Putusan BANI Final dan Mengikat
A
A
A
JAKARTA - Kuasa hukum MNCTV Hotman Paris Hutapea menyatakan, putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) sifatnya final dan mengikat. Karena itu, menurut Hotman, mau tidak mau pihak Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut) harus melaksanakan putusan.
“Soal kalah itu pasti mana ada yang bisa terima. Tapi ini sudah final dan mengikat jadi harus dilaksanakan. Soal saham tidak perlu dieksekusi, tapi masih ada kewajiban yang harus dipenuhi pihak Tutut yang Rp 510 miliar. Bisa saja nanti kita sita rumah Tutut,” tandas Hotman di Jakarta kemarin. Menurut dia, dalam perjanjian investasi antara Tutut dengan PT Berkah Karya Bersama (BKB) jelas tertulis bahwa sengketa diselesaikan di BANI.
Dalam perjanjian itu juga ditegaskan bahwa putusan BANI mengikat dan tidak boleh banding ataupun kasasi. Selain tertera di perjanjian, ketentuan final dan mengikat juga dipertegas BANI dalam putusannya. Kuasa hukum PT BKB Andi F Simangunsong, mengatakan kubu Tutut sampai saat inimasih tetap berupaya mengklaim kepemilikan PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (CTPI) berdasarkan putusan peninjauan kembali (PK) Mahkamah Agung (MA) dan bukan berdasarkan putusan BANI.
Menurut Andi, klaim Tutut atas kepemilikan TPI berdasarkan putusan PK sangat mengada- ada. Karena, sejak awal dalam perjanjian investasi yang ditandatangani pada 23 Agustus 2002, Tutut telah tegas menyatakan bahwa penyelesaian sengketa hanya bisa dilakukan di BANI. “Dengan demikian yang menjadi acuan adalah putusan BANI, bukan putusan PK,” tandas Andi.
Hal itu juga diatur tegas dalam Pasal 13.3 perjanjian arbitrase yang menyebut, ”Jika sengketa demikian tidak dapat diselesaikan secara kekeluargaan oleh Para Pihak, maka akan diselesaikan secara eksklusif dan final melalui arbitrase di Jakarta sesuai dengan Peraturan Badan Arbitrase Nasional Indonesia.”
Selain itu, tidak ada satu kata pun di dalam putusan pengadilan sampai tingkat PK yang mengatur tentang kepemilikan TPI dan tidak ada satu kata pun di dalam putusan PK yang menyatakan kubu Tutut sebagai pemilik TPI. Sebaliknya, di dalam putusan BANI secara tegas diatur dan dinyatakan bahwa 75% saham TPI adalah milik PT Berkah Karya Bersama.
“Berdasarkan pemberitaan, kubu Tutut bermaksud melakukan upaya hukum terhadap putusan BANI. Hal tersebut tidak boleh dilakukan karena Tutut telah menandatangani perjanjian investasi dan secara tegas bahwa putusan BANI adalah final dan mengikat dan tidak dapat dilakukan upaya hukum lagi,” paparnya.
Kubu Tutut juga secara tegas sudah mengesampingkan haknya untuk melakukan upaya gugatan terhadap putusan BANI tersebut. Ini, lanjut Andi, diatur dalam Pasal 13.6 Perjanjian Investasi yang menyebut,”Keputusan arbitrase yang diberikan bersifat final, mengikat, dan tidak dapat dibantah dan dapat digunakan sebagai dasar untuk keputusan atas itu di Indonesia atau di manapun juga. Para Pihak secara tegas setuju (i) untuk mengenyampingkan Pasal 70-72 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999....”
Andi juga menyatakan bahwa putusan BANI merupakan putusan yang telah memenuhi rasa keadilan. Sebab, putusan itu mengatakan bahwa PT BKB telah membayar USD81 juta (lebih dari USD55 juta sebagaimana diperjanjikan), maka PT BKB berhak atas 75% saham TPI.
“Dan selanjutnya kelebihan pembayaran tersebut, sesuai dengan perjanjian investasi, merupakan tanggung jawab Tutut. Putusan BANI yang menghukum Tutut membayar kelebihan pembayaran itu ditambah bunga sehingga senilai Rp510 miliar juga memenuhi rasa keadilan,” ujarnya.
Yang perlu menjadi perenungan, lanjut Andi, adalah nilai 25% saham Tutut saat ini dengan kondisi TPI yang cemerlang dan bernilai pasar positif triliunan rupiah jauh lebih berharga daripada nilai 100% saham Tutut di tahun 2002 sebelum masuknya PT BKB, yaitu bernilai negatif dan berhutang lebih dari Rp1,6 triliun.
Jadi, menurut Andi, sebenarnya kubu Tutut justru telah sangat diuntungkan dengan masuknya PT BKB ke TPI. Pengamathukumtatanegara Unversitas Khairun, Ternate, Margarito Kamis mengatakan, keputusan BANI yang memenangkan PT BKB atas sengketa TPI telah menggugurkan keputusan PK yang telah diputuskan MA. Namun, menurutnya, bukan berarti penyelidikan dugaan suap terhadap majelis hakim MA yang sedang ditangani KY ikut gugur.
Karena itu, Margarito mendesak agar pengusutan tersebut tetap dilanjutkan. Lembaga hukum seperti KPK, PPATK, Komisi Yudisial, hingga Ombudsman harus menindaklanjuti pemeriksaan terhadap M Saleh. Apalagi sebelumnya beredar kabar adanya dugaan penerimaan uang dalam kasus sengketa TPI.
“Tidak ada pilihan, harus diselidiki dan ditelusuri. Itu pandangan saya,” tandasnya. Menurut dia, ada atau tidaknya petunjuk, meski diselidiki. Pasalnya, kebenaran sekecil apa pun harus ditegakkan. “Itu yang paling pokok, harus diselidiki apakah ada fakta terjadinya penyuapan atau tidak, karena sekecil apa pun faktanya itu harus ditelusuri,” paparnya.
Pakar hukum bisnis Frans Hendra Winata menilai keputusan peninjauan kembali (PK) kasus sengketa kepemilikan TPI adalah keputusan yang keliru. Karena itu, menurut Frans, KY wajib menelusuri kekeliruan putusan hakim MA, M Saleh, tersebut. “Sudah pasti itu keliru. KY harus bertindak, harus dicari apa yang membuat dia (M Saleh menetapkan putusan itu). Apa dia tidak punya pengetahuan soal itu? Tapi masa tidak punya? Dia kan hakim MA,” tandasnya.
Menurut Frans, sesungguhnya BANI-lah yang berwenang mengadili kasus ini sesuai dengan perjanjian bisnis. Apalagi keputusan BANI tidak bisa diganggu gugat lagi. Hal senada diungkapkan pengamat hukum Universitas Negeri Semarang Arif Hidayat. Menurut dia, KY diharapkan menuntaskan dugaan pelanggaran kode etik majelis hakim MA yang menangani PK kasus TPI.
Menurut dia, keputusan para hakim atas kasus itu menyiratkan dugaan kuat adanya permainan uang kepada para hakim agung. “Tidak mungkin sekaliber hakim agung tidak tahu soal aturan dualisme penyelesaian, yaitu kasus yang sama dibawa ke pengadilan, padahal sebelumnya keduanya sepakat untuk menyelesaikannya di jalur arbitrase,” kata Arif.
Menurut dia, ketika satu sengketa diproses di BANI, pengadilan umum tidak boleh mengeluarkan putusan apa pun. “Jadi, KY harus segera menuntaskan anotasi tentang kasus ini,” ujarnya. Arif mengatakan, anotasi dan eksaminasi publik atas kasus ini perlu dilakukan untuk menjamin kepastian hukum di Indonesia. “Negara harus menjaga kredibilitas hukum bisnis di Indonesia, dengan begitu para investor dalam dan luar negeri dapat berbisnis dengan nyaman di Indonesia,” paparnya.
Dita angga/Nurul adriyana/Danti daniel
“Soal kalah itu pasti mana ada yang bisa terima. Tapi ini sudah final dan mengikat jadi harus dilaksanakan. Soal saham tidak perlu dieksekusi, tapi masih ada kewajiban yang harus dipenuhi pihak Tutut yang Rp 510 miliar. Bisa saja nanti kita sita rumah Tutut,” tandas Hotman di Jakarta kemarin. Menurut dia, dalam perjanjian investasi antara Tutut dengan PT Berkah Karya Bersama (BKB) jelas tertulis bahwa sengketa diselesaikan di BANI.
Dalam perjanjian itu juga ditegaskan bahwa putusan BANI mengikat dan tidak boleh banding ataupun kasasi. Selain tertera di perjanjian, ketentuan final dan mengikat juga dipertegas BANI dalam putusannya. Kuasa hukum PT BKB Andi F Simangunsong, mengatakan kubu Tutut sampai saat inimasih tetap berupaya mengklaim kepemilikan PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (CTPI) berdasarkan putusan peninjauan kembali (PK) Mahkamah Agung (MA) dan bukan berdasarkan putusan BANI.
Menurut Andi, klaim Tutut atas kepemilikan TPI berdasarkan putusan PK sangat mengada- ada. Karena, sejak awal dalam perjanjian investasi yang ditandatangani pada 23 Agustus 2002, Tutut telah tegas menyatakan bahwa penyelesaian sengketa hanya bisa dilakukan di BANI. “Dengan demikian yang menjadi acuan adalah putusan BANI, bukan putusan PK,” tandas Andi.
Hal itu juga diatur tegas dalam Pasal 13.3 perjanjian arbitrase yang menyebut, ”Jika sengketa demikian tidak dapat diselesaikan secara kekeluargaan oleh Para Pihak, maka akan diselesaikan secara eksklusif dan final melalui arbitrase di Jakarta sesuai dengan Peraturan Badan Arbitrase Nasional Indonesia.”
Selain itu, tidak ada satu kata pun di dalam putusan pengadilan sampai tingkat PK yang mengatur tentang kepemilikan TPI dan tidak ada satu kata pun di dalam putusan PK yang menyatakan kubu Tutut sebagai pemilik TPI. Sebaliknya, di dalam putusan BANI secara tegas diatur dan dinyatakan bahwa 75% saham TPI adalah milik PT Berkah Karya Bersama.
“Berdasarkan pemberitaan, kubu Tutut bermaksud melakukan upaya hukum terhadap putusan BANI. Hal tersebut tidak boleh dilakukan karena Tutut telah menandatangani perjanjian investasi dan secara tegas bahwa putusan BANI adalah final dan mengikat dan tidak dapat dilakukan upaya hukum lagi,” paparnya.
Kubu Tutut juga secara tegas sudah mengesampingkan haknya untuk melakukan upaya gugatan terhadap putusan BANI tersebut. Ini, lanjut Andi, diatur dalam Pasal 13.6 Perjanjian Investasi yang menyebut,”Keputusan arbitrase yang diberikan bersifat final, mengikat, dan tidak dapat dibantah dan dapat digunakan sebagai dasar untuk keputusan atas itu di Indonesia atau di manapun juga. Para Pihak secara tegas setuju (i) untuk mengenyampingkan Pasal 70-72 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999....”
Andi juga menyatakan bahwa putusan BANI merupakan putusan yang telah memenuhi rasa keadilan. Sebab, putusan itu mengatakan bahwa PT BKB telah membayar USD81 juta (lebih dari USD55 juta sebagaimana diperjanjikan), maka PT BKB berhak atas 75% saham TPI.
“Dan selanjutnya kelebihan pembayaran tersebut, sesuai dengan perjanjian investasi, merupakan tanggung jawab Tutut. Putusan BANI yang menghukum Tutut membayar kelebihan pembayaran itu ditambah bunga sehingga senilai Rp510 miliar juga memenuhi rasa keadilan,” ujarnya.
Yang perlu menjadi perenungan, lanjut Andi, adalah nilai 25% saham Tutut saat ini dengan kondisi TPI yang cemerlang dan bernilai pasar positif triliunan rupiah jauh lebih berharga daripada nilai 100% saham Tutut di tahun 2002 sebelum masuknya PT BKB, yaitu bernilai negatif dan berhutang lebih dari Rp1,6 triliun.
Jadi, menurut Andi, sebenarnya kubu Tutut justru telah sangat diuntungkan dengan masuknya PT BKB ke TPI. Pengamathukumtatanegara Unversitas Khairun, Ternate, Margarito Kamis mengatakan, keputusan BANI yang memenangkan PT BKB atas sengketa TPI telah menggugurkan keputusan PK yang telah diputuskan MA. Namun, menurutnya, bukan berarti penyelidikan dugaan suap terhadap majelis hakim MA yang sedang ditangani KY ikut gugur.
Karena itu, Margarito mendesak agar pengusutan tersebut tetap dilanjutkan. Lembaga hukum seperti KPK, PPATK, Komisi Yudisial, hingga Ombudsman harus menindaklanjuti pemeriksaan terhadap M Saleh. Apalagi sebelumnya beredar kabar adanya dugaan penerimaan uang dalam kasus sengketa TPI.
“Tidak ada pilihan, harus diselidiki dan ditelusuri. Itu pandangan saya,” tandasnya. Menurut dia, ada atau tidaknya petunjuk, meski diselidiki. Pasalnya, kebenaran sekecil apa pun harus ditegakkan. “Itu yang paling pokok, harus diselidiki apakah ada fakta terjadinya penyuapan atau tidak, karena sekecil apa pun faktanya itu harus ditelusuri,” paparnya.
Pakar hukum bisnis Frans Hendra Winata menilai keputusan peninjauan kembali (PK) kasus sengketa kepemilikan TPI adalah keputusan yang keliru. Karena itu, menurut Frans, KY wajib menelusuri kekeliruan putusan hakim MA, M Saleh, tersebut. “Sudah pasti itu keliru. KY harus bertindak, harus dicari apa yang membuat dia (M Saleh menetapkan putusan itu). Apa dia tidak punya pengetahuan soal itu? Tapi masa tidak punya? Dia kan hakim MA,” tandasnya.
Menurut Frans, sesungguhnya BANI-lah yang berwenang mengadili kasus ini sesuai dengan perjanjian bisnis. Apalagi keputusan BANI tidak bisa diganggu gugat lagi. Hal senada diungkapkan pengamat hukum Universitas Negeri Semarang Arif Hidayat. Menurut dia, KY diharapkan menuntaskan dugaan pelanggaran kode etik majelis hakim MA yang menangani PK kasus TPI.
Menurut dia, keputusan para hakim atas kasus itu menyiratkan dugaan kuat adanya permainan uang kepada para hakim agung. “Tidak mungkin sekaliber hakim agung tidak tahu soal aturan dualisme penyelesaian, yaitu kasus yang sama dibawa ke pengadilan, padahal sebelumnya keduanya sepakat untuk menyelesaikannya di jalur arbitrase,” kata Arif.
Menurut dia, ketika satu sengketa diproses di BANI, pengadilan umum tidak boleh mengeluarkan putusan apa pun. “Jadi, KY harus segera menuntaskan anotasi tentang kasus ini,” ujarnya. Arif mengatakan, anotasi dan eksaminasi publik atas kasus ini perlu dilakukan untuk menjamin kepastian hukum di Indonesia. “Negara harus menjaga kredibilitas hukum bisnis di Indonesia, dengan begitu para investor dalam dan luar negeri dapat berbisnis dengan nyaman di Indonesia,” paparnya.
Dita angga/Nurul adriyana/Danti daniel
(bbg)