,” ungkap Bryant. Sebuah insiden terjadi ketika Sang Predator memutar mengelilingi atas rumah di Afghanistan. Dia mendapatkan perintah untuk menembak rumah yang di dalamnya terdapat kandang kambing. Dengan tangan kirinya, dia menekan tombol laser dan membidik rumah tersebut.

Pilot yang duduk di sebelahnya lantas menekan pelatuk dan drone menumpahkan misil Hellfire. Hanya dibutuhkan waktu 16 detik misil Hellfire mengenai sasarannya. Ketika hitungan mundur menunjukkan tujuh detik ke sasaran, belum ada tandatanda seorang pun di dekat rumah itu. Saat itu Bryant dapat saja mengalihkan misil ke titik lain.

Namun ketika hitungan tinggal tersisa 3 detik, tiba-tiba muncul seorang anak kecil yang sedang berjalan. “Kejadian ini terjadi seperti gerakan lambat,” tambah Bryant. Selanjutnya yang tampak adalah kilatan cahaya yang terlihat dari layar monitor. Bom pun meledak dan bangunan itu hancur.

Begitu pula sang anak yang langsung tidak terlihat. Tiba-tiba Bryant langsung merasa mual. “Apakah kita telah membunuh anak kecil?” tanya Bryant kepada teman pilot di sampingnya. “Ya, kurasa itu seorang anak kecil,” jawab sang pilot.

Arvin
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0147 seconds (0.1#10.140)