Istri Gus Dur Minta Negara Hapus Diskriminasi Perempuan
A
A
A
JAKARTA - Dalam pemantauan yang dirilis Pelapor Khusus Komnas Perempuan terhadap aksi diskriminasi dan kekerasan terhadap kaum perempuan minoritas agama, menyatakan sikap diskriminasi negara terhadap pelanggaran hak perempuan semakin menguat.
Sinta Nuriyah Wahid, istri mendiang mantan Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur) mengatakan, dari laporan berbagai organisasi yang memantau persoalan intoleransi, kasus-kasus semacam itu tidak tertangani dengan masif oleh negara.
"Intensitas ini terutama dirasakan karena kasus-kasus yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya hampir tidak ada yang diselesaikan secara tuntas," kata Sinta di Hotel Bidakara, Pancoran, Jakarta Selatan, Senin (22/12/2014).
Dia berharap, peran negara ditingkatkan kembali dalam menangani kasus-kasus bernuansa agama yang kerap merugikan dan diskriminatif terhadap kaum perempuan.
Kata Sinta, menguatnya intoleransi yang dialami perempuan dari minoritas agama tidak bisa dipisahkan dari tanggungjawab negara. Menurutnya, melalui kebijakan diskriminatif itu bisa disaksikan lewat Undang-undang Nomor 1/PNPS/1965, Pasal 156a KUHP yang dinilai negara membolehkan kriminalisasi agama dan keyakinan.
Selain itu, dalam UU dan kebijakan itu pula terdapat aturan turunan seperti Surat Keputusan Bersama (SKB) menteri agama, menteri dalam negeri dan jaksa agung tahun 2008 tentang pelarangan pelarangan agama atau keyakinan yang dianggap sesat.
Kemudian, tambah Sinta, kebijakan membatasi akses pendirian rumah ibadah dengan alasan administratif melalui SKB dua menteri Nomor 8 dan Nomor 9 Tahun 2006. Dalam memuluskan kebijakan itu, negara kerap menggunakan aparat negara untuk membatasi kebebasan agama dan keyakinan.
"Yang dimaksud aparat negara adalah eksekutif, legislatif, yudikatif di tingkat nasional dan daerah, misal menteri agama dan jajarannya, mendagri, DPR, DPRD Gubernur, bupati/wali kota beserta SKPD terkait," pungkasnya.
Sinta Nuriyah Wahid, istri mendiang mantan Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur) mengatakan, dari laporan berbagai organisasi yang memantau persoalan intoleransi, kasus-kasus semacam itu tidak tertangani dengan masif oleh negara.
"Intensitas ini terutama dirasakan karena kasus-kasus yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya hampir tidak ada yang diselesaikan secara tuntas," kata Sinta di Hotel Bidakara, Pancoran, Jakarta Selatan, Senin (22/12/2014).
Dia berharap, peran negara ditingkatkan kembali dalam menangani kasus-kasus bernuansa agama yang kerap merugikan dan diskriminatif terhadap kaum perempuan.
Kata Sinta, menguatnya intoleransi yang dialami perempuan dari minoritas agama tidak bisa dipisahkan dari tanggungjawab negara. Menurutnya, melalui kebijakan diskriminatif itu bisa disaksikan lewat Undang-undang Nomor 1/PNPS/1965, Pasal 156a KUHP yang dinilai negara membolehkan kriminalisasi agama dan keyakinan.
Selain itu, dalam UU dan kebijakan itu pula terdapat aturan turunan seperti Surat Keputusan Bersama (SKB) menteri agama, menteri dalam negeri dan jaksa agung tahun 2008 tentang pelarangan pelarangan agama atau keyakinan yang dianggap sesat.
Kemudian, tambah Sinta, kebijakan membatasi akses pendirian rumah ibadah dengan alasan administratif melalui SKB dua menteri Nomor 8 dan Nomor 9 Tahun 2006. Dalam memuluskan kebijakan itu, negara kerap menggunakan aparat negara untuk membatasi kebebasan agama dan keyakinan.
"Yang dimaksud aparat negara adalah eksekutif, legislatif, yudikatif di tingkat nasional dan daerah, misal menteri agama dan jajarannya, mendagri, DPR, DPRD Gubernur, bupati/wali kota beserta SKPD terkait," pungkasnya.
(kri)