Kisah Romeo Juliet Abad Millenium

Minggu, 28 Desember 2014 - 13:13 WIB
Kisah Romeo Juliet Abad...
Kisah Romeo Juliet Abad Millenium
A A A
Rasanya tak ada yang tak mengenal kisah klasik Romeo Juliet. Cerita cinta yang ditahbiskan sebagai kisah cinta sejati, sayangnya berujung pada tragedi. Tetapi, sejarah cinta itu cukup monumental.

Kisah cinta klasik tragedi nan tragis itu menyebar di seantero jagat. Seperti disampaikan oleh Damhuri Muhammad, esai dan pekerja seni yang memberikan pengantar di novel terbaru dari Aguk Irawan MN. Tentu dengan beragam versi. Ada yang hanya dikenang dalam semesta kesunyian, ada yang dicatat lalu disembunyikan rapat-rapat dalam lembaran-lembaran nukilan rahasia, dan ada pula yang sengaja atau tidak, dimonumentasikan dalam karya masterpiece para pujangga.

Jika di negeri Inggris ada kisah Romeo Juliet, di tanah Arab ada cerita Layla dan Majnun. Romeo Juliet ditulis novelis William Shakespeare berdasarkan cerita di Italia. Tragedi ini mengisahkan sepasang anak muda yang saling jatuh cinta namun terhalang karena keluarga mereka saling bermusuhan. Ending cerita ini sudah jadi rahasia umum. Di Indonesia, ada kisah klasik nan tragis.

Kisah Zainuddin dan Hayati dalam Tenggelamnya Kapal Van der Wijck. Mereka saling jatuh cinta tetapi terhalang status sosial. Kuatnya adat istiadat meruntuhkan cinta mereka. Zainuddin, pemuda melarat dan tak bersuku. Sementara Hayati, gadis cantik tanah Minang berdarah biru.

Keluarga Hayati lebih memilih Aziz yang dianggap sederajat karena berasal dari keluarga kaya lagi terpandang dan tentu saja lebih disukai keluarga besar Hayati. Meski telah menikah dengan Aziz, sesungguhnya Hayati masih memendam cinta pada Zainuddin. Kasih pun tak sampai dan akhirnya terpisahkan oleh maut.

Hayati meninggal dunia karena kapal yang ditumpanginya tenggelam. Membaca novel terbaru ini serasa tengah menekuni kisah Romeo Juliet versi abad milenium. Kisah cinta dramatis penuh liku dialami tokoh Imran. Bolehlah dibilang Imran adalah jelmaan sosok Romeo dan Zainuddin di masa kini.

Betapa tidak, cinta sejatinya terhalang tembok bernama keangkuhan atas harta dan status sosial keluarga Marwa, teman masa kecil yang menawan hatinya. Haji Nurcahya ayah Marwa menolak mentah-mentah bahkan menghina Imran. Imran dan keluarganya dianggap tak tahu diri dengan mengharapkan Marwa sementara mereka tak sepadan. Imran tak lebih dari pemuda miskin yang suram masa depan.

Cinta Imran kepada Marwa tak lebih dari cinta monyet yang akan hilang begitu saja. Haji Nurcahya menyatakan pada Imran saat menemuinya untuk menyampaikan perasaannya tentang Marwa. “Celakalah orang tua yang membiarkan anak gadisnya diserahkan pada pemuda yang tak bisa menimbang dirinya.

Jikapun ia sanggup menimbang dirinya, sesungguhnya timbangan itu tak ada artinya sama sekali di hadapan sang pemilik timbangan itu sendiri. Kau jangan tersinggung dengan ucapanku. Aku berkata seperti ini agar kau sadar bahwa masa depanmu masih jauh. Kudengar kau akan kuliah, dan itu pilihan yang bagus untukmu apapun alasanmu. Cintamu pada Marwa pernah kualami saat umurku seumuranmu. Percayalah, cepat atau lambat kau akan berubah.

Cinta selalu bergejolak di dada anak muda dan ketahuilah dalam gejolak yang seperti itu, jangan pernah menawarkan masa depan pada orang yang kau cintai sebab hal itu adalah tipuan dari gejolak cinta itu sendiri.....( halaman 97). Imran tahu pasti bahwa ia tak bertepuk sebelah tangan. Gayung bersambut.

Marwa mengungkapkan perasaannya melalui surat. Marwa juga menyemangatinya agar tak patah arang atas penolakan serta memohon maaf penghinaan ayahnya. Imran tetap teguh menjaga cintanya. Marwa membawa perasaannya hingga bangku kuliah di Jakarta. Sampai beberapa waktu komunikasi antara Imran dan Marwa terus berlanjut melalui surat. Saling bersapa dan membagi rindu.

Sampai akhirnya Marwa bertemu dengan Maman. Sosok pemuda yang penuh intrik berbalut kesabaran, perjuangan dan kegigihan itu berhasil menguasai hati Marwa. Marwa pun hamil sebelum menikah. Kenyataan itu pulalah yang menghempaskannya di lembah kelam penyesalan. Marwa meninggal dunia dalam penyesalan. Di sinilah kekuatan Aguk dalam membangun penokohan.

Aguk tak serta merta menghadirkan sosok lakon cerita secara hitam putih. Aguk tak terjebak pada keinginan pembaca yang mengharuskan sosok lakon yang patah hati seharusnya pun merasakan sakit hingga berdarah darah. Sosok itu dirundung kesedihan amat sangat hingga pantas membawa serta pembaca dalam kepiluan yang dialaminya.

Digambarkannya, secara manusiawi, Imran pun hancur lebur atas pengkhianatan yang dilakukan Marwa. Beberapa waktu, Imran didera kesedihan yang amat sangat. Tetapi, itu tak lantas membunuh kehidupannya. Sebaliknya, tumpukan derita membawa Imran menuju hakikat cinta kepada Maha Cinta yaitu Tuhan. Kekuatan lain novel ini adalah tak berhenti pada haru birunya cinta ragawi.

Aguk tak hanya bermain kata mengungkap manisnya lembaran cinta ragawi dua anak muda. Aguk, dengan caranya sendiri, mengingatkan betapapun pada akhirnya seorang manusia akan menemukan jalan untuk menyadari bahwa dirinya akan lebih tenang dan bahagia dalam rengkuhan cinta sesungguhnya. Cinta yang bisa mengarahkan dari hal-hal yang bersifat materi menuju immateril.

Dianika W. Wardhani
Editor di beberapa penerbit di Surabaya dan blogger
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1161 seconds (0.1#10.140)