Tiket Murah Habis

Kamis, 08 Januari 2015 - 11:14 WIB
Tiket Murah Habis
Tiket Murah Habis
A A A
Selamat tinggal tiket penerbangan murah. Jelas ini bukan slogan, melainkan implikasi dari kebijakan Menteri Perhubungan (Menhub) Ignasius Jonan yang menaikkan tarif batas bawah tiket penerbangan hingga 40% dari batas atas.

Menhub beralasan bahwa tarif murah yang ditawarkan industri penerbangan yang tidak rasional berpotensi mengabaikan faktor keselamatan. Dengan kebijakan tersebut, pemerintah berharap pihak maskapai lebih peduli terhadap aspek keselamatan penumpang. Benarkah tiket murah itu cenderung mengabaikan faktor keselamatan?

Pihak maskapai yang menerapkan tarif murah atau lebih akrab dengan istilah low cost carrier (LCC) jelas menyanggah keras anggapan tersebut. Mekanisme penerbangan berbiaya rendah sehingga penumpang bisa menikmati harga tiket murah, bagi pihak maskapai, adalah hasil dari model (trik) bisnis dan efisiensi dari berbagai sisi tanpa mengecilkan unsur keselamatan yang paling utama.

Selain melakukan efisiensi berbagai pos yang tidak penting, bagi maskapai yang menerapkan biaya operasi rendah juga mengoptimalkan utilisasi pesawat yang ada. Misalnya, turnaround time sebuah pesawat maskapai LCC sangat cepat, sekitar 30 menit di darat untuk menurunkan dan menaikkan penumpang.

Karena itu, utilisasi pesawat maskapai LCC bisa mencapai 12 jam per hari. Bandingkan dengan utilisasi pesawat full service yang hanya sekitar tujuh jam sehari. Meski utilisasi pesawat cukup tinggi, bukan berarti soal safety terabaikan. Persoalan keamanan terbang adalah standar internasional yang menyangkut maintenance, training yang tidak mengenal toleransi.

Tetapi, apa boleh buat, Jonan sudah mengetuk palu yang kini melahirkan polemik. Boleh jadi Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) akan menggugat keputusan tersebut karena dinilai kebijakan yang menghapus tarif murah penerbangan bakal merepotkan maskapai kecil. Namun, mantan direktur utama PT Kereta Api Indonesia (KAI) tak ambil pusing bila kebijakan tersebut digugat dan dibatalkan KPPU.

Kalau terjadi apa-apa, menurut pria yang selama ini lebih banyak bergelut dengan urusan bidang finansial tersebut, berarti itu salah KPPU. Pertumbuhan industri penerbangan di Indonesia dalam 10 tahun terakhir ini memang sangat menakjubkan, pembelian pesawat baru dari maskapai domestik sepanjang lima tahun terakhir ini telah membuka mata dunia betapa industri penerbangan dalam negeri terus melaju.

Seiring pertumbuhan tersebut secara umum telah melahirkan dua kategori maskapai yakni maskapai LCC (berbiaya murah) dan maskapai full service. Namun, pengategorian dua maskapai itu bukan ditentukan oleh regulator dalam hal ini Kementerian Perhubungan (Kemenhub). Selama ini pihak Kemenhub hanya mengatur tarif yaitu tarif batas atas dan tarif batas bawah tiket penerbangan.

Karena itu, ketika menhub menetapkan tarif batas bawah sebesar 40% dari tarif batas atas menilai wajar-wajar saja. Apalagi regulasi yang baru diberlakukan untuk penerbangan domestik tujuannya jelas untuk meningkatkan level keselamatan penerbangan yang masih rendah dibanding dengan negara tetangga seperti Singapura. Bicara soal keselamatan dan keamanan yang menjadi alasan Kemenhub menaikkan tarif batas bawah penerbangan di satu sisi memang sulit disanggah.

Tetapi, di sisi lain perdebatan atas kebijakan tersebut juga tak bisa diabaikan. Pengoperasian sebuah maskapai terkait dengan berbagai sektor, bukan hanya masalah tiket murah, melainkan juga menyangkut aturan yang tegas dari regulator. Musibah Indonesia AirAsia yang mewarnai penutupan akhir tahun lalu telah membuktikan bahwa peran regulator tidak bisa diabaikan misalnya muncul izin jadwal operasi yang kacau.

Seiring dengan berbagai kemunculan kebijakan di bidang transportasi udara pascamusibah Indonesia AirAsia, pemerintah juga harus mengoreksi struktur biaya penerbangan yang masih tinggi untuk menciptakan iklim industri yang kondusif. Dibandingkan di beberapa negara di kawasan Asia, struktur biaya penerbangan di Indonesia masih termasuk mahal.

Contohnya, harga avtur di Indonesia jauh lebih mahal dibandingkan di Singapura. Selain itu, infrastruktur bandara juga segera dirapikan di antaranya sejumlah air traffic control (ATC) sudah ketinggalan zaman.
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5736 seconds (0.1#10.140)