Hukuman Mati
A
A
A
RHENALD KASALI
Pendiri Rumah Perubahan
@Rhenald_Kasali
Ini dongeng klasik China. Begini kisahnya. Fu Tun adalah seorang tokoh yang sangat terkenal di China. Ia penganut ajaran Mohisme (didirikan oleh Mo Tze, inti ajarannya tentang cinta yang universal) dan abdi setia Raja Qin.
Suatu ketika, anak tunggal Fu Tun terlibat perkelahian dengan penduduk setempat sampai lawannya meninggal dunia. Anak Fu Tun ditangkap. Aturan yang berlaku ketika itu, siapa yang membunuh, dia harus dibunuh. Namun, karena Fu Tun adalah pejabat yang loyal, Raja Qin memutuskan untuk mengembalikan persoalan kepada Fu Tun. Kata Raja Qin, “Oleh karena pengabdianmu selama ini dan dengan pertimbangan anakmu adalah anak tunggal, akuberi kelonggaran kepadamu untuk menangani kasus ini.”
Fu Tun tertegun. Dia menjawab, “Saya adalah orang yang menghargai dan menempatkan hukum di atas segala-galanya. Secara pribadi, saya sangat menghargai keputusan Raja dan saya juga sangat mencintai anak saya.” Setelah terdiam sejenak dan menarik napaspanjang, FuTunmelanjutkan, “Tapi, sekali lagi, hukum tidak mengenal keluarga, tidak mengenal teman, atau siapa pun.
Meski kejadian ini merupakan pukulan berat, saya berharap Baginda Raja tetap menjalankan peraturan yang sudah ditetapkan. Itu lebih besar manfaatnya bagi bangsa dan negara ini.” Mendengar jawaban Fu Tun, sang anak pun meraung-raung memohon ampun kepada ayahnya dan Raja Qin. Namun Fu Tun bergeming. Dengan berurai air mata, pejabat itu menyaksikan anak tunggalnya terpaksa dihukum mati.
Mandat Kehidupan
Bicara tentang hukuman mati, negara kita baru saja melakukannya. Tentu ada rasa tidak nyaman di hati sebagian kita. Apalagi enam terpidana mati karena kasus narkoba itu di-blow-up terus sepanjang hari sejak sebelum eksekusi dilakukan pada Minggu (18/1) di hadapan regu tembak. Tapi mungkin ada gunanya juga untuk menimbulkan sinyal agar tidak sembarangan terlibat dalam bisnis haram ini.
Melalui televisi, kita bisa menyaksikan liputan detik-detik menjelang dilakukannya eksekusi tersebut. Di antaranya liputan tentang iring-iringan mobil yang mengangkut para terpidana menuju titiktitik tempat mereka bakal dieksekusi. Saya, terus terang, tercekam oleh liputan tersebut. Sulit bagi saya untuk membayangkan bagaimana perasaan para keluarga terpidana saat menyaksikan liputan tersebut.
Iring-iringan tersebut mengangkut kerabat mereka yang beberapa saat lagi bakal dijemput oleh malaikat maut. Kalau saya saja tercekam, mereka tentu lebih lagi. Dan kita masih akan menyaksikan lagi liputan serupa dalam beberapa waktu ke depan. Sebab untuk tahun ini akan ada 68 narapidana narkoba yang akan dieksekusi. Sebagian di antara mereka adalah warga negara asing sehingga bakal memicu masalah diplomatik tersendiri.
Menyaksikan liputan tersebut, saya jadi teringat dengan kalimat pertama dalam buku saya, Self Driving (2014). Bunyinya begini: “Kita semua adalah pemegang mandat kehidupan. Sewaktu dilahirkan, Tuhan hanya bersabda, Inilah hidupmu. Setelah itu kita menjalani kehidupan kita sendiri.” Enam terpidana narkoba yang telah dieksekusi tentu menerima mandat kehidupan yang sama dengan kita.
Hanya mereka memilih jalan kehidupannya sendiri yang pada akhirnya mengantar mereka sampai ke hadapan regu tembak. Kita tentu prihatin. Siapakah kita sehingga berhak mencabut hak hidup orang lain? Hukuman mati tersebut juga membuat negara kita dinilai mundur beberapa tahun ke belakang.
Saat ini jumlah negara yang telah menghapus hukuman mati sudah jauh lebih banyak ketimbang yang mempertahankannya. Dari 197 negara, sebanyak 129 di antaranya sudah menghapuskan hukuman mati. Jadi, melaksanakan hukuman mati sama dengan perbuatan yang melawan arus. Tapi, menurut saya, saat ini kita masih memerlukan pemimpin yang berani melawan arus. Mengapa?
Kondisi Darurat
Semasa remaja, saya kebetulan kenal beberapa anak sekitar kampung yang sebagian menganggap saya sebagai kakak. Atau setidak-tidaknya saya dianggap lebih tua. Ketika anak-anak itu tumbuh menjadi remaja, saya juga masih mengenalinya. Bahkan beberapa kali kami masih bertegur sapa.
Dalam satu dua kesempatan saat bergosip dengan tetangga di kanan-kiri, saya mendengar beberapa dari mereka terjerat sebagai pengguna narkoba. Saya mengelus dada. Lalu, tibalah masanya. Satu per satu dari mereka dipanggil menghadap Ilahi. Mereka meninggal dunia. Rupanya narkoba bukan hanya membuat mereka kecanduan, tetapi juga merusak organ-organ dalam tubuhnya.
Jantung rusak, pembentukan sel-sel darah terganggu, terjadi pula gangguan otak, gangguan tulang, gangguan pembuluh darah, gangguan pencernaan, gangguan paru, gangguan sistem saraf, dan sebagainya. Itu baru gangguan fisik. Belum ditambah dengan gangguan mental dan kejiwaan. Dengan gangguan sebanyak itu, tak mengherankan kalau Ilahi akhirnya memanggil mereka.
Itu fenomena yang saya lihat dalam skala sangat mikro. Di kampung-kampung. Dalam skala makro, fenomenanya lebih mengerikan. Data Badan Narkotika Nasional (BNN) menyatakan, setiap hari 50 penduduk Indonesia meninggal karena penyalahgunaan narkoba. Masih dari data BNN. Selama tahun 2014, jumlah pecandu narkoba di negara kita sudah mencapai 4,5 juta jiwa dengan 1,2 juta di antaranya sudah tidak bisa direhabilitasi.
Untuk tahun 2015, jumlah pecandu ini diperkirakan naik menjadi 5,8 juta jiwa. Dan, ini yang patut dicatat, sebanyak 75% pecandu tersebut adalah kalangan pelajar dan kelompok penduduk usia produktif. Lalu, dari lalu lintas peredaran narkoba di kawasan ASEAN, sebanyak 43% ada di negara kita. Maka, tak aneh kalau ada anggapan, Indonesia adalah surga para bandar narkoba.
Kalimat “Indonesia darurat narkoba” jelas tidak berlebihan. Bayangkan, dulu hukuman mati itu begitu mengerikan kalau kita dengar terjadi di Malaysia. Tapi entah mengapa sekarang banyak beredar barang haram itu dari Malaysia? Seorang oknum polisi kita yang ditangkap di Malaysia belum lama ini ternyata bukannya dieksekusi oleh pengadilan Malaysia dengan hukuman mati, malah dipulangkan ke Tanah Air.
Ada apa? Di Bandara Ngurah Rai Denpasar belum lama ini petugas Bea Cukai memberi tahu saya bahwa ia baru saja menangkap seorang guru perempuan yang ketahuan membawa dadah. Mulanya ia diundang oleh organisasi guru di sana dan setelah itu ia pun digarap menjadi kurir. Sekali lagi, mengapa Malaysia kini menjadi begitu terkesan tidak tegas? Lalu apakah kecanduan kaum muda terhadap narkoba di sana juga sama seperti di sini? Rasanya tidak.
Maka, saya bangga punya pemimpin yang berani melawan arus dengan tetap menerapkan hukuman mati. Sonna cosa nostra, kata Don Corleone dalam novel The Godfather . Artinya, biarlah kita yang mengurus urusan kita sendiri. Bukan orang atau negara lain. Semua bangsa perlu menjaga kaum mudanya agar kita tumbuh menjadi bangsa yang kompetitif, sehat, dan bersatu.
Bukan yang cacat, penyakitan, dan lumpuh karena narkoba. Hanya, kalau boleh memilih, saya tentu akan jauh lebih bangga kalau suatu saat kelak negara kita tak perlu lagi menerapkan hukuman mati. Baik untuk kasus-kasus narkoba, pembunuhan sadis, atau perbuatan kriminal lain termasuk korupsi, tentunya, meski belum ada satu pun koruptor di negara ini yang dihukum mati. Atau, jangan-jangan, mungkin, kita perlu menerapkannya satu-dua kali dulu supaya betul-betul jera?
Pendiri Rumah Perubahan
@Rhenald_Kasali
Ini dongeng klasik China. Begini kisahnya. Fu Tun adalah seorang tokoh yang sangat terkenal di China. Ia penganut ajaran Mohisme (didirikan oleh Mo Tze, inti ajarannya tentang cinta yang universal) dan abdi setia Raja Qin.
Suatu ketika, anak tunggal Fu Tun terlibat perkelahian dengan penduduk setempat sampai lawannya meninggal dunia. Anak Fu Tun ditangkap. Aturan yang berlaku ketika itu, siapa yang membunuh, dia harus dibunuh. Namun, karena Fu Tun adalah pejabat yang loyal, Raja Qin memutuskan untuk mengembalikan persoalan kepada Fu Tun. Kata Raja Qin, “Oleh karena pengabdianmu selama ini dan dengan pertimbangan anakmu adalah anak tunggal, akuberi kelonggaran kepadamu untuk menangani kasus ini.”
Fu Tun tertegun. Dia menjawab, “Saya adalah orang yang menghargai dan menempatkan hukum di atas segala-galanya. Secara pribadi, saya sangat menghargai keputusan Raja dan saya juga sangat mencintai anak saya.” Setelah terdiam sejenak dan menarik napaspanjang, FuTunmelanjutkan, “Tapi, sekali lagi, hukum tidak mengenal keluarga, tidak mengenal teman, atau siapa pun.
Meski kejadian ini merupakan pukulan berat, saya berharap Baginda Raja tetap menjalankan peraturan yang sudah ditetapkan. Itu lebih besar manfaatnya bagi bangsa dan negara ini.” Mendengar jawaban Fu Tun, sang anak pun meraung-raung memohon ampun kepada ayahnya dan Raja Qin. Namun Fu Tun bergeming. Dengan berurai air mata, pejabat itu menyaksikan anak tunggalnya terpaksa dihukum mati.
Mandat Kehidupan
Bicara tentang hukuman mati, negara kita baru saja melakukannya. Tentu ada rasa tidak nyaman di hati sebagian kita. Apalagi enam terpidana mati karena kasus narkoba itu di-blow-up terus sepanjang hari sejak sebelum eksekusi dilakukan pada Minggu (18/1) di hadapan regu tembak. Tapi mungkin ada gunanya juga untuk menimbulkan sinyal agar tidak sembarangan terlibat dalam bisnis haram ini.
Melalui televisi, kita bisa menyaksikan liputan detik-detik menjelang dilakukannya eksekusi tersebut. Di antaranya liputan tentang iring-iringan mobil yang mengangkut para terpidana menuju titiktitik tempat mereka bakal dieksekusi. Saya, terus terang, tercekam oleh liputan tersebut. Sulit bagi saya untuk membayangkan bagaimana perasaan para keluarga terpidana saat menyaksikan liputan tersebut.
Iring-iringan tersebut mengangkut kerabat mereka yang beberapa saat lagi bakal dijemput oleh malaikat maut. Kalau saya saja tercekam, mereka tentu lebih lagi. Dan kita masih akan menyaksikan lagi liputan serupa dalam beberapa waktu ke depan. Sebab untuk tahun ini akan ada 68 narapidana narkoba yang akan dieksekusi. Sebagian di antara mereka adalah warga negara asing sehingga bakal memicu masalah diplomatik tersendiri.
Menyaksikan liputan tersebut, saya jadi teringat dengan kalimat pertama dalam buku saya, Self Driving (2014). Bunyinya begini: “Kita semua adalah pemegang mandat kehidupan. Sewaktu dilahirkan, Tuhan hanya bersabda, Inilah hidupmu. Setelah itu kita menjalani kehidupan kita sendiri.” Enam terpidana narkoba yang telah dieksekusi tentu menerima mandat kehidupan yang sama dengan kita.
Hanya mereka memilih jalan kehidupannya sendiri yang pada akhirnya mengantar mereka sampai ke hadapan regu tembak. Kita tentu prihatin. Siapakah kita sehingga berhak mencabut hak hidup orang lain? Hukuman mati tersebut juga membuat negara kita dinilai mundur beberapa tahun ke belakang.
Saat ini jumlah negara yang telah menghapus hukuman mati sudah jauh lebih banyak ketimbang yang mempertahankannya. Dari 197 negara, sebanyak 129 di antaranya sudah menghapuskan hukuman mati. Jadi, melaksanakan hukuman mati sama dengan perbuatan yang melawan arus. Tapi, menurut saya, saat ini kita masih memerlukan pemimpin yang berani melawan arus. Mengapa?
Kondisi Darurat
Semasa remaja, saya kebetulan kenal beberapa anak sekitar kampung yang sebagian menganggap saya sebagai kakak. Atau setidak-tidaknya saya dianggap lebih tua. Ketika anak-anak itu tumbuh menjadi remaja, saya juga masih mengenalinya. Bahkan beberapa kali kami masih bertegur sapa.
Dalam satu dua kesempatan saat bergosip dengan tetangga di kanan-kiri, saya mendengar beberapa dari mereka terjerat sebagai pengguna narkoba. Saya mengelus dada. Lalu, tibalah masanya. Satu per satu dari mereka dipanggil menghadap Ilahi. Mereka meninggal dunia. Rupanya narkoba bukan hanya membuat mereka kecanduan, tetapi juga merusak organ-organ dalam tubuhnya.
Jantung rusak, pembentukan sel-sel darah terganggu, terjadi pula gangguan otak, gangguan tulang, gangguan pembuluh darah, gangguan pencernaan, gangguan paru, gangguan sistem saraf, dan sebagainya. Itu baru gangguan fisik. Belum ditambah dengan gangguan mental dan kejiwaan. Dengan gangguan sebanyak itu, tak mengherankan kalau Ilahi akhirnya memanggil mereka.
Itu fenomena yang saya lihat dalam skala sangat mikro. Di kampung-kampung. Dalam skala makro, fenomenanya lebih mengerikan. Data Badan Narkotika Nasional (BNN) menyatakan, setiap hari 50 penduduk Indonesia meninggal karena penyalahgunaan narkoba. Masih dari data BNN. Selama tahun 2014, jumlah pecandu narkoba di negara kita sudah mencapai 4,5 juta jiwa dengan 1,2 juta di antaranya sudah tidak bisa direhabilitasi.
Untuk tahun 2015, jumlah pecandu ini diperkirakan naik menjadi 5,8 juta jiwa. Dan, ini yang patut dicatat, sebanyak 75% pecandu tersebut adalah kalangan pelajar dan kelompok penduduk usia produktif. Lalu, dari lalu lintas peredaran narkoba di kawasan ASEAN, sebanyak 43% ada di negara kita. Maka, tak aneh kalau ada anggapan, Indonesia adalah surga para bandar narkoba.
Kalimat “Indonesia darurat narkoba” jelas tidak berlebihan. Bayangkan, dulu hukuman mati itu begitu mengerikan kalau kita dengar terjadi di Malaysia. Tapi entah mengapa sekarang banyak beredar barang haram itu dari Malaysia? Seorang oknum polisi kita yang ditangkap di Malaysia belum lama ini ternyata bukannya dieksekusi oleh pengadilan Malaysia dengan hukuman mati, malah dipulangkan ke Tanah Air.
Ada apa? Di Bandara Ngurah Rai Denpasar belum lama ini petugas Bea Cukai memberi tahu saya bahwa ia baru saja menangkap seorang guru perempuan yang ketahuan membawa dadah. Mulanya ia diundang oleh organisasi guru di sana dan setelah itu ia pun digarap menjadi kurir. Sekali lagi, mengapa Malaysia kini menjadi begitu terkesan tidak tegas? Lalu apakah kecanduan kaum muda terhadap narkoba di sana juga sama seperti di sini? Rasanya tidak.
Maka, saya bangga punya pemimpin yang berani melawan arus dengan tetap menerapkan hukuman mati. Sonna cosa nostra, kata Don Corleone dalam novel The Godfather . Artinya, biarlah kita yang mengurus urusan kita sendiri. Bukan orang atau negara lain. Semua bangsa perlu menjaga kaum mudanya agar kita tumbuh menjadi bangsa yang kompetitif, sehat, dan bersatu.
Bukan yang cacat, penyakitan, dan lumpuh karena narkoba. Hanya, kalau boleh memilih, saya tentu akan jauh lebih bangga kalau suatu saat kelak negara kita tak perlu lagi menerapkan hukuman mati. Baik untuk kasus-kasus narkoba, pembunuhan sadis, atau perbuatan kriminal lain termasuk korupsi, tentunya, meski belum ada satu pun koruptor di negara ini yang dihukum mati. Atau, jangan-jangan, mungkin, kita perlu menerapkannya satu-dua kali dulu supaya betul-betul jera?
(bbg)