Menghindari Jebakan Kependudukan
A
A
A
Bonus demografi yang sebenarnya sudah terjadi di Indonesia sejak 2012 perlu dimanfaatkan secara maksimal untuk menggenjot kemajuan bangsa. Apabila kita gagal memanfaatkan bonus yang hanya terjadi sekali dalam umur suatu negara itu, peluang untuk mengejar berbagai ketertinggalan dari negara lain bakal kian berat.
Jumlah penduduk Indonesia pada 2035 diproyeksi mencapai sekitar 305,6 juta jiwa. Angka ini meningkat 28,6% dibandingkan 2010. Meski demikian, pertumbuhan penduduk pada 2010- 2035 cenderung terus menurun dari 1,38% per tahun dalam periode 2010- 2015 menjadi 0,62% per tahun pada periode 2030-2035.
Turunnya laju pertumbuhan penduduk ini ditentukan turunnya angka kelahiran dan kematian. Peningkatan jumlah penduduk dibarengi penurunan laju pertumbuhan penduduk menciptakan peningkatan jumlah penduduk usia produktif 15-65 tahun. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memproyeksikan, pada 2028-2031 proporsi penduduk usia produktif mencapai 68,1%.
Pada 2010 lalu proporsinya hanya 66,5%. Meningkatnya jumlah penduduk usia produktif menyebabkan penurunan angka ketergantungan (dependency ratio/DR). Setiap 100 orang penduduk usia produktif akan menanggung kurang dari 50 orang penduduk usia nonproduktif (0-14 tahun dan 65 tahun ke atas).
Proporsi penduduk usia nonproduktif yang ditanggung oleh 100 orang penduduk usia produktif turun dari 50,5% pada 2010 menjadi 46,9 pada 2028-2031. Kondisi inilah yang disebut sebagai bonus demografi. Bonus yang dinikmati suatu negara karena jumlah penduduk produktif jauh lebih besar dibandingkan usia nonproduktif.
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Fasli Jalal beberapa waktu lalu mengungkapkan, berubahnya struktur umur penduduk berupa meningkatnya proporsi penduduk usia produktif berpotensi mempercepat pertumbuhan ekonomi. Suplai angkatan kerja meningkat, tabungan masyarakat meningkat, kualitas sumber daya manusia (SDM) pun meningkat.
Peningkatan angkatan kerja pun menyebabkan akumulasi produksi. Dengan jumlah tanggungan usia non-usia kerja (anak dan lansia) yang sedikit, penduduk usia kerja memiliki kesempatan lebih besar untuk bisa lebih banyak menabung, yang merupakan salah satu sumber investasi dan pertumbuhan ekonomi.
Jumlah anak yang sedikit pun membuat investasi penduduk usia kerja terhadap pendidikan dan kesehatan anak dapat lebih baik lagi. Apabila gagal memanfaatkan bonus ini, negara kita bakal terjebak menjadi negara berkembang berpenghasilan menengah bawah (low middle income trap).
Terlebih, pasca-2045 diprediksi akan terjadi ledakan lansia yang membuat tanggungan penduduk produktif akan lebih berat. Bahkan, angka ketergantungan diproyeksikan akan naik kembali menjadi 47,3% mulai 2035 karena durasi puncak bonus demografi yang sedianya terjadi selama 10 tahun pada 2030-2040 memendek menjadi empat tahun, yakni 2028-2032.
Menurut Fasli, kegagalan memanfaatkan bonus demografi dapat terjadi apabila sejumlah faktor penentu tidak digarap dengan baik sejak dini. Faktorfaktor penentu yang dimaksudnya adalah peningkatan derajat kesehatan, penurunan fertilitas penanganan anak di usia sekolah, pemberdayaan perempuan di hadapan pasar kerja, peningkatan etos kerja, pendidikan kewirausahaan, dan penekanan kompetensi soft skills.
Kepala Lembaga Demografi Universitas Indonesia (UI) Sonny Harry Budiutomo Harmadi menyatakan, sejatinya bonus demografi terjadi pada 2012- 2045. Pada 2012 jumlah penduduk nonproduktif yang ditanggung penduduk produktif di sejumlah kota sudah di bawah 50%. Dia memprediksi, pada 2045 komposisi penduduk produktif dan nonproduktif seimbang, yakni 50:50.
‘’Puncak bonus demografi kita, yaitu 100 penduduk produktif menanggung 44 penduduk nonproduktif, terjadi pada 2030-an,” sebutnya dalam diskusi tentang kependudukan di Perpustakaan Pusat Institut Teknologi Bandung (ITB), Rabu (14/1). Menurut dia, idealnya bonus demografi merupakan investasi jangka panjang dari rencana kependudukan yang bakal berdampak positif berupa peningkatan ekonomi masyarakat.
Faktanya, semakin banyak penduduk yang tidak menjamin keadaan ekonomi mereka semakin baik. Bahkan, berbagai persoalan dalam hal ketersediaan lapangan kerja, pelayanan kesehatan, akses pendidikan, pembangunan infrastruktur, dan lainnya tak kunjung tuntas.
“Jika pemerintah tidak menyiapkan berbagai program khusus untuk menghadapi bonus demografi ini, maka dari sisi kuantitas saja sudah banyak persoalan yang dihadapi. Perlu kebijakan yang benar-benar memberikan keadilan kesejahteraan bagi seluruh penduduk. Jangan sampai bonus yang seharusnya membawa keuntungan malah berdampak pada kerugian negara,” ujar Ketua Umum Koalisi Kependudukan ini.
Direktur Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja (Binapenta) Kementerian Tenaga Kerja Reyna Usman mengungkapkan, bonus demografi menjadi momentum untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Karena itu, pemerintah telah menyiapkan berbagai formula agar generasi muda yang menjadi angkatan kerja produktif di masa tersebut menjadi kelompok potensial pembangun bangsa.
Salah satu upayanya adalah menyiapkan lowongan kerja sebanyak mungkin untuk menampung penduduk usia produtif ini. “Semua industri harus mampu menyerap tenaga kerja dari masyarakat usia produktif sebanyak-banyaknya. Selama ini salah satu persoalan sulitnya mendapatkan pekerjaan adalah informasi yang relatif minim yang dapat diakses para pencari kerja,” kata Reyna.
Dia menyatakan, dinas-dinas tenaga kerja di daerah wajib menggelar bursa kerja secara rutin yang mudah diakses sehingga para pencari kerja mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasinya. Fungsi balai latihan kerja (BLK) yang mencetak tenaga siap kerja pun perlu dimaksimalkan.
Anne rufaidah/Ilham safutra
Jumlah penduduk Indonesia pada 2035 diproyeksi mencapai sekitar 305,6 juta jiwa. Angka ini meningkat 28,6% dibandingkan 2010. Meski demikian, pertumbuhan penduduk pada 2010- 2035 cenderung terus menurun dari 1,38% per tahun dalam periode 2010- 2015 menjadi 0,62% per tahun pada periode 2030-2035.
Turunnya laju pertumbuhan penduduk ini ditentukan turunnya angka kelahiran dan kematian. Peningkatan jumlah penduduk dibarengi penurunan laju pertumbuhan penduduk menciptakan peningkatan jumlah penduduk usia produktif 15-65 tahun. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memproyeksikan, pada 2028-2031 proporsi penduduk usia produktif mencapai 68,1%.
Pada 2010 lalu proporsinya hanya 66,5%. Meningkatnya jumlah penduduk usia produktif menyebabkan penurunan angka ketergantungan (dependency ratio/DR). Setiap 100 orang penduduk usia produktif akan menanggung kurang dari 50 orang penduduk usia nonproduktif (0-14 tahun dan 65 tahun ke atas).
Proporsi penduduk usia nonproduktif yang ditanggung oleh 100 orang penduduk usia produktif turun dari 50,5% pada 2010 menjadi 46,9 pada 2028-2031. Kondisi inilah yang disebut sebagai bonus demografi. Bonus yang dinikmati suatu negara karena jumlah penduduk produktif jauh lebih besar dibandingkan usia nonproduktif.
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Fasli Jalal beberapa waktu lalu mengungkapkan, berubahnya struktur umur penduduk berupa meningkatnya proporsi penduduk usia produktif berpotensi mempercepat pertumbuhan ekonomi. Suplai angkatan kerja meningkat, tabungan masyarakat meningkat, kualitas sumber daya manusia (SDM) pun meningkat.
Peningkatan angkatan kerja pun menyebabkan akumulasi produksi. Dengan jumlah tanggungan usia non-usia kerja (anak dan lansia) yang sedikit, penduduk usia kerja memiliki kesempatan lebih besar untuk bisa lebih banyak menabung, yang merupakan salah satu sumber investasi dan pertumbuhan ekonomi.
Jumlah anak yang sedikit pun membuat investasi penduduk usia kerja terhadap pendidikan dan kesehatan anak dapat lebih baik lagi. Apabila gagal memanfaatkan bonus ini, negara kita bakal terjebak menjadi negara berkembang berpenghasilan menengah bawah (low middle income trap).
Terlebih, pasca-2045 diprediksi akan terjadi ledakan lansia yang membuat tanggungan penduduk produktif akan lebih berat. Bahkan, angka ketergantungan diproyeksikan akan naik kembali menjadi 47,3% mulai 2035 karena durasi puncak bonus demografi yang sedianya terjadi selama 10 tahun pada 2030-2040 memendek menjadi empat tahun, yakni 2028-2032.
Menurut Fasli, kegagalan memanfaatkan bonus demografi dapat terjadi apabila sejumlah faktor penentu tidak digarap dengan baik sejak dini. Faktorfaktor penentu yang dimaksudnya adalah peningkatan derajat kesehatan, penurunan fertilitas penanganan anak di usia sekolah, pemberdayaan perempuan di hadapan pasar kerja, peningkatan etos kerja, pendidikan kewirausahaan, dan penekanan kompetensi soft skills.
Kepala Lembaga Demografi Universitas Indonesia (UI) Sonny Harry Budiutomo Harmadi menyatakan, sejatinya bonus demografi terjadi pada 2012- 2045. Pada 2012 jumlah penduduk nonproduktif yang ditanggung penduduk produktif di sejumlah kota sudah di bawah 50%. Dia memprediksi, pada 2045 komposisi penduduk produktif dan nonproduktif seimbang, yakni 50:50.
‘’Puncak bonus demografi kita, yaitu 100 penduduk produktif menanggung 44 penduduk nonproduktif, terjadi pada 2030-an,” sebutnya dalam diskusi tentang kependudukan di Perpustakaan Pusat Institut Teknologi Bandung (ITB), Rabu (14/1). Menurut dia, idealnya bonus demografi merupakan investasi jangka panjang dari rencana kependudukan yang bakal berdampak positif berupa peningkatan ekonomi masyarakat.
Faktanya, semakin banyak penduduk yang tidak menjamin keadaan ekonomi mereka semakin baik. Bahkan, berbagai persoalan dalam hal ketersediaan lapangan kerja, pelayanan kesehatan, akses pendidikan, pembangunan infrastruktur, dan lainnya tak kunjung tuntas.
“Jika pemerintah tidak menyiapkan berbagai program khusus untuk menghadapi bonus demografi ini, maka dari sisi kuantitas saja sudah banyak persoalan yang dihadapi. Perlu kebijakan yang benar-benar memberikan keadilan kesejahteraan bagi seluruh penduduk. Jangan sampai bonus yang seharusnya membawa keuntungan malah berdampak pada kerugian negara,” ujar Ketua Umum Koalisi Kependudukan ini.
Direktur Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja (Binapenta) Kementerian Tenaga Kerja Reyna Usman mengungkapkan, bonus demografi menjadi momentum untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Karena itu, pemerintah telah menyiapkan berbagai formula agar generasi muda yang menjadi angkatan kerja produktif di masa tersebut menjadi kelompok potensial pembangun bangsa.
Salah satu upayanya adalah menyiapkan lowongan kerja sebanyak mungkin untuk menampung penduduk usia produtif ini. “Semua industri harus mampu menyerap tenaga kerja dari masyarakat usia produktif sebanyak-banyaknya. Selama ini salah satu persoalan sulitnya mendapatkan pekerjaan adalah informasi yang relatif minim yang dapat diakses para pencari kerja,” kata Reyna.
Dia menyatakan, dinas-dinas tenaga kerja di daerah wajib menggelar bursa kerja secara rutin yang mudah diakses sehingga para pencari kerja mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasinya. Fungsi balai latihan kerja (BLK) yang mencetak tenaga siap kerja pun perlu dimaksimalkan.
Anne rufaidah/Ilham safutra
(bbg)