Janda Korban Perang Kini Bingung Akan Masa Depannya
A
A
A
Ribuan orang terbunuh di wilayah administrasi India, Kashmir, sejak konflik menentang pemerintahan India meletus pada 1989. Konflik mereda pada 2000-an, tetapi duka yang disebabkan terasa hingga kini. Duka itu dirasakan para perempuan Kashmir, yang harus menjadi janda.
Karena perang perebutan wilayah, mereka yang awalnya hidup damai, kini jadi menderita. Salah satu janda korban konflik adalah Rafiqa Malik, yang bersuamikan Ghulam Nabi Malik, sempat menjadi militan anti-India. Kehidupan bahagianya berubah duka saat konflik meletus. Rafiqa bercerita, awalnya keluarga mereka hidup bahagia dengan penghasilan sekitar USD3 per hari (sekitar Rp37.500).
Mereka merasa sebagai sepasang suami-istri yang saling mencintai. Pada 1990-an, sentimen anti-India melanda dan gerakan militan mulai berkembang dan memasuki Lembah Kashmir. “Kampung kami, Bandipore, memiliki militan tiap rumahnya,” kata Rafiqa. Saat sentimen meledak, suaminya, Ghulam, menghilang pada 1990, sepuluh tahun setelah mereka menikah.
Rafiqa mencoba mencari tahu keberadaan suami. Salah seorang tetangga mengabarinya, sang suami telah menyeberang ke Pakistan untuk “pelatihan”. “Saya dengar dia bergabung ke dalam pasukan jihad anti- India. Saya mengiriminya pesan berkali-kali, memintanya kembali, tetapi tak pernah dijawab,” terang Rafiqa.
Setahun setelah kabar pelatihan didengar, Suami Rafiqa pulang. Akan tetapi keadaan jauh berubah. Ghulam, kata Rafiqa, menjadi jarang di rumah. Senjata juga selalu berada dalam genggaman. “Saya sampai meminta cerai karena kondisinya sangat menyakitkan,” tutur Rafiqa.
Petaka akhirnya menghampiri pada 25 September, saat Ghulam terbunuh dalam kontak senjata. “Karena saya sedang hamil saya tak diizinkan melihat tubuhnya untuk terakhir kali. Nasib serupa dialami juga Gulshan Akhtar, janda dari militer India, Abdul Hamid Chara. Keluarganya juga menjadi berantakan karena konflik.
Karena jiwa nasionalis sang suami, Gulshan merelakan dirinya menjadi janda. Sang suami tewas pada 2007 dalam tugas di Lembah Lolab, guna mengatasi serangan pemberontak Kashmir. “Padahal saat dia hendak bertugas, saya tengah mengandung anak keempat,” tutur Gulshan.
Pemerintah lalu memberikan lencana penghargaan atas pengorbanan dan dedikasinya demi bangsa dan negara. “Dia (Abdul Hamid) tewas untuk negaranya. Saya bangga dengannya. Tapi bagaimana masa depan saya dan anak-anak tanpanya?” ungkap Gulshan.
Sugeng Wahyudi
Karena perang perebutan wilayah, mereka yang awalnya hidup damai, kini jadi menderita. Salah satu janda korban konflik adalah Rafiqa Malik, yang bersuamikan Ghulam Nabi Malik, sempat menjadi militan anti-India. Kehidupan bahagianya berubah duka saat konflik meletus. Rafiqa bercerita, awalnya keluarga mereka hidup bahagia dengan penghasilan sekitar USD3 per hari (sekitar Rp37.500).
Mereka merasa sebagai sepasang suami-istri yang saling mencintai. Pada 1990-an, sentimen anti-India melanda dan gerakan militan mulai berkembang dan memasuki Lembah Kashmir. “Kampung kami, Bandipore, memiliki militan tiap rumahnya,” kata Rafiqa. Saat sentimen meledak, suaminya, Ghulam, menghilang pada 1990, sepuluh tahun setelah mereka menikah.
Rafiqa mencoba mencari tahu keberadaan suami. Salah seorang tetangga mengabarinya, sang suami telah menyeberang ke Pakistan untuk “pelatihan”. “Saya dengar dia bergabung ke dalam pasukan jihad anti- India. Saya mengiriminya pesan berkali-kali, memintanya kembali, tetapi tak pernah dijawab,” terang Rafiqa.
Setahun setelah kabar pelatihan didengar, Suami Rafiqa pulang. Akan tetapi keadaan jauh berubah. Ghulam, kata Rafiqa, menjadi jarang di rumah. Senjata juga selalu berada dalam genggaman. “Saya sampai meminta cerai karena kondisinya sangat menyakitkan,” tutur Rafiqa.
Petaka akhirnya menghampiri pada 25 September, saat Ghulam terbunuh dalam kontak senjata. “Karena saya sedang hamil saya tak diizinkan melihat tubuhnya untuk terakhir kali. Nasib serupa dialami juga Gulshan Akhtar, janda dari militer India, Abdul Hamid Chara. Keluarganya juga menjadi berantakan karena konflik.
Karena jiwa nasionalis sang suami, Gulshan merelakan dirinya menjadi janda. Sang suami tewas pada 2007 dalam tugas di Lembah Lolab, guna mengatasi serangan pemberontak Kashmir. “Padahal saat dia hendak bertugas, saya tengah mengandung anak keempat,” tutur Gulshan.
Pemerintah lalu memberikan lencana penghargaan atas pengorbanan dan dedikasinya demi bangsa dan negara. “Dia (Abdul Hamid) tewas untuk negaranya. Saya bangga dengannya. Tapi bagaimana masa depan saya dan anak-anak tanpanya?” ungkap Gulshan.
Sugeng Wahyudi
(ftr)