Putusan MA soal TPI Batal demi Hukum

Sabtu, 13 Desember 2014 - 14:24 WIB
Putusan MA soal TPI...
Putusan MA soal TPI Batal demi Hukum
A A A
JAKARTA - Putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak peninjauan kembali (PK) kasus sengketa kepemilikan Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) dinilai batal demi hukum dengan terbitnya putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).

Pengamat hukum bisnis Frans Hendra Winarta menyatakan, batal demi hukum ini berarti putusannya sudah tidak berlaku lagi dan tidak bisa dijadikan pegangan. Putusan PK MA tidak berlaku karena menyalahi undang- undang. “Putusan pengadilan tidak boleh menyalahi undang-undang. Yang berlaku adalah putusan (award) BANI berdasarkan perintah UU Nomor 30/1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa,” tandas Fransdi Jakarta kemarin.

Menurut Frans, karena para pihak sudah memilih arbitrase sebagai forum penyelesaian sengketa mereka berdasarkan prinsip party autonomy, BANI berhak dan berwenang memutuskan perkara ini atas dasar prinsip kompeten-kompeten. Hal senada diungkapkan pengamat hukum Universitas Negeri Semarang (Unnes) Arif Hidayat. Menurut dia, telaah kasus versi BANI dengan pengadilan agak berbeda.

Sebab BANI menelaahnya dari akar masalah sampai bukti-bukti. Dengan putusan itu, menurut dia, artinya keputusan MA gugur karena putusan BANI bersifat satu kali, yaitu pertama dan final. “BANI tidak saja melihat kasus itu dari segi proses, tapi juga akar masalah, jadi lebih komprehensif,” tandasnya.

Pengamat hukum tata negara Universitas Khairun, Ternate, Margarito Kamis menyatakan, PT Berkah Karya Bersama bisa menggugurkan putusan MA yang menolak PK yang diajukannya, yakni dengan cara mengajukan kembali PK terhadap putusan MA itu dengan menjadikan putusan BANI sebagai novum (bukti baru). “Mengapa begitu? Ini disebabkan putusan pengadilan harus dikoreksi dengan putusan pengadilan pula,” ujarnya.

Menurut Margarito, kasus hukum sengketa kepemilikan TPI merupakan fenomena hukum paling menarik. Sebab dalam perjanjian bisnis keduanya terdapat klausul yang menyebutkan sengketa diselesaikan secara arbitrase. Namun ada fakta juga bahwa kedua pihak pernah beperkara di pengadilan negeri sampai di MA, bahkan ada putusan PK. “Ini yang harus diselesaikan,” tuturnya.

Pakar hukum Universitas Parahyangan (Unpar) Asep Warlan Yusuf mengatakan, adanya putusan MA dan BANI yang berbeda harus dilihat dari substansi atau pokok perkara kedua putusan itu. Jika putusan MA berbeda dengan putusan BANI, sebenarnya keduanya dapat dijalankan. Namun ketika substansi sama persis, harus salah satu yang dilaksanakan.

Untuk mengatasi persoalan ini, ujar Asep, sebenarnya pemerintah sudah menyiapkan antisipasinya melalui peraturan perundang-undangan. Karena itu, dalam aturan UU, tidak boleh pengadilan memutus perkara ini karena sudah diproses di BANI. “Pengadilan harus menyerahkan kepada badan arbitrase dan itu sudah diantisipasi karena dapat dipastikan terjadi kemungkinan seperti itu,” katanya.

Menurut dia, MA harus bertanggung jawab atas semua ini. MA berkewajiban menuntaskan persoalan ini sebagaimana UUD yang mengatur bahwa putusan kehakiman ada di MA. “Mereka yang bikin ulah. Banyak orang yang melihat bahwa ini sebuah kekeliruan MA,” tandasnya.

Pakar hukum acara Universitas Muhammadiyah Saiful Bahri menandaskan, dengan terbitnya putusan BANI yang memenangkan PT Berkah Karya Bersama, putusan MA sebelumnya tidak berlaku lagi. “Putusan yang berlaku adalah putusan BANI, sebab bersifat final dan mengikat,” ujarnya.

Putusan BANI ini, lanjut Saiful, tidak bisa digugat lagi dan harus dilaksanakan. Berdasarkan amanat UU Abritase, menurutnya, putusan BANI harus diutamakan dari putusan pengadilan. Pakar hukum arbitrase Humphrey Djemat mengatakan, putusan pengadilan tidak mempunyai pengaruh apa pun pada putusan BANI. Karena itu, semua pihak wajib mengikuti putusan BANI.

“Yang benar adalah putusanarbitrase. ItuyangdiMA adalah putusan tidak benar, jadi yang harus diikuti itu putusan arbitrase saja,” tandasnya. Menurut dia, intervensi pengadilan atas sengketa saham TPI antara PT Berkah Karya Bersama (BKB) dengan Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut) dapat merusak iklim investasi di Indonesia. Apalagi akan ada Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau pasar bebas pada 2015.

“Kalau putusan MA yang berjalan, investor asing akan takut. Itu juga akan mencoreng iklim investasi di Indonesia karena pihak asing akan berpikir ulang untuk menanamkan modalnya,” ujar dia. Karena itu, dia meminta Ketua MA Hatta Ali mengoreksi putusan tersebut. Putusan MA, lanjutnya, akan bertentangan dan dengan sendirinya dan batal di mata hukum. “Karena hukum sudah mengaturnya seperti itu. Jadi tetap BANI yang berlaku,” tandasnya.

Kuasa hukum PT BKB Andi F Simangunsong juga menyatakan bahwa putusan BANI adalah final dan mengikat. Bahkan, menurut Andi, putusan BANI itu sekaligus menggugurkan putusan MA yang menolak PK PT BKB. “BANI mengatakan, bahwa BANI tidak terikat adanya putusan MA yang bukan kewenangannya. BANI juga mengatakan PK MA itu melanggar Pasal 13 UU Arbitrase yang menyebutkan bahwa kalau sudah ada klausul arbitrase, maka pengadilan tidak berwenang,” tandasnya.

Atas putusan BANI ini, lanjutnya, maka kepemilikan saham PT BKB di TPI adalah sah. Seharusnya, ujar Andi, MA tidak menangani kasus TPI ini. Sebab, perkara kepemilikan saham merupakan wewenang BANI untuk menyelesaikan. “Kalau ada sengketa arbitrase, seharusnya dari awal pengadilan menyarankan tidak berwenang menangani. MA jugatidak pernah dibahas soal kepemilikan saham, tapi di arbitrase yang dibahas,” tandas Andi.

Dita angga/Dian ramdhani/Danti Daniel
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0698 seconds (0.1#10.140)