KPK Diminta Konsisten Tuntaskan SKL BLBI
A
A
A
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus konsisten menuntaskan dugaan korupsi pemberian surat keterangan lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Pakar hukum pidana pencucian uang dari Universitas Trisakti, Yenti Ganarsih, menyatakan, dari pembobolan uang negara Rp600 triliun dalam kasus BLBI yang baru balik ke negara lewat Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) hanya sekitar Rp125 triliun. Yenti menjelaskan, saat krisis moneter 1998 yang disertai pengucuran dana BLBI, ada oknum bankir yang kemudian malah menilap uang negara. Saat ini baru sebagian yang sudah dihukum.
“Tentu harus dilihat juga apakah ada kesalahan dalam kebijakan mengucurkan dana itu atau karena dirampok oleh bankir-bankir saja,” kata Yenti kemarin. Untuk pengembangan dan memperjelas kasus SKL BLBI paling tidak para obligor/ debitur harus dimintai keterangan, apa pun mekanismenya. Publik, ungkap Yenti, harus terus menagih KPK untuk memeriksa para obligor.
“Kan sudah pernah ditindaklanjuti, tapi jalannya pelan sekali. Komitmen (KPK) bagaimana? Serius tidak? Atau adakah hambatannya? Apa teknis dan substansi yuridis atau nonyuridis?” ucapnya. Dalam Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Nomor 34/XII/11/2006, tertuang ada 21 penerima SKL BLBI.
Mereka adalah Soedono Salim (BCA), Ibrahim Risjad (Bank Risjad Salim Internasional), pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim, Bob Hasan (Bank Umum Nasional), Sudwikatmono (Bank Surya), Siti Hardijanti Rukmana alias Tutut (Bank Yakin Makmur), Hashim Djojohadikusumo (Bank Papan Sejahtera), Njoo Kok Kiong (Bank Papan Sejahtera), Honggo Wendratmo (Bank Papan Sejahtera), Nirwan Bakrie (Bank Nusa Nasional).
Berikutnya Andy Hartawan Sardjito (Bank Baja Internasional), Soeparno Adijanto (Bank Bumi Raya Utama), Mulianto Tanaga (Bank Indotrade), Philip S Widjaja (Bank Marshill), Ganda Eka Handria (Bank Sanho), Husudo Angkosubroto (Bank Sewu Internasional), Iwan Suhardiman (Bank Tamara), The Ning King (Bank Baja Internasional), The Tje Min (Bank Hastin), The Ning King (Bank Danahutama), dan Hendra Liem (Bank Budi).
Juru Bicara KPK Johan Budi SP menyatakan, dalam perjalanan penyelidikan SKL BLBI ini lembaganya sudah memintai keterangansejumlahterperiksa. Dia menuturkan, bisa saja para terperiksa itu menyebutkan hal-hal berkaitan dengan obligor penerima SKL. “Semua keterangan dalam penyelidikan tentu didalami,” kata Johan kemarin.
Ketua KPK Abraham Samad menyatakan, kasus SKL BLBI akan lebih diintensifkan pada 2015. KPK akan terus mengembangkan penyelidikan dan memanggil pihak-pihak terkait yang bisa dimintai keterangan. Dia menyatakan, fokus KPK terhadap penyelenggara negara dan pihak terkait dalam hal ini obligor penerima SKL. Hal tersebut sudah tertuang dalam UU KPK.
Penetapan pertama tentu berasal dari penyelenggara negara. SKL BLBI pertama dikeluarkan saat pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, sesuai Inpres Nomor 8/2002 dan Tap MPR Nomor 6 dan 10. Sebelumnya dalam kasus yang sama Kejaksaan Agung sudah mengeluarkanSurat PerintahPenghentian Penyidikan (SP3) terhadap sejumlah debitur.
Sabir laluhu
Pakar hukum pidana pencucian uang dari Universitas Trisakti, Yenti Ganarsih, menyatakan, dari pembobolan uang negara Rp600 triliun dalam kasus BLBI yang baru balik ke negara lewat Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) hanya sekitar Rp125 triliun. Yenti menjelaskan, saat krisis moneter 1998 yang disertai pengucuran dana BLBI, ada oknum bankir yang kemudian malah menilap uang negara. Saat ini baru sebagian yang sudah dihukum.
“Tentu harus dilihat juga apakah ada kesalahan dalam kebijakan mengucurkan dana itu atau karena dirampok oleh bankir-bankir saja,” kata Yenti kemarin. Untuk pengembangan dan memperjelas kasus SKL BLBI paling tidak para obligor/ debitur harus dimintai keterangan, apa pun mekanismenya. Publik, ungkap Yenti, harus terus menagih KPK untuk memeriksa para obligor.
“Kan sudah pernah ditindaklanjuti, tapi jalannya pelan sekali. Komitmen (KPK) bagaimana? Serius tidak? Atau adakah hambatannya? Apa teknis dan substansi yuridis atau nonyuridis?” ucapnya. Dalam Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Nomor 34/XII/11/2006, tertuang ada 21 penerima SKL BLBI.
Mereka adalah Soedono Salim (BCA), Ibrahim Risjad (Bank Risjad Salim Internasional), pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim, Bob Hasan (Bank Umum Nasional), Sudwikatmono (Bank Surya), Siti Hardijanti Rukmana alias Tutut (Bank Yakin Makmur), Hashim Djojohadikusumo (Bank Papan Sejahtera), Njoo Kok Kiong (Bank Papan Sejahtera), Honggo Wendratmo (Bank Papan Sejahtera), Nirwan Bakrie (Bank Nusa Nasional).
Berikutnya Andy Hartawan Sardjito (Bank Baja Internasional), Soeparno Adijanto (Bank Bumi Raya Utama), Mulianto Tanaga (Bank Indotrade), Philip S Widjaja (Bank Marshill), Ganda Eka Handria (Bank Sanho), Husudo Angkosubroto (Bank Sewu Internasional), Iwan Suhardiman (Bank Tamara), The Ning King (Bank Baja Internasional), The Tje Min (Bank Hastin), The Ning King (Bank Danahutama), dan Hendra Liem (Bank Budi).
Juru Bicara KPK Johan Budi SP menyatakan, dalam perjalanan penyelidikan SKL BLBI ini lembaganya sudah memintai keterangansejumlahterperiksa. Dia menuturkan, bisa saja para terperiksa itu menyebutkan hal-hal berkaitan dengan obligor penerima SKL. “Semua keterangan dalam penyelidikan tentu didalami,” kata Johan kemarin.
Ketua KPK Abraham Samad menyatakan, kasus SKL BLBI akan lebih diintensifkan pada 2015. KPK akan terus mengembangkan penyelidikan dan memanggil pihak-pihak terkait yang bisa dimintai keterangan. Dia menyatakan, fokus KPK terhadap penyelenggara negara dan pihak terkait dalam hal ini obligor penerima SKL. Hal tersebut sudah tertuang dalam UU KPK.
Penetapan pertama tentu berasal dari penyelenggara negara. SKL BLBI pertama dikeluarkan saat pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, sesuai Inpres Nomor 8/2002 dan Tap MPR Nomor 6 dan 10. Sebelumnya dalam kasus yang sama Kejaksaan Agung sudah mengeluarkanSurat PerintahPenghentian Penyidikan (SP3) terhadap sejumlah debitur.
Sabir laluhu
(bbg)