Jangan Biarkan Otak Bekerja Ekstra

Minggu, 25 Januari 2015 - 12:23 WIB
Jangan Biarkan Otak Bekerja Ekstra
Jangan Biarkan Otak Bekerja Ekstra
A A A
Kehadiran teknologi tak dimungkiri ibarat dua sisi pedang. Di satu sisi banyak membantu aktivitas, namun di sisi lain membuat manusia menjadi sosok multitasking. Mereka kerap melakukan beberapa kegiatan dalam satu waktu. Awas, ada risiko mengintai.

Kerja berbarengan itu misalnya ketika bekerja atau beristirahat, orang masih disibukkan dengan gadget. Hal ini memiliki dampak buruk pada otak karena dengan mengerjakan beberapa kegiatan dalam satu waktu dapat memperlambat kinerja otak bahkan menurunkan intelligence quotient (IQ) manusia.

Pada 30 tahun silam manusia masih membutuhkan jasa perantara ketika ingin mengirim surat. Mereka menyewa sekretaris atau asisten pribadi untuk memilah surat-surat yang datang serta membayar ahli hanya untuk menjawab surat-surat tersebut. Namun pada era modern, hal itu tidak berlaku lagi.

Seseorang mampu melakukan semua tugas itu seorang diri bahkan dalam waktu bersamaan dengan bantuan teknologi. Rata-rata setiap harinya seseorang mampu mengerjakan 10 pekerjaan dalam satu waktu. Mungkin orang menyebut ini sebagai efisiensi kerja. Dengan hanya mempekerjakan satu orang, sebuah perusahaan bisa mendapatkan hasil kerja layaknya hasil kerja lima orang.

Dalam anggapan ekonomi ini memang tepat, namun dari segi kesehatan, multitasking harus dihindari. Karena, multitasking justru membuat kinerja manusia tidak efisien. Hadirnya teknologi dituding sebagai biang kemunculan fenomena multitasking. Keberadaan teknologi khususnya smartphone dengan fasilitasnya yang menumpuk seperti games, media sosial, perekam, pemutar video, kamus, atau kalkulator membuat manusia tidak pernah berhenti menggunakan teknologi dalam kesehariannya, bahkan saat waktu istirahat.

Di meja dapur, di dalam kendaraan, bahkan di dalam toilet, tidak sedikit orang yang selalu memegang smartphone. Akibatnya, otak bekerja lebih sibuk karena menerima lebih banyak informasi baik berupa rumor atau fakta, serta memilah mana yang seharusnya dicerna atau diabaikan. Uniknya, banyak orang kerap merasa bahwa dirinya mampu menyerap seluruh informasi dari smartphone dengan baik.

Padahal menurut Earl Miller, ahli syaraf dari Massachussets Institute of Technology (MIT), Amerika Serikat, perasaan orang yang merasa bisa mendapatkan informasi maksimal ketika melakoni banyak pekerjaan dalam waktu bersamaan hanyalah ilusi. Menurut Miller, otak manusia tidak didesain untuk menjalankan banyak tugas dalam waktu bersamaan.

Ketika orang berpikir multitasking tidaklah masalah, mereka sebenarnya hanya beralih dari satu tugas ke tugas yang lain dengan sangat cepat, dan setiap kali hal itu dilakukan ada aktivitas kognitif lebih yang harus dikorbankan. ”Kondisi ini membuat orang lebih cepat panik, dan ironisnya multitasking terbukti membuat manusia kurang efisien,” tegas Miller, dikutip The Guardian.

Miller menjelaskan, multitasking terbukti dapat meningkatkan produksi hormon stres yakni kortisol yang dapat menghasilkan overstimulate otak dan menyebabkan kabut mental. Multitasking juga menyebabkan orang kecanduan, otak kehilangan fokus dan terus menerus mencari stimulasi eksternal.

Orang dengan kemampuan multitasking akan lebih mudah tertarik dengan hal-hal baru namun sulit menyerap informasi maksimal hingga 100%. Orang di zaman modern tidak bisa hidup santai terutama karena setiap jamnya mereka dihadapkan pada ribuan informasi yang membanjiri smartphone, email (surat elektronik), dan informasi lainnya.

Ketika seseorang secara rutin mendapat ribuan email setiaphari, secara otomatis otaknya bekerja sepanjang hari untuk menyortir mana surat yang harus dibalas dan tidak. Glenn Wilson, mantan profesor tamu psikologi di Gresham College London menyebut gejala ini sebagai info-mania. Ia menemukan penelitian bagaimana kondisi otak seseorang ketika melakukan multitasking.

Dalam penelitiannya, Wilson menemukan bahwa orang yang tengah menjalani dua aktivitas dalam satu waktu, IQ-nya akan berkurang 10 poin. ”Kerugian kognitif multitasking jauh lebih besar dibanding efek kognitif seorang perokok,” terang Wilson. Russ Poldrack, ilmuwan syaraf di Stanford University juga menuturkan hal sama.

Ia menuturkan bahwa belajar sambil melakukan aktivitas lain seperti menonton televisi atau mendengarkan radio menyebabkan informasi masuk ke bagian otak yang salah. Ketika siswa belajar sambil menonton televisi pada saat sama, informasi dari sekolah akan masuk kedaerah khusus untuk menyimpan prosedur baru dan keterampilan yang disebut striatum.

Namun, ide dan fakta tidak mampu diserap dalam organ ini. Sementara, siswa yang belajar tanpa gangguan informasi terbukti dapat menangkap ide-ide dan fakta dengan baik, sebab informasi dapat langsung masuk ke dalam hippocampus, yakni bagian di otak yang berfungsi untuk menyerap informasi-informasi penting.

”Ketika orang-orang mengatakan mampu menyerap informasi dengan baik melalui metode multitasking, maka otaknya telah berhasil menipu pikiran mereka sendiri,” Poldrack. Setiap kali seseorang mengirimkan email atau mengunggah gambar serta informasi lain dalam media sosial, ada rasa keberhasilan yang dirasakan dan otak memberikan anda ”reward ” atas keberhasilan tersebut.

Nyatanya mereka tak pernah berinteraksi secara verbal dengan siapa pun. Untuk menghindari kerusakan otak yang lebih parah lagi, manusia perlu membatasi aktivitasnya dalam menggunakan teknologi terutama smartphone.

Rini agustina
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5920 seconds (0.1#10.140)