Pemerintah Siapkan 204 Penjabat Kepala Daerah
A
A
A
Di tengah ketidakpastian regulasi penyelenggaraan pilkada serentak pada 2015, pemerintah mulai menyiapkan sejumlah langkah antisipasi jika tahapan pilkada serentak ini mundur dari jadwal.
Salah satu dampak yang ditimbulkan akibat molornya pilkada serentak adalah kekosongan pemerintahan karena kepala daerah berakhir masa jabatannya. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengantisipasi hal tersebut dengan menyiapkan penjabat (pj) untuk posisi gubernur, dan pelaksana tugas (plt) untuk bupati, maupun wali kota.
Untuk posisi delapan gubernur yang masa jabatannya berakhir, penjabat yang merupakan birokrat eselon I akan ditunjuk langsung oleh Kemendagri. Sedangkan untuk 196 pelaksana tugas bupati/ wali kota, gubernur masing-masing yang diminta menyiapkan. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo menjamin tidak akan terjadi kevakuman pemerintahan, meskipun pilkada serentak tertunda.
Menurutnya, pemerintah sudah menyiapkan rencana B, dan rencana C jika perppu pilkada ditolak DPR. Salah satu bentuk antisipasi itu adalah menyiapkan penjabat kepala daerah. “Makanya supaya tidak mengganggu kinerja, kami siapkan penjabat dari sekarang sehingga nanti tidak ada kevakuman,” ungkapnya baru-baru ini.
Mengingat besarnya ancaman terhadap kelancaran pilkada serentak ini, wacana lain dimunculkan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini. Bagi Titi, lebih baik apabila jadwal pilkada diundur hingga 2016 guna memberikan waktu yang cukup bagi KPU untuk mempersiapkan diri. “Saya kira 2016 adalah waktu yang ideal,” ungkapnya.
Selain itu, pemunduran jadwal pilkada juga dinilai akan memberikan kesempatan bagi daerah lain yang periode pemerintahannya berakhir di 2016 untuk ikut bergabung. Dia berpendapat, semakin banyak daerah yang ikut dalam pilkada, tujuan penyelenggaraan yang serentak tersebut menemukan maknanya. “Keserentakan itu akan efektif, efisien apabila antarprovinsi dan kabupaten/kota dilakukan serentak. Kalau hanya di satu kabupaten/kota pada satu provinsi, dampaknya tidak terlalu dirasakan,” ujarnya.
Pernyataan Titi ini terbukti dengan munculnya keinginan sekitar 20 kepala daerah yang meminta agar daerahnya dapat ikut pilkada serentak pada 2015. Mereka ini tidak termasuk 204 daerah yang sudah direncanakan sebelumnya. Para kepala daerah ini adalah yang masa jabatannya berakhir Januari, Februari, Maret dan April 2016.
Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda) Kemendagri Djohermansyah Djohan mengatakan seharusnya seluruh daerah tersebut masuk ke pilkada serentak pada 2018. Dia menduga, daerah yang ingin ikut pilkada serentak 2015 ini karena pertimbangan kepala daerahnya ingin kembali mencalonkan diri untuk kedua kalinya.
Jika harus menunggu hingga 2018, calon incumbentkhawatir akan kehilangan dukungan warganya karena ada masa jeda kepemimpinan selama sekitar dua tahun yang diisi oleh penjabat sementara. "Kami harus kaji dan pelajari dulu aspirasi itu,” ujarnya.
Dita angga/Dian ramdhani
Salah satu dampak yang ditimbulkan akibat molornya pilkada serentak adalah kekosongan pemerintahan karena kepala daerah berakhir masa jabatannya. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengantisipasi hal tersebut dengan menyiapkan penjabat (pj) untuk posisi gubernur, dan pelaksana tugas (plt) untuk bupati, maupun wali kota.
Untuk posisi delapan gubernur yang masa jabatannya berakhir, penjabat yang merupakan birokrat eselon I akan ditunjuk langsung oleh Kemendagri. Sedangkan untuk 196 pelaksana tugas bupati/ wali kota, gubernur masing-masing yang diminta menyiapkan. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo menjamin tidak akan terjadi kevakuman pemerintahan, meskipun pilkada serentak tertunda.
Menurutnya, pemerintah sudah menyiapkan rencana B, dan rencana C jika perppu pilkada ditolak DPR. Salah satu bentuk antisipasi itu adalah menyiapkan penjabat kepala daerah. “Makanya supaya tidak mengganggu kinerja, kami siapkan penjabat dari sekarang sehingga nanti tidak ada kevakuman,” ungkapnya baru-baru ini.
Mengingat besarnya ancaman terhadap kelancaran pilkada serentak ini, wacana lain dimunculkan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini. Bagi Titi, lebih baik apabila jadwal pilkada diundur hingga 2016 guna memberikan waktu yang cukup bagi KPU untuk mempersiapkan diri. “Saya kira 2016 adalah waktu yang ideal,” ungkapnya.
Selain itu, pemunduran jadwal pilkada juga dinilai akan memberikan kesempatan bagi daerah lain yang periode pemerintahannya berakhir di 2016 untuk ikut bergabung. Dia berpendapat, semakin banyak daerah yang ikut dalam pilkada, tujuan penyelenggaraan yang serentak tersebut menemukan maknanya. “Keserentakan itu akan efektif, efisien apabila antarprovinsi dan kabupaten/kota dilakukan serentak. Kalau hanya di satu kabupaten/kota pada satu provinsi, dampaknya tidak terlalu dirasakan,” ujarnya.
Pernyataan Titi ini terbukti dengan munculnya keinginan sekitar 20 kepala daerah yang meminta agar daerahnya dapat ikut pilkada serentak pada 2015. Mereka ini tidak termasuk 204 daerah yang sudah direncanakan sebelumnya. Para kepala daerah ini adalah yang masa jabatannya berakhir Januari, Februari, Maret dan April 2016.
Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda) Kemendagri Djohermansyah Djohan mengatakan seharusnya seluruh daerah tersebut masuk ke pilkada serentak pada 2018. Dia menduga, daerah yang ingin ikut pilkada serentak 2015 ini karena pertimbangan kepala daerahnya ingin kembali mencalonkan diri untuk kedua kalinya.
Jika harus menunggu hingga 2018, calon incumbentkhawatir akan kehilangan dukungan warganya karena ada masa jeda kepemimpinan selama sekitar dua tahun yang diisi oleh penjabat sementara. "Kami harus kaji dan pelajari dulu aspirasi itu,” ujarnya.
Dita angga/Dian ramdhani
(bbg)