KY Jadikan Putusan BANI Bahan Investigasi
A
A
A
JAKARTA - Komisi Yudisial (KY) menyatakan putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) atas kasus kepemilikan TPI akan dijadikan bahan mengungkap dugaan pelanggaran etika yang dilakukan majelis hakim MA.
Komisioner KY Taufiqurrahman Syahuri mengatakan, putusan BANI memang dapat dijadikan sebagai data dalam proses anotasi yang sedang dilakukan KY. Putusan BANI, ujarnya, setidaknya dapat membantu dan mempercepat proses investigasi yang dilakukan KY. Namun, untuk mempercepat proses penelusuran, KY berharap PT Berkah Karya Bersama dapat menyerahkan putusan BANI.
“Mengingat proses penelusuran yang dilakukan KY berdasarkan pada kelengkapan bukti pelapor (PT Berkah),” tandas Taufiq di Jakarta, kemarin. KY memang memiliki kewenangan untuk meminta putusan BANI, namun alangkah baiknya jika PT Berkah menyerahkan salinan putusan BANI.
“Sebaiknya begitu (menyerahkan putusan) biar cepat,” paparnya. Pengamat hukum perdata Universitas Airlangga, Yohanes Sogar Simamora, meminta KY menuntaskan eksaminasi putusan MA terkait kasus TPI. “KY perlu menuntaskan eksaminasi soal putusan MA atas kasus TPI. Apakah melanggar etika atau tidak,” tandas Sogar.
Eksaminasi itu penting untuk melihat apakah majelis hakim yang memutus kasus PK TPI sudah berkeputusan sesuai dengan undang-undang yang berlaku atau tidak. Eksaminasi adalah uji publik atas putusan hakim terutama yang dinilai ganjil. Menurut Sogar, tiga hakim MA yang memproses kasus TPI seharusnya tahu bahwa dalam sengketa itu terdapat klausul arbitrase.
“Jika obyeknya sama, seharusnya mereka menolak tangani sengketa yang sedang diproses di Arbitrase. Kasus itu seharusnya tidak bisa diproses di pengadilan,” sebutguru besarhukumkontrak komersial pada Fakultas Hukum, Unair, Surabaya, ini. Menurut dia, secara hukum, proses di Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) sudah benar.
Di sinilah, menurut Sogar, pentingnya eksaminasi sehingga bisa diketahui dengan saksama ada atau tidaknya pelanggaran etika oleh hakim MA. KY sendiri telah menjanjikan anotasi (catatan hukum) akan selesai dalam sebulan sejak PT Berkah Karya Bersama melaporkan kasus ini pada akhir November lalu.
Menurut Sogar, Indonesia adalah negara hukum, maka para hakim pun diharapkan mematuhi undang-undang yang berlaku sehingga apa pun keputusan hukum yang dibuat dengan melanggar hukum, maka bisa batal. Tidak terkecuali, produk hukum yang dikeluarkan majelis hakim MA bila memang produk hukumnya cacat hukum.
Hal senada diungkapkan pengamat hukum dari Universitas Paramadina, Herdi Sahrasad. Menurut dia, putusan MA atas PK kasus TPI dinilai ganjil dan harus cepat diusut. “Harus tetap diusut sesuai prosedur agar tidak jadi preseden buruk bagi masyarakat atas sistem hukum kita,” ujarnya.
Seharusnya hukum berkembang baik di era reformasi dengan lebih memperhatikan hakhakrakyat danmelihat substansi yang disengketakan. MA, seharusnya melihat dengan jernih substansi masalahnya. “Kita harus memperkuat rule of law. Hukum juga harus menghargai hakhak rakyat,” kata Herdi.
Cara yang paling baik mencapai itu, lanjutnya, adalah dengan mengusut keputusan-keputusan yang dinilai ganjil. Kasus sengketa TPI adalah sesuatu yang ganjil di mata hukum, karena itu harus cepat diusut dan dituntaskan agar citra Indonesia sebagai negara berkepastian hukum juga kuat. Pengamat hukum perdata dari Universitas Negeri Semarang, Pujiono, mengungkapkan, para hakim MA seharusnya tidak gegabah dalam memahami substansi sengketa kepemilikan TPI.
Seharusnya mereka tidak hanya mengindahkan prosedur saja, tapi juga kenyataan bahwa ada talangan dari PT Berkah Karya Bersama atas utang-utang Tutut di TPI yang mencapai triliunan rupiah. Menurut Pujiono, dana talangan dari PT Berkah itu berjumlah sangat besar dan seharusnya diperhitungkan pada putusan MA.
“Substansi sengketa itu adalah pembayaran utangpiutang dan kemudian disubstitusi pada saham,” kata Pujiono. Sengketa itu, lanjutnya, menyangkut investment agreement yang dibuat antara Tutut dan PT Berkah Karya Bersama untuk utang TPI milik Tutut sebesar Rp1,7 triliun. “Subtansinya itu dan sudah selesai di Badan Arbitrase Nasional Indonesia,” kata Pujiono.
Pada putusan soal sengketa TPI pekan lalu BANI berkeputusan bahwa PT Berkah Karya Bersama sudah memenuhi ketentuan dalam investment agreement dan suplemental agreement. BANI juga menganggap bahwa tindakan kubu Tutut membawa masalah arbitrase ke pengadilan sudah melanggar ketentuan hukum. Utang Tutut di masa lalu tergolong besar.
Utang-utang itu antara lain utang Tutut ke Asian Ventura sebesar Rp125 miliar, utang kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Rp60 miliar terkait utang ke Bank Yama, utang ke Citra Marga Nusaphala (CMNP) yaitu pengelola jalan tol sebesar Rp41 miliar, dan utang ke Perregrine senilai Rp22 miliar.
Sebelumnya, majelis hakim MA menolak permohonan PK kasus sengketa kepemilikan TPI yang diajukan PT Berkah Karya Bersama. Kasusinidiputusmajelis hakim dengan ketua Mohammad Saleh serta hakim anggota Hamdi dan Abdul Manan. Putusan ini dinilai menabrak Undang- Undang Nomor 30/1999 tentang Arbitrase. Sebab, proses sengketa kepemilikan TPI masih berlangsung di BANI.
Nurul adriyana/Danti Daniel
Komisioner KY Taufiqurrahman Syahuri mengatakan, putusan BANI memang dapat dijadikan sebagai data dalam proses anotasi yang sedang dilakukan KY. Putusan BANI, ujarnya, setidaknya dapat membantu dan mempercepat proses investigasi yang dilakukan KY. Namun, untuk mempercepat proses penelusuran, KY berharap PT Berkah Karya Bersama dapat menyerahkan putusan BANI.
“Mengingat proses penelusuran yang dilakukan KY berdasarkan pada kelengkapan bukti pelapor (PT Berkah),” tandas Taufiq di Jakarta, kemarin. KY memang memiliki kewenangan untuk meminta putusan BANI, namun alangkah baiknya jika PT Berkah menyerahkan salinan putusan BANI.
“Sebaiknya begitu (menyerahkan putusan) biar cepat,” paparnya. Pengamat hukum perdata Universitas Airlangga, Yohanes Sogar Simamora, meminta KY menuntaskan eksaminasi putusan MA terkait kasus TPI. “KY perlu menuntaskan eksaminasi soal putusan MA atas kasus TPI. Apakah melanggar etika atau tidak,” tandas Sogar.
Eksaminasi itu penting untuk melihat apakah majelis hakim yang memutus kasus PK TPI sudah berkeputusan sesuai dengan undang-undang yang berlaku atau tidak. Eksaminasi adalah uji publik atas putusan hakim terutama yang dinilai ganjil. Menurut Sogar, tiga hakim MA yang memproses kasus TPI seharusnya tahu bahwa dalam sengketa itu terdapat klausul arbitrase.
“Jika obyeknya sama, seharusnya mereka menolak tangani sengketa yang sedang diproses di Arbitrase. Kasus itu seharusnya tidak bisa diproses di pengadilan,” sebutguru besarhukumkontrak komersial pada Fakultas Hukum, Unair, Surabaya, ini. Menurut dia, secara hukum, proses di Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) sudah benar.
Di sinilah, menurut Sogar, pentingnya eksaminasi sehingga bisa diketahui dengan saksama ada atau tidaknya pelanggaran etika oleh hakim MA. KY sendiri telah menjanjikan anotasi (catatan hukum) akan selesai dalam sebulan sejak PT Berkah Karya Bersama melaporkan kasus ini pada akhir November lalu.
Menurut Sogar, Indonesia adalah negara hukum, maka para hakim pun diharapkan mematuhi undang-undang yang berlaku sehingga apa pun keputusan hukum yang dibuat dengan melanggar hukum, maka bisa batal. Tidak terkecuali, produk hukum yang dikeluarkan majelis hakim MA bila memang produk hukumnya cacat hukum.
Hal senada diungkapkan pengamat hukum dari Universitas Paramadina, Herdi Sahrasad. Menurut dia, putusan MA atas PK kasus TPI dinilai ganjil dan harus cepat diusut. “Harus tetap diusut sesuai prosedur agar tidak jadi preseden buruk bagi masyarakat atas sistem hukum kita,” ujarnya.
Seharusnya hukum berkembang baik di era reformasi dengan lebih memperhatikan hakhakrakyat danmelihat substansi yang disengketakan. MA, seharusnya melihat dengan jernih substansi masalahnya. “Kita harus memperkuat rule of law. Hukum juga harus menghargai hakhak rakyat,” kata Herdi.
Cara yang paling baik mencapai itu, lanjutnya, adalah dengan mengusut keputusan-keputusan yang dinilai ganjil. Kasus sengketa TPI adalah sesuatu yang ganjil di mata hukum, karena itu harus cepat diusut dan dituntaskan agar citra Indonesia sebagai negara berkepastian hukum juga kuat. Pengamat hukum perdata dari Universitas Negeri Semarang, Pujiono, mengungkapkan, para hakim MA seharusnya tidak gegabah dalam memahami substansi sengketa kepemilikan TPI.
Seharusnya mereka tidak hanya mengindahkan prosedur saja, tapi juga kenyataan bahwa ada talangan dari PT Berkah Karya Bersama atas utang-utang Tutut di TPI yang mencapai triliunan rupiah. Menurut Pujiono, dana talangan dari PT Berkah itu berjumlah sangat besar dan seharusnya diperhitungkan pada putusan MA.
“Substansi sengketa itu adalah pembayaran utangpiutang dan kemudian disubstitusi pada saham,” kata Pujiono. Sengketa itu, lanjutnya, menyangkut investment agreement yang dibuat antara Tutut dan PT Berkah Karya Bersama untuk utang TPI milik Tutut sebesar Rp1,7 triliun. “Subtansinya itu dan sudah selesai di Badan Arbitrase Nasional Indonesia,” kata Pujiono.
Pada putusan soal sengketa TPI pekan lalu BANI berkeputusan bahwa PT Berkah Karya Bersama sudah memenuhi ketentuan dalam investment agreement dan suplemental agreement. BANI juga menganggap bahwa tindakan kubu Tutut membawa masalah arbitrase ke pengadilan sudah melanggar ketentuan hukum. Utang Tutut di masa lalu tergolong besar.
Utang-utang itu antara lain utang Tutut ke Asian Ventura sebesar Rp125 miliar, utang kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Rp60 miliar terkait utang ke Bank Yama, utang ke Citra Marga Nusaphala (CMNP) yaitu pengelola jalan tol sebesar Rp41 miliar, dan utang ke Perregrine senilai Rp22 miliar.
Sebelumnya, majelis hakim MA menolak permohonan PK kasus sengketa kepemilikan TPI yang diajukan PT Berkah Karya Bersama. Kasusinidiputusmajelis hakim dengan ketua Mohammad Saleh serta hakim anggota Hamdi dan Abdul Manan. Putusan ini dinilai menabrak Undang- Undang Nomor 30/1999 tentang Arbitrase. Sebab, proses sengketa kepemilikan TPI masih berlangsung di BANI.
Nurul adriyana/Danti Daniel
(bbg)