Sistem Dua Kurikulum Picu Kesenjangan

Minggu, 14 Desember 2014 - 11:29 WIB
Sistem Dua Kurikulum...
Sistem Dua Kurikulum Picu Kesenjangan
A A A
JAKARTA - Kebijakan Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan Dasar Menengah menerapkan dua kurikulum berbeda di sekolah-sekolah berpotensi menimbulkan dampak negatif pada kualitas siswa.

Kesenjangan kualitas diperkirakan akan terjadi antara siswa yang sekolahnya menerapkan Kurikulum 2013 dengan siswa yang sekolahnya kembali ke Kurikulum 2006. Kesenjangan bukan hanya pada aspek kualitas, melainkan juga pada sarana dan prasarana pendukung. ”Mau tak mau ini keputusan yang sulit, antara kembali ke 2006 atau memakai 2013.

Tentunya ini akan menghasilkan dualisme dalam pembelajaran,” ujar pemerhati pendidikan Abduh Zen saat menjadi pembicara diskusi Polemik Sindo Trijaya Network bertema ”Mau Dibawa ke Mana Pendidikan Kita” kemarin di Jakarta. Abduh mengatakan, jika penerapan dua kurikulum berbeda ini berlangsung dalam waktu singkat kemungkinan dampaknya tidak akan berbahaya.

Akan tetapi, karena penerapannya diprediksi dalam waktu lama, dapat dipastikan siswalah yang akan menjadi korbannya. Abduh juga menjelaskan dari 6.221 sekolah yang masih menerapkan Kurikulum 2013, sebagian besar di antaranya adalah bekas rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI).

Dari fakta tersebut tentu akan sangat bertolak belakangdengansekolahyangkembali menggunakan Kurikulum 2006, yaitu sekolah biasa. ”Sekolah bekas RSBI itu sudahdikenalungguldanmajudan mereka akan belajar dengan kelengkapan fasilitas dan metodologi yang terdapat di Kurikulum 2013, sementara yang kembali 2006 ini tidak,” jelasnya.

Meski begitu Abduh memahami pada Kurikulum 2013 masih terdapat persoalan yang sifatnya implementatif seperti distribusi buku serta kesiapan guru. Untuk itu dia menyarankan agar penyusunan kurikulum sebaiknya dapat menghilangkan kerancuan seperti pada soal koherensi, asumsi, argumentasi, substansi, dan implementasi.

”Tapi jangan lupa bahwa persoalan implementatif ini sebetulnya juga persoalan lanjutan yang sifatnya substantif. Jadi menurut saya dari awal memang harus dihilangkan kerancuan itu,” tandasnya. Hal senada disampaikan pendiri Rumah Perubahan Rhenald Kasali. Menurutnya penerapan Kurikulum 2013 sebaiknya jangan terburu-buru dianggap tidak tepat.

Harus ada waktu bagi kurikulum tersebut untuk diadaptasikan dengan siswa dan pengajar. Apalagi maksud dan tujuan dari kurikulum tersebut adalah untuk meningkatkan kualitas peserta didik. ”Kalau apa-apa sudah ditentang, ini namanya neophobia. Ketakutan terhadap hal-hal baru yang terjadi begitu besar di tengah masyarakat kita,” katanya.

Meski dari sisi pelaksanaan ada kekurangan dan revisi pada Kurikulum 2013, menurut Rhenald, hal itu wajar. Dia justru sangat menyayangkan apabila proses yang baru diterapkan itu kemudian direduksi hanya karena ketidaksiapan warga sekolah untuk menerima metode yang baru.

”Ini sebenarnya gagasan yang mulia, ingin mengurangi agar jangan sampai jadi beban. Tapi memang prosesnya tidak bisa langsung, semua ada hal yang pasti ada ketidak sempurnaan,” imbuhnya.Lebih jauh Rhenald mengingatkan bahwa tantangan siswa di masa yang akan datang sangatlah besar.

Apabila sejak menuntut ilmu tidak dibekali dengan metode dan kesiapan yang baik, mereka tidak akan mampu. ”Kita harus bijaksana melihat masa lalu dan juga bijaksana mempersiapkan anak-anak kita menghadapi tantangan lebih berat di masa datang. Tantangan yang kita hadapi sekarang ini jauh lebih ringan,” tegasnya.

Sementara itu juru bicara Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan Dasar Menengah Ibnu Hamad memastikan Kurikulum 2013 tetap berlaku pada sistem pendidikan di Indonesia. Namun memang penerapannya tidak sepenuhnya dilakukan karena melihat kesiapan dari sekolah masing-masing. ”Bahwa sekolah yang baru menerapkan Kurikulum 2013 satu semester itu memang dihentikan dan dikembalikan ke Kurikulum 2006. Tapi yang sudah menerapkan Kurikulum 2013 tiga semester diminta lanjut dan didorong sebagai sekolah percontohan atau sekolah rintisan,” papar Ibnu.

Dia juga menjelaskan bagi sekolah yang sudah menerapkan kurikulum tersebut, tetapi merasa tidak sanggup boleh mengajukan keberatan untuk tidak melanjutkan. ”Juga kalau ada sekolah yang baru satu semester dan sudah dikembalikan ke Kurikulum 2006 bersedia melanjutkan, itu juga diminta melaporkan ke kementerian,” jelasnya.

Lebih jauh Ibnu menolak anggapan bahwa penerapan kurikulum yang terkesan dualistis ini akan menyulitkan dan memberikan jarak pada kualitas siswa. Menurutnya pada penerapan sebelumnya Kurikulum 2013 juga belum dilaksanakan sepenuhnya bagi siswa di satu sekolah.

Dia mencontohkan pada 2013 ketika Kurikulum 2013 baru diterapkan, itu hanya diterapkan di kelas 1 dan kelas 4. Adapun kelas 2, 5, dan 6 masih menggunakan Kurikulum 2006. Begitu juga ketika mulai diterapkan masif pada 2014, sekitar 200.000 sekolah menerapkan Kurikulum 2013 hanya untuk kelas 1, 2, 4, dan 5 SD. Sementara SMP untuk kelas 1 dan 2, SMA kelas 1 dan 2.

Dian ramdhani
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0586 seconds (0.1#10.140)