Direksi Asing BUMN Bahayakan Bangsa

Senin, 22 Desember 2014 - 11:54 WIB
Direksi Asing BUMN Bahayakan Bangsa
Direksi Asing BUMN Bahayakan Bangsa
A A A
JAKARTA - Rencana Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno menempatkan warga negara asing (WNA) sebagai direksi BUMN menuai reaksi keras dari berbagai kalangan.

Selain membahayakan kepentingan bangsa, kebijakan itu dinilai meremehkan kemampuan anak bangsa sendiri. Kritikan keras tersebut disampaikan pengamat hukum tata negara dari Universitas Parahyangan Bandung Asep Warlan, Wakil Ketua DPR Fadli Zon dan Fahri Hamzah, serta Ketua Komisi VI DPR Hafidz Tohir.

Menurut Asep Warlan, betapapun yang diwacanakan Menteri BUMN itu baru sebatas peluang WNA bisa menjadi bos di BUMN, secara keberpihakan politik sudah melenceng dari amanat konstitusi. “UUD 1945 jelas menyatakan bahwa air, bumi, dan udara dikuasai negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. BUMN sebagai instrumen negara ketika dikelola orang asing apakah masih bisa disebut dikuasai negara,” kata Asep Warlan kepada KORAN SINDO kemarin.

Seperti diketahui, Menteri BUMN Rini Soemarno melempar wacana WNA bisa duduk di jajaran direksi BUMN jika berhasil lolos dalam proses seleksi karena pemerintah mengedepankan kompetensi dan profesionalitas. Rini beralasan BUMN membutuhkan ahli untuk memimpin perusahaan, terutama dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015.

Ide Rini ini juga mendapat dukungan dari Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) dan Menko Perekonomian Sofyan Djalil. JK menilai, saat ini yang terpenting dalam memimpin BUMN adalah memiliki jiwa kepemimpinan yang mampu membawa perusahaannya berkembang lebih baik dari sebelumnya.

“Itu bukan hal yang baru. Karena yang dibutuhkan bukan asing atau dalamnegeri, tetapi suatu yang mempunyai keahlian tertentu, baru profesionalisme,” tegas JK. Menurut JK, pemilihan orang asing dalam memimpin BUMN tentu juga tidak sembarangan orang. Tetap melalui skema pemilihan yang benar dan sesuai dengan aturan yang berlaku.

Sofyan Djalil menyatakan Indonesia masih minim kaum profesional yang mampu menakhodai perusahaan besar BUMN. Hal tersebut tentu tidak menutup kemungkinan untuk merekrut WNA sebagai pemimpin BUMN. “Beberapa tempat itu profesional di Indonesia ini masih suatu yang langka. Oleh sebab itu, atas wacana tersebut Presiden (Joko Widodo) enggak keberatan,” kata Sofyan.

Lebih jauh, menurut Asep Warlan, tidak masuk akal ketika dengan alasan profesionalitas dan kompetensi, negara dalam hal ini pemerintah memberikan kepercayaan kepada pihak asing untuk mengelola aset negara. Padahal seharusnya aset negara itu diorientasikan untuk kepentingan bangsa dan rakyatnya.

Fadli Zon menilai rencana Rini itu secara tidak langsung menganggap bahwa negara ini kekurangan orang yang bisa mengelola BUMN. “Tapi saya sangat yakin masih banyak orang Indonesia yang bisa jadi CEO. Yang paling penting adalah jangan political appointed,” katanya.

Jadi menurut Fadli, pernyataan Rini yang baru menjabat sebagai menteri BUMN, tetapi sudah langsung memberikan peluang bagi ekspatriat sangat meremehkan kemampuan orangorang Indonesia. Menurut dia, Rini seharusnya terlebih dahulu mencari putra putri terbaik di negara ini untuk mengisi jabatan direksi BUMN. Bukan malah mengawalinya dengan pernyataan yang sulit dihindari akan menimbulkan persepsi bahwa politik kebijakannya proasing.

Fahri Hamzah mengungkapkan, sejauh ini pihaknya belum mendengar bagaimana BUMN mencari spesifikasi figur yang dibutuhkan untuk duduk di BUMN. Dia meyakini banyak putra putri terbaik bangsa yang tersebar di sekian banyak perusahaan punya kemampuan memimpin BUMN. Karena itu, dia mempertanyakan kenapa di saat pemerintah baru mau menyusun direksi-direksi di BUMN sudah berbicara mengenai peluang orang asing.

“Itu kan menganggap orang Indonesia tidak ada yang jago. Dia (Menteri BUMN) tidak paham persoalan, menurut dia jika dikerjakan bangsa sendiri pasti gagal sehingga dipercayakan ke orang asing saja. Ini abad ke-21, orang Indonesia sudah ke mana-mana, dan kemampuannya juga sudah diakui dunia luar,” kata Fahri.

Dia menyarankan agar menteri-menteri Presiden Jokowi, termasuk Rini, untuk berhenti membuat langkah dan pernyataan kontroversial yang justru kontraproduktif. Lebih baik Menteri BUMN fokus pada bidang yang dihadapi sehingga terarah bagaimana upayanya membenahi permasalahan di BUMN agar semakin maju. Achmad Hafisz Tohir juga menolak keras wacana pemerintah mengizinkan jajaran direksi BUMN diisi WNA.

Menurutnya, perusahaan BUMN memiliki peran sosial dalam mendukung adanya perbaikan bagi kesejahteraan rakyat. Hal ini menimbulkan pertanyaan, bagaimana integritas WNA tersebut jika ditempatkan dalam jajaran pimpinan di BUMN. “Apakah orang asing itu bisa memahami dan memaknai peran BUMN untuk mendukung kesejahteraan masyarakat? Saya kira akan sangat sulit,” kata Hafisz.

Meskipun perusahaan BUMN didorong untuk memperoleh pendapatan yang besar dan mampu bersaing secara global, WNA itu belum tentu memahami ekonomi Pancasila yang menjiwai kinerja BUMN. Pasalnya, pendapatan BUMN diperlukan optimal demi membiayai pembangunan nasional. “Secara pribadi saya menolak WNA menduduki kursi pimpinan di BUMN karena lebih banyak mudarat daripada manfaatnya. Pimpinan BUMN itu justru haruslah nasionalis sejati,” tegasnya.

Menurut Hafisz, dibandingkan harus memilih WNA, sebaiknya pemerintah menunjuk anak bangsa yang dinilai lebih nasionalis. Di sisi lain, banyak putra putri Indonesia yang memiliki kinerja dan pemikiran tidak kalah dengan WNA. Hal ini dapat diandalkan untuk menghadapi persaingan secara global untuk menyambut Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015.

“Janganlah kita semakin kehilangan roh perjuangan 1945 dan konstitusi. Mari kembali ke akal sehatlah,” cetusnya. Anggota Komisi VI DPR Bambang Harjo mengatakan, wacana pemerintah memberikan tampuk pimpinan perusahaan BUMN ke warga asing dinilai menginjak kedaulatan bangsa.

“Saya dengan tegas menolak wacana memberikan jabatan pimpinan tertinggi di BUMN ke WNA. Kita punya 250 juta penduduk, saya yakin dari 250 juta itu, sangat banyak yang mumpuni memimpin BUMN,” ujarnya. Di sisi lain, jika BUMN dipimpin orang asing, rahasia negara rentandimanfaatkanpihakasing itu. Sebab BUMN merupakan aset-aset strategis milik negara.

“Ada banyak BUMN vital bagi bangsa ini dari sektor telekomunikasi, energi serta tambang. Kalau itu semua misalnya dipimpin asing, di mana kedaulatan kita,” tandasnya. Kritik atas rencana tersebut juga disampaikananggotaFraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hendrawan Supratikno.

Menurut dia, BUMN merupakan instrumen negara yang bertugas untuk menghadirkan negara dalam bidang ekonomi. “Karenanya, BUMN harus dikendalikan oleh warga negara Indonesia pula,” katanya. Hendrawan tidak menampik bahwa orang asing banyak yang memiliki kompetensi memadai dan punya profesionalitas tinggi. Tapi, kata dia, itu saja tak cukup karena sebagai instrumen bangsa tentu BUMN harus dikelola dengan mempertimbangkan aspek kepentingan bangsa.

“Apakah mereka yang dari luar paham dengan ideologi bangsa kita?” tegasnya. Adapun mantan Sekretaris Menteri BUMN Said Didu menilai pemerintah harus tetap mengutamakan WNI untuk duduk di jajaran direksi perusahaan pelat merah. Dengan catatan, WNI yang ditunjuk harus benar-benar memiliki kualitas dan profesional memimpin BUMN.

Jika sudah dilakukan seleksi tetapi ternyata tidak ada orang pribumi yang memenuhi syarat, baru pemerintah boleh menunjuk WNA duduk di jabatan tersebut. Tapi, menurutnya, status WNA saja tidak boleh dijadikan jaminan kapabel memimpin perusahaan milik negara. “Harus WNA yang benar-benar profesional dan bisa memajukan perusahaan untuk kepentingan negara,” kata Said.

Memang, dia melihat ada keuntungan lain jika pemerintah menunjuk WNA profesional duduk di jajaran direksi BUMN. Keuntungan itu antara lain, keberadaannya bisa meminimalkan pengaruh intervensi dari luar seperti kepentingan politik.

Rahmat sahid/Heru febrianto/Ichsan amin/Okezone
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3345 seconds (0.1#10.140)