Jangan Obral Remisi Koruptor

Sabtu, 27 Desember 2014 - 14:36 WIB
Jangan Obral Remisi Koruptor
Jangan Obral Remisi Koruptor
A A A
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung (Kejagung) menilai pemerintah terkesan mengobral pemberian remisi terhadap 49 terpidana kasus korupsi bertepatan dengan Natal 2014.

Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) KejagungTony T Spontana mengaku kaget adanya terpidana kasus korupsi yang ditangani kejaksaan yang menerima remisi pada Natal 2014. Pasalnya, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan sudah berkomitmen tidak akan ada remisi bagi koruptor.

“Pak Menteri juga bilang nggak ada,” kata Tony. Menurutnya, ada beberapa hal yang harus disampaikan berkaitan dengan pemberian remisi terhadap koruptor. Pertama , ada masalah atau tidak pada remisi itu maka Kejagung tetap akan menanggapi koruptor yang diberikan remisi. Kedua, ungkap Tony, kalaupun diperdebatkan apakah narapidana berhak atau tidak mendapatkan remisi maka ada pandangan maupun wacana lain yang harus digulirkan.

Menurutnya, kalau memang ada komitmen koruptor tidak diberikan remisi maka itu tinggal disebut saja di dalam vonis. “Orang hak mereka berpolitik saja dicabut, hak untuk duduki jabatan publik, memilih dan dipilih dicabut boleh kok. Kenapa remisi tidak? Kan gitu,” ungkapnya.

Berdasarkan informasi yang dihimpun KORAN SINDO, dari 49terpidanaitu, empat diantaranya berasal dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Jawa Barat. Keempatnya yakni pemilik PT Masaro Radiokom Anggodo Widjojo (kasus ditangani KPK) mendapat remisi satu bulan 15 hari, Haposan Hutagalung (mantan pengacara terpidana Gayus H Tambunan, kasus ditangani Kejaksaan Agung) memperoleh remisi satu bulan 15 hari, dan mantan Jaksa Kejagung Urip Tri Gunawan (kasus ditangani KPK) menerima remisi 2 bulan karena sudah melewati masa tahanan 6 tahun.

Kemudian mantan Kabid Pertambangan dan Migas pada Kementerian Negara Koperasi dan UKM Samadi Singarimbun (kasus ditangani Kejari Rangkasbitung) menikmati remisi satu bulan. Pemberian Surat Keputusan (SK) remisi ini dipimpin langsung Kepala Lapas Sukamiskin Marselina Budiningsih, Kamis (25/12).

Sementaraitu, Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan Bambang Widjojanto menyatakan, secara umum remisi adalah hak para semua narapidana, termasuk koruptor, dengan memperlihatkan visi dan misi yang konsisten atas komitmen untuk melakukan pemberantasan korupsi.

Sebelum pemberian remisi terhadap Anggodo dan Urip, ungkap dia, tidak ada surat dari Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) atau Direktorat Jenderal Lembaga Pemasyarakatan (Ditjenpas) untuk meminta tanggapan KPK. “Koruptor adalah para penjahat yang melanggar hak asasi, sehingga wajar bila sebagian haknya dihilangkan atau ditunda justru untuk kepentingan dan kehormatan kita pada kemanusiaan itu sendiri,” kata Bambang saat dihubungi KORAN SINDO kemarin.

Juru Bicara KPK Johan Budi SP menambahkan, sebenarnya secara aturan memang dimungkinkan ada remisi bagi narapidana. Namun, dia menilai tindak pidana korupsi adalah kejahatan luar biasa. Seyogianya pemberian remisi dilakukan secara ketat bagi pelaku tindak pidana korupsi.

“Syarat-syaratnya harus diperketat dan jangan terkesan diobral,” ungkap Johan. Dia menyatakan, Kemenkumham harus mengingat bahwa Urip dan Anggodo yang diberikan remisi bukan justice collabolator (JC) atau pelaku pidana yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap secara terang kasusnya. “Urip dan Anggodo bukan JC,” tandas Johan.

Dikonfirmasi atas informasi pemberian remisi Lapas Sukamiskin, Kepala Lapas Sukamiskin Marselina Budiningsih menyatakan ada alasan dan dasar kuat remisi terhadap sembilan terpidana, masingmasing lima narapidana umum dan empat kasus korupsi tersebut. “(Alasan dan dasar pemberian remisinya) Keppres Nomor 174 Tahun 1999, PP Nomor 28 Tahun 2006, PP 99 Tahun 2012, pada pasal pemberian remisi,” kata Marselina.

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta JM Muslimin menilai, pemberian remisi terhadap 49 koruptor dan 446 terpidana narkotika tahun ini adalah suatu hal yang ironis. Bahkan, hal ini kontradiktif dengan semangat untuk menyatakan korupsi dan narkoba sebagai extraordinary crime.

Konsistensi, integritas dan ketegasan kepemimpinan nasional bisa dipertanyakan jika terus mengobral remisi. “Sektor hukum pada pemerintahan Jokowi semakin dianggap lemah. Belum terlihat political will yang konkret untuk penegakan hukum yang reformatif,” kata Muslimin. Dia khawatir sektor penegakan hukum by design sengaja dibuat mandul.

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia Miko Ginting juga menyesalkan sikap ketidak terbukaan pemerintah dalam memberikan remisi kepada narapidana kasus korupsi. “Masalah pokoknya adalah pemerintah tidak terbuka, ada proses komunikasi yang tidak tepat dilakukan Kemenkumham sehingga memunculkan pertanyaan apa alasan pemberian remisi itu dan sudah tepatkah itu diberikan,” ucap Miko.

Kecurigaan semakin bertambah dengan langkah pemerintah yang memberikan remisi berdasarkan dua peraturan yang berbeda. Miko menganggap ada ketidakkonsistenan pemerintah untuk memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. “Harus diperhatikan betul mengapa Kemenkumham memberikan remisi dengan dasar, PP 2006 dan 2012, ada apa ini,” lanjutnya.

Untuk itu, dia pun sepakat apabila remisi yang telah diberikan kepada 49 napi koruptor ini dikaji ulang. Apabila memang ditemukan ada indikasi ketidakcermatan dalam pemberiannya, usulan agar pemberian remisi dicabut patut dipertimbangkan. Idealnya remisi hanya diberikan pada saat hari kemerdekaan dan tidak pada hari besar keagamaan.

Di tempat terpisah, pakar hukum pidana Universitas Trisakti Yenti Garnasih meminta pemerintah bisa memaknai kembali tujuan dari proses pemidanaan yang ada di setiap lapas. Pemberian remisi kepada napi korupsi jelas mencederai dan berkebalikan dengan tujuan dari pembinaan warga lapas. “Pemberian remisi ini saya me-lihat justru sebagai pemanjaan yang dilakukan,” ujar Yenti.

Pemberian remisi juga jangan selalu dikaitkan dengan pemberian hak bagi narapidana. Meskipun dalam UU dibenarkan, menurut Yenti aspek lain yang harus diperhatikan yakni berupa dampak yang lebih luas berupa gagalnya upaya pencegahan sikap koruptif baru di masyarakat.

“Jadi tidak menimbulkan efek jera bagi orang yang mendapat remisi,” kata Yenti. Sama dengan JM Muslimin, Yenti juga mempertanyakan komitmen Presiden Jokowi dalam memerangi kasus korupsi di Tanah Air. Sepatutnya orang nomor satu di Indonesia itu bisa bersikap sama kerasnya ketika menghukum pelaku narkotika dan terorisme.

Pemberian Remisi Harus Selektif

Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan mengingatkan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly cermat dan hatihati dalam meneken kebijakan. Betapapun pemberian remisi sudah ada aturannya dan menjadi hak bagi para napi, tetapi tetap harus dengan pertimbangan mendalam ketika itu menyangkut aspek keadilan publik.

“Masalah korupsi kan menjadi sorotan tajam dari publik, sehingga atas rasa keadilan publik Menkumham harusnya menggunakan pertimbangan dari berbagai aspek, termasuk aspek sosial,” kata Taufik. Kemenkumham harus mengklasifikasikan napi mana yang sudah layak mendapatkan remisi dan mana yang tidak.

Dan dalam mengklasifikasikan itu, kata dia, pemerintah juga jangan sampai terkesan menutup- nutupinya. “Kalau misalnya pemerintah sudah katakan tak akan memberikan remisi pada napi kasus korupsi, tetapi kenyataannya ada puluhan yang mendapatkan, tentu publik akan bertanya-tanya,” ujarnya.

Sabir laluhu/Dian ramdhani/Rahmat sahid
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5417 seconds (0.1#10.140)