Sistem Khilafah Cenderung Sukuisme
A
A
A
JAKARTA - Ide negara Islam di Indonesia sebenarnya telah lama terlontar, tepatnya saat proses perumusan dasar negara Indonesia. Saat itu para founding fathers yang terdiri dari kalangan tokoh Islam dan nasionalis memiliki pandangan berbeda dalam menentukan dasar negara yang tepat.
Namun, perbedaan tersebut bisa didialogkan oleh para tokoh. Mereka sepakat bahwa Indonesia bukan negara agama, tetapi juga bukan negara sekuler. Karena itu, perlu ada rumusanyangkuat, komprehensif, yangdijiwai oleh semangat dan nilai-nilai tersebut dalam bernegara.
Nilai-nilai tersebut terkandung dalam Pancasila sebagai falsafah dasar kehidupan bernegara. ”Pancasila akhirnya disepakati menjadi dasar negara, dengan tetap mengakomodir kepentingan umat Islam di dalamnya. Jadi, kalau ada yang mengatakan pemerintah dan Pancasila thaghut, berarti tidak menghargai perjuangan ulama dan founding fathers,” kata mantan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Komaruddin Hidayat dalam diskusi dan bedah buku Kontroversi Khilafah, Islam, Negara, dan Pancasila di gedung PB Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Jalan Sultan Agung, Jakarta Selatan, kemarin.
Pancasila berhasil menyatukan dan mengakomodasi kepentingan bangsa Indonesia yang majemuk. Kemajemukan bangsa Indonesia merupakan keniscayaan yang tak bisa diganggu gugat. ”Kita lahir sebagai orang Indonesia adalah fakta primordial. Lahir dari etnik Jawa, China, maupun Arab juga fakta primordial. Kemudian lahir sebagai muslim, kristiani, atau budhis juga fakta primordial.
Alquran (Al Hujarat 49:13) juga mengakui pluralitas itu. Pluralitas adalah cetak biru Tuhan. Jika ada yang rasis, berarti menentang ketetapan Tuhan,” terangnya. Lebih lanjut dia mengungkapkan, kekhalifahan lebih banyak dilatarbelakangi semangat rasisme.
”Khalifah dalam sejarahnya tak lepas dari kompetisi suku. Negara Timur Tengah itu sukuismenya kuat dan laten sampai saat ini. Itu bisa dilihat dari nama-nama negara Timur Tengah seperti, Arab Saudi menonjolkan bani Saud, Uni Emirat dari Emir,” kata dia.
Karena sukuisme yang kuat, lanjut dia, bangsa Timur Tengah sulit bersatu dan mudah ditaklukkan oleh barat. Berbeda dengan Timteng, ujar dia, Indonesia memiliki semangat kebersatuan yang tinggi sehingga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dapat bertahan sampai saat ini.
”Jika di Timteng khalifah atau sultan terawetkan, di Indonesia semua sultan dari berbagai kerajaan dapat bersatu untuk mengusir penjajah. Karena kesamaan penderitaan, kebhinekaan bangsa dapat disatukan untuk melawan penjajah,” tegas dia. Cendekiawan muslim ini menilai, sah-sah saja jika ada kelompok yang menginginkan berdirinya negara Islam di Indonesia.
Namun, historisitas Indonesia dan fakta kekhalifahan di Timur Tengah itu harus dipelajari terlebih dahulu secara mendalam. ”Kasihan kalau mereka terlanjur menggebu-gebu memperjuangkan kekhalifahan akhirnya tak mendapatkan apa-apa, hanya buang energi. Kekhalifahan seperti apa juga nggak jelas,” ujarnya. Buku Kontroversi Khilafah ini ditulis sejumlah intelektual muslim Indonesia.
Di antaranya mantan Rektor UIN Sunan Kalijaga Amin Abdullah, Azyumardi Azra, Haidar Bagir, Masdar F Masudi, dan Nadirsyah Hosen. Sementara dari kalangan cendekiawan muda, ada Akhmad Sahal, Ahmad Najib Burhani, Fajar Riza Ul Haq, Yudi Latif, dan Zuhairi Misrawi. Ketua Umum PB NU KH Said Aqiel Siradj mengatakan, umat Islam Indonesia tak sepatutnya mengadopsi konsep dasar negara dari Timur Tengah.
Dalam hal menjaga persatuan (ukhuwah), justru bangsa Indonesia yang mestinya menjadi contoh bagi negara di Timur Tengah. ”Ulama kita terdahulu ke Timur Tengahhanyabelajarilmu, tapi ukhuwah- nya belajar di Tanah Air. Soal Ilmu kita boleh belajar ke sana, namun masalah ukhuwah dan wathaniyah (patriotisme), mereka harus belajar ke Indonesia,” kata Said.
Semangat Islam menurut Said Aqiel tak boleh dipertentangkan dengan semangat kebangsaan atau nasionalisme. Keduanya harus saling memperkuat untuk menjaga keutuhan NKRI. ”Ulama sekaligus peletak dasar kemerdekaan RI, KH Hasyim Asyari, berpesan kepada kita untuk menyinergikan Islam dan nasionalisme. Karena sinergitas itu sampai saat ini NKRI kokoh. Timur Tengah, meski penduduknya 100% muslim, terus dilanda perang karena nasionalismenya tak terbangun,” jelasnya.
Khoirul muzakki
Namun, perbedaan tersebut bisa didialogkan oleh para tokoh. Mereka sepakat bahwa Indonesia bukan negara agama, tetapi juga bukan negara sekuler. Karena itu, perlu ada rumusanyangkuat, komprehensif, yangdijiwai oleh semangat dan nilai-nilai tersebut dalam bernegara.
Nilai-nilai tersebut terkandung dalam Pancasila sebagai falsafah dasar kehidupan bernegara. ”Pancasila akhirnya disepakati menjadi dasar negara, dengan tetap mengakomodir kepentingan umat Islam di dalamnya. Jadi, kalau ada yang mengatakan pemerintah dan Pancasila thaghut, berarti tidak menghargai perjuangan ulama dan founding fathers,” kata mantan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Komaruddin Hidayat dalam diskusi dan bedah buku Kontroversi Khilafah, Islam, Negara, dan Pancasila di gedung PB Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Jalan Sultan Agung, Jakarta Selatan, kemarin.
Pancasila berhasil menyatukan dan mengakomodasi kepentingan bangsa Indonesia yang majemuk. Kemajemukan bangsa Indonesia merupakan keniscayaan yang tak bisa diganggu gugat. ”Kita lahir sebagai orang Indonesia adalah fakta primordial. Lahir dari etnik Jawa, China, maupun Arab juga fakta primordial. Kemudian lahir sebagai muslim, kristiani, atau budhis juga fakta primordial.
Alquran (Al Hujarat 49:13) juga mengakui pluralitas itu. Pluralitas adalah cetak biru Tuhan. Jika ada yang rasis, berarti menentang ketetapan Tuhan,” terangnya. Lebih lanjut dia mengungkapkan, kekhalifahan lebih banyak dilatarbelakangi semangat rasisme.
”Khalifah dalam sejarahnya tak lepas dari kompetisi suku. Negara Timur Tengah itu sukuismenya kuat dan laten sampai saat ini. Itu bisa dilihat dari nama-nama negara Timur Tengah seperti, Arab Saudi menonjolkan bani Saud, Uni Emirat dari Emir,” kata dia.
Karena sukuisme yang kuat, lanjut dia, bangsa Timur Tengah sulit bersatu dan mudah ditaklukkan oleh barat. Berbeda dengan Timteng, ujar dia, Indonesia memiliki semangat kebersatuan yang tinggi sehingga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dapat bertahan sampai saat ini.
”Jika di Timteng khalifah atau sultan terawetkan, di Indonesia semua sultan dari berbagai kerajaan dapat bersatu untuk mengusir penjajah. Karena kesamaan penderitaan, kebhinekaan bangsa dapat disatukan untuk melawan penjajah,” tegas dia. Cendekiawan muslim ini menilai, sah-sah saja jika ada kelompok yang menginginkan berdirinya negara Islam di Indonesia.
Namun, historisitas Indonesia dan fakta kekhalifahan di Timur Tengah itu harus dipelajari terlebih dahulu secara mendalam. ”Kasihan kalau mereka terlanjur menggebu-gebu memperjuangkan kekhalifahan akhirnya tak mendapatkan apa-apa, hanya buang energi. Kekhalifahan seperti apa juga nggak jelas,” ujarnya. Buku Kontroversi Khilafah ini ditulis sejumlah intelektual muslim Indonesia.
Di antaranya mantan Rektor UIN Sunan Kalijaga Amin Abdullah, Azyumardi Azra, Haidar Bagir, Masdar F Masudi, dan Nadirsyah Hosen. Sementara dari kalangan cendekiawan muda, ada Akhmad Sahal, Ahmad Najib Burhani, Fajar Riza Ul Haq, Yudi Latif, dan Zuhairi Misrawi. Ketua Umum PB NU KH Said Aqiel Siradj mengatakan, umat Islam Indonesia tak sepatutnya mengadopsi konsep dasar negara dari Timur Tengah.
Dalam hal menjaga persatuan (ukhuwah), justru bangsa Indonesia yang mestinya menjadi contoh bagi negara di Timur Tengah. ”Ulama kita terdahulu ke Timur Tengahhanyabelajarilmu, tapi ukhuwah- nya belajar di Tanah Air. Soal Ilmu kita boleh belajar ke sana, namun masalah ukhuwah dan wathaniyah (patriotisme), mereka harus belajar ke Indonesia,” kata Said.
Semangat Islam menurut Said Aqiel tak boleh dipertentangkan dengan semangat kebangsaan atau nasionalisme. Keduanya harus saling memperkuat untuk menjaga keutuhan NKRI. ”Ulama sekaligus peletak dasar kemerdekaan RI, KH Hasyim Asyari, berpesan kepada kita untuk menyinergikan Islam dan nasionalisme. Karena sinergitas itu sampai saat ini NKRI kokoh. Timur Tengah, meski penduduknya 100% muslim, terus dilanda perang karena nasionalismenya tak terbangun,” jelasnya.
Khoirul muzakki
(bbg)