KPK, Polri, dan Presiden
A
A
A
Perseteruan antara Polri dan KPK terkait penangkapan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto dan penetapan tersangka calon kapolri Komjen Pol Budi Gunawan menjadi perhatian dan keprihatinan masyarakat luas.
Perseteruan hukum antara dua lembaga penegak hukum ini bukan pertama kali, melainkan terjadi beberapa kali. Ini berarti sudah beberapa kali pula publik mendapat kado istimewa dari para penegak hukum yang terlibat dalam perseteruan itu. Termasuk yang terkini adalah kejadian Jumat pagi yang menghebohkan, ketika penyidik Bareskrim Mabes Polri menangkap Bambang Widjojanto di Depok.
Meski demikian, penetapan tersangka Komjen Pol Budi Gunawan oleh KPK tetap mengejutkan karena dilakukan sehari sebelum pelaksanaan fit and proper test calon Kapolri di DPR. Penangkapan Bambang pun tak kalah mengejutkan. Demikian pula keputusan Presiden RI Joko Widodo yang menunda pelantikan Komjen Pol Budi Gunawan setelah dinyatakan lolos sebagai kapolri oleh DPR.
Tidak ada batas waktu yang jelas kapan pelantikan Komjen Budi Gunawan ditunda oleh Presiden. Yang jelas saat mengumumkan penundaan pelantikan itu, Presiden sudah meneken keppres pemberhentian Jenderal Pol Sutarman sebagai kapolri dan menunjuk Wakapolri Komjen Pol Badrodin Haiti sebagai pelaksana tugas kapolri.
Ini berarti institusi Polri yang membawahi lebih 400.000 personel ini hanya dipimpin seorang pelaksana tugas yang memiliki kewenangan terbatas. Berbagai pihak menyayangkan keputusan Presiden ini karena akan membuka peluang terbukanya pertentangandiinternalPolri, lantaran ketiadaan sosok pemimpin tertinggi.
Apa yang terjadi pada Jumat (23/1) pagi menunjukkan tidak adanya koordinasi di internal Polri dan terputusnya koordinasi Polri dengan Istana. Sangat disayangkan jika ternyata Presiden tidak mampu mengontrol perilaku aparatnya di kepolisian. Betapa berbahayanya kondisi bangsa dan negara ini jika Presiden sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara tidak memiliki power untuk melaksanakan dua tugas mulia itu.
Dalam konteks politik Indonesia, kewibawaan Presiden sebagai pemimpin seluruh rakyat Indonesia sangatlah diperlukan. Dalam situasi genting seperti kasus KPK versus Polri yang terjadi sekarang, publik dipaksa untuk berpihak kepada KPK atau kepada Polri. Padahal, mestinya masyarakat luas mestinya memberi dukungan yang sama kepada KPK dan Polri sebagai lembaga penegak hukum yang memiliki tugas dan kewajiban masing-masing seperti diamanatkan undang-undang.
KPK dianggap hebat karena berani menangkap orang-orang yang sulit disentuh oleh Polri dan kejaksaan dalam pemberantasan korupsi. Namun, publik juga tidak boleh lupa bahwa kehebatan dan keberanian KPK tidak lepas dari peran para penyidik yang sebagian besar juga berasal dari kejaksaan dan kepolisian dan tentu saja dukungan masyarakat.
Karena itu, kehebatan KPK tidak harus diposisikan untuk terus menerus mendiskreditkan institusi kejaksaan dan kepolisian. Mestinya ketiga institusi ini bahumembahu sebagai trisula maut dalam memberantas korupsi, menegakkan hukum, dan mengayomi masyarakat. Tapi fakta berbicara lain.
Kuatnya arus kepentingan politik sering kali menyeret pihak-pihak yang ada di dalam tiga lembaga penegakan hukum itu untuk masuk ke wilayah yang bukan domain mereka. Atau paling tidak ada upaya-upaya untuk memelintir wewenang yang sangat besar itu untuk kepentingan di luar penegakan hukum, baik itu di KPK, Polri, maupun kejaksaan.
Di sinilah tugas seorang kepala negara sebagai penengah untuk mengingatkan potensi gesekan-gesekan dan penyelewengan itu. Kita semua harus saling mengingatkan bahwa KPK penting, Polri penting, kejaksaan juga penting, dan ketegasan dan kewibawaan Presiden juga penting.
Presiden dipilih oleh rakyat untuk bekerja keras memenuhi janji-janjinya untuk memajukan Indonesia. Dalam tugasnya, Presiden akan menghadapi banyak rintangan dan hambatan. Di situlah pengalaman, kematangan, kecerdikan, keberanian, dan kewibawaan seorang Presiden akan sangat menentukan. Rakyat menunggu peran konkret Presiden Jokowi dalam mengatasi berbagai persoalan bangsa.
Perseteruan hukum antara dua lembaga penegak hukum ini bukan pertama kali, melainkan terjadi beberapa kali. Ini berarti sudah beberapa kali pula publik mendapat kado istimewa dari para penegak hukum yang terlibat dalam perseteruan itu. Termasuk yang terkini adalah kejadian Jumat pagi yang menghebohkan, ketika penyidik Bareskrim Mabes Polri menangkap Bambang Widjojanto di Depok.
Meski demikian, penetapan tersangka Komjen Pol Budi Gunawan oleh KPK tetap mengejutkan karena dilakukan sehari sebelum pelaksanaan fit and proper test calon Kapolri di DPR. Penangkapan Bambang pun tak kalah mengejutkan. Demikian pula keputusan Presiden RI Joko Widodo yang menunda pelantikan Komjen Pol Budi Gunawan setelah dinyatakan lolos sebagai kapolri oleh DPR.
Tidak ada batas waktu yang jelas kapan pelantikan Komjen Budi Gunawan ditunda oleh Presiden. Yang jelas saat mengumumkan penundaan pelantikan itu, Presiden sudah meneken keppres pemberhentian Jenderal Pol Sutarman sebagai kapolri dan menunjuk Wakapolri Komjen Pol Badrodin Haiti sebagai pelaksana tugas kapolri.
Ini berarti institusi Polri yang membawahi lebih 400.000 personel ini hanya dipimpin seorang pelaksana tugas yang memiliki kewenangan terbatas. Berbagai pihak menyayangkan keputusan Presiden ini karena akan membuka peluang terbukanya pertentangandiinternalPolri, lantaran ketiadaan sosok pemimpin tertinggi.
Apa yang terjadi pada Jumat (23/1) pagi menunjukkan tidak adanya koordinasi di internal Polri dan terputusnya koordinasi Polri dengan Istana. Sangat disayangkan jika ternyata Presiden tidak mampu mengontrol perilaku aparatnya di kepolisian. Betapa berbahayanya kondisi bangsa dan negara ini jika Presiden sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara tidak memiliki power untuk melaksanakan dua tugas mulia itu.
Dalam konteks politik Indonesia, kewibawaan Presiden sebagai pemimpin seluruh rakyat Indonesia sangatlah diperlukan. Dalam situasi genting seperti kasus KPK versus Polri yang terjadi sekarang, publik dipaksa untuk berpihak kepada KPK atau kepada Polri. Padahal, mestinya masyarakat luas mestinya memberi dukungan yang sama kepada KPK dan Polri sebagai lembaga penegak hukum yang memiliki tugas dan kewajiban masing-masing seperti diamanatkan undang-undang.
KPK dianggap hebat karena berani menangkap orang-orang yang sulit disentuh oleh Polri dan kejaksaan dalam pemberantasan korupsi. Namun, publik juga tidak boleh lupa bahwa kehebatan dan keberanian KPK tidak lepas dari peran para penyidik yang sebagian besar juga berasal dari kejaksaan dan kepolisian dan tentu saja dukungan masyarakat.
Karena itu, kehebatan KPK tidak harus diposisikan untuk terus menerus mendiskreditkan institusi kejaksaan dan kepolisian. Mestinya ketiga institusi ini bahumembahu sebagai trisula maut dalam memberantas korupsi, menegakkan hukum, dan mengayomi masyarakat. Tapi fakta berbicara lain.
Kuatnya arus kepentingan politik sering kali menyeret pihak-pihak yang ada di dalam tiga lembaga penegakan hukum itu untuk masuk ke wilayah yang bukan domain mereka. Atau paling tidak ada upaya-upaya untuk memelintir wewenang yang sangat besar itu untuk kepentingan di luar penegakan hukum, baik itu di KPK, Polri, maupun kejaksaan.
Di sinilah tugas seorang kepala negara sebagai penengah untuk mengingatkan potensi gesekan-gesekan dan penyelewengan itu. Kita semua harus saling mengingatkan bahwa KPK penting, Polri penting, kejaksaan juga penting, dan ketegasan dan kewibawaan Presiden juga penting.
Presiden dipilih oleh rakyat untuk bekerja keras memenuhi janji-janjinya untuk memajukan Indonesia. Dalam tugasnya, Presiden akan menghadapi banyak rintangan dan hambatan. Di situlah pengalaman, kematangan, kecerdikan, keberanian, dan kewibawaan seorang Presiden akan sangat menentukan. Rakyat menunggu peran konkret Presiden Jokowi dalam mengatasi berbagai persoalan bangsa.
(bbg)