Performa Rendah, DPR Baru Gagal Serap Aspirasi Rakyat
A
A
A
JAKARTA - Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) memberikan refleksi terhadap kinerja Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang baru bekerja terhitung sejak Oktober sampai Desember 2014.
Hasilnya, terhitung masa sidang pertama, anggota dewan direfleksikan kurang menyerap aspirasi masyarakat. DPR baru dinilai terkoptasi dengan kepentingan politik yang tak berkesudahan.
Peneliti Senior Formappi Tommy Legowo mengatakan, dari segi penyerapan terhadap aspirasi masyarakat, DPR periode 2014-2019 'belum ada' satupun berhasil menyerap aspirasi konstituen.
Padahal, sekarang sudah masuk masa reses, dimana wakil rakyat dituntut mempertanggungjawabkan hal itu saat para anggota dewan kembali ke daerah pemilihannya.
"DPR terbelah akibat pengkubuan politik dalam dua koalisi pasca pilpres," kata Tommy, saat diskusi refleksi akhir tahun kinerja DPR, di Kantor Formappi, Matraman Raya, Jakarta Timur, Jumat (19/12/2014).
Dari sisi legislasi, lanjut Tommy, DPR baru itu dianggap 'kosong' dalam membuat undang-undang. Faktanya, kata dia, anggota dewan sibuk mengurusi soal UU MD3 (MPR, DPD, DPR dan DPRD) beserta revisinya.
Sementara soal UU MD3 tak melekat pada kepentingan masyarakat, melainkan tarik menarik dua koalisi yakni Koalis Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH).
Sisi anggaran, lanjutnya, wakil rakyat masih harus menyesuaikan dengan siklus pembahasan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang akan disesuaikan dengan APBN Perubahan tahun 2015.
"DPR didominasi oleh KMP tetapi diboikot KIH. Sisanya tidak ada peran dan fungsi DPR yang jalan," ujarnya.
Ditambah perilaku anggota dewan yang dinilai tak jauh beda dari periode-periode sebelumnya. Menurutnya, masa reses yang sedang berjalan sekarang tak mempunyai bobot yang rasional.
Wakil rakyat dianggap cenderung minim konsep saat reses mengunjungi konstituennya. Para wakil rakyat pun dinilai belum bekerja tetapi sudah menikmati uang negara.
"Kasus Anang Hermansyah (Fraksi PAN) yang menyatakan secara publik bahwa 'masa reses digunakan untuk mengurus anak' harus dinyatakan sebagai pelanggaran etika," pungkasnya.
Hasilnya, terhitung masa sidang pertama, anggota dewan direfleksikan kurang menyerap aspirasi masyarakat. DPR baru dinilai terkoptasi dengan kepentingan politik yang tak berkesudahan.
Peneliti Senior Formappi Tommy Legowo mengatakan, dari segi penyerapan terhadap aspirasi masyarakat, DPR periode 2014-2019 'belum ada' satupun berhasil menyerap aspirasi konstituen.
Padahal, sekarang sudah masuk masa reses, dimana wakil rakyat dituntut mempertanggungjawabkan hal itu saat para anggota dewan kembali ke daerah pemilihannya.
"DPR terbelah akibat pengkubuan politik dalam dua koalisi pasca pilpres," kata Tommy, saat diskusi refleksi akhir tahun kinerja DPR, di Kantor Formappi, Matraman Raya, Jakarta Timur, Jumat (19/12/2014).
Dari sisi legislasi, lanjut Tommy, DPR baru itu dianggap 'kosong' dalam membuat undang-undang. Faktanya, kata dia, anggota dewan sibuk mengurusi soal UU MD3 (MPR, DPD, DPR dan DPRD) beserta revisinya.
Sementara soal UU MD3 tak melekat pada kepentingan masyarakat, melainkan tarik menarik dua koalisi yakni Koalis Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH).
Sisi anggaran, lanjutnya, wakil rakyat masih harus menyesuaikan dengan siklus pembahasan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang akan disesuaikan dengan APBN Perubahan tahun 2015.
"DPR didominasi oleh KMP tetapi diboikot KIH. Sisanya tidak ada peran dan fungsi DPR yang jalan," ujarnya.
Ditambah perilaku anggota dewan yang dinilai tak jauh beda dari periode-periode sebelumnya. Menurutnya, masa reses yang sedang berjalan sekarang tak mempunyai bobot yang rasional.
Wakil rakyat dianggap cenderung minim konsep saat reses mengunjungi konstituennya. Para wakil rakyat pun dinilai belum bekerja tetapi sudah menikmati uang negara.
"Kasus Anang Hermansyah (Fraksi PAN) yang menyatakan secara publik bahwa 'masa reses digunakan untuk mengurus anak' harus dinyatakan sebagai pelanggaran etika," pungkasnya.
(kri)