PPP Pertimbangkan Jadi Partai Tengah
A
A
A
JAKARTA - Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mempertimbangkan mengubah posisinya menjadi partai tengah di parlemen. Hal tersebut dinilai lebih menguntungkan ketimbang bergabung ke dalam satu kutub koalisi.
Partai berlambang Kakbah ini akan membahas dan memutuskan arah koalisinya melalui Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) I PPP yang digelar di Jakarta, 10-12 Desember 2014. Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP PPP kubu Djan Faridz, Achmad Dimyati Natakusumah, mengatakan, keinginan menjadi penyeimbang tersebut didasari pada fakta bahwa PPP selama ini tidak mendapatkan posisi apa pun dengan bergabung di Koalisi Merah Putih (KMP).
Hal yang sama juga terjadi pada kubu Ketua Umum DPP PPP hasil Muktamar Surabaya Romahurmuziy (Romi) yang bergabung ke Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Salah satu penyebab PPP tidak diperhitungkan dan akhirnya tidak memperoleh posisi apa pun, kata dia, adalah perpecahan internal yang melanda partai.
Saat ini kubu Ketua Umum DPP Djan Faridz yang terpilih di Muktamar Jakarta dan kubu Romi yang terpilih di Muktamar Surabaya terus terlibat konflik berkepanjangan. Menyadari posisi yang tidak menguntungkan itu, PPP mempertimbangkan mengikuti posisi Partai Demokrat yang tidak memihak dua kubu koalisi.
“Apakah kita mungkin seperti Partai Demokrat, pimpinan DPR dan MPR dapat, alat kelengkapan, ketua komisi dapat. Kan kalau begitu, enak di tengah,” ucap Dimyati Natakusumah di sela-sela Mukernas PPP kemarin. Dimyati mengungkapkan, selama berada di KMP, PPP kurang mendapatkan peran, baik di parlemen maupun internal koalisi. “Kita tidak jelas dapat apa, posisi juga tidak jelas,” lanjutnya.
Namun, dia menegaskan bahwa kekecewaan pada KMP tersebut tidak berarti akan membuat PPP bergabung ke KIH. Menurutnya, apa pun keputusan soal arah koalisi bergantung putusan mukernas yang akan berakhir hari ini. Menurutnya, bergabung ke KIH juga tidak lebih menjanjikan. Itu terbukti pada kubu Romi yang juga tidak memperoleh apa-apa saat memutuskan mendukung pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi- JK).
Kubu Romi disebutnya sebatas mendukung tanpa mendapatkan peran apa pun di pemerintahan. Dengan posisi PPP tidak mendapatkan apa pun, Dimyati meminta kubu Romi untuk bersedia melakukan islah. “Jadi mudah-mudahan mereka (kubu Romi) juga segera introspeksi, sadar diri agar kita bersatu. Buat apa sih kita pecah, apa sih yang dicari?” ucapnya.
Dimyati menambahkan, sudah saatnya PPP saat ini bekerja membangun partai. Kepentingan yang selama ini digelayutkan oleh sekelompok orang sudah semestinya tidak dilanjutkan. “Sekarang ini kan ada kelompokkelompok yang ingin PPP dibawa ke sini, (KMP dan KIH) ke manamana. Ada pihak-pihak tertentu yang menginginkan sesuatu apakah itu jabatan, harta, takhta,” tuturnya.
Namun, pandangan Dimyati ini ditentang Ketua Majelis Pertimbangan PPP Suryadharma Ali (SDA) yang juga mantan ketua umum DPP PPP. SDA menegaskan posisi partainya tetap akan berada di KMP. “Pidato Ketua Umum Djan Faridz pada pembukaan mukernas tetap jadi rujukan, PPP tetap berada di dalam KMP,” katanya.
Namun, dia tidak menafikan kemungkinan akan terjadi perubahan, bergantung dinamika di mukernas ini. Perubahan haluan dan arah perjuangan partai dinilai hal yang memungkinkan terjadi. “Berubah bisa kalau hasil mukernas meminta kita ke KIH atau menjadi partai tengah,” sebutnya.
SDA membenarkan saat ini paradigma PPP memang mirip partai tengah yakni mendukung setiap program atau kebijakan yang baik untuk masyarakat dan siap mengkritisi bila program dan kebijakan itu menyengsarakan rakyat. “PPP berpegang pada prinsip amar maruf nahi munkar. Koalisi mana pun yang membawa kepada kebaikan dan memiliki keberpihakan yang kuat pada rakyat, di situlah PPP berada,” ungkapnya.
Pengamat politik dari Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahudin lebih menilai pernyataan Dimyati Natakusumah tersebut sebagai bentuk sindiran kepada Partai Demokrat. Partai yang dipimpin Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu dianggap bukan penghuni tetap KMP, namun bisa mendapatkan sejumlah keuntungan dari kebijakan KMP.
“Demokrat kan dianggap tidak loyal, tapi punya peran strategis di alat kelengkapan DPR. Ini bentuk sindiran bahwa sebetulnya PPP yang lebih loyal,” kata Said. Menurut Said, bila keinginan menjadi partai tengah untuk memudahkan tercipta islah dengan kubu Romi, itu sangat baik. Namun, alasan islah sangat disayangkan bila tidak diikuti kesiapan partai untuk menjadi penyeimbang.
“Demokrat berani bandel karena mereka merasa punya posisi yang strategis. Sementara PPP mungkin kurang dalam posisi tawarnya,” ucapnya. Said juga mengingatkan, untuk menjadi partai tengah, PPP membutuhkan konsistensi dalam setiap arah kebijakan partainya. “Harus menjadi partai yang idealis. Kalau tidak, justru islah yang dibuat tidak akan bertahan lama,” ungkapnya.
Dian ramdhani
Partai berlambang Kakbah ini akan membahas dan memutuskan arah koalisinya melalui Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) I PPP yang digelar di Jakarta, 10-12 Desember 2014. Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP PPP kubu Djan Faridz, Achmad Dimyati Natakusumah, mengatakan, keinginan menjadi penyeimbang tersebut didasari pada fakta bahwa PPP selama ini tidak mendapatkan posisi apa pun dengan bergabung di Koalisi Merah Putih (KMP).
Hal yang sama juga terjadi pada kubu Ketua Umum DPP PPP hasil Muktamar Surabaya Romahurmuziy (Romi) yang bergabung ke Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Salah satu penyebab PPP tidak diperhitungkan dan akhirnya tidak memperoleh posisi apa pun, kata dia, adalah perpecahan internal yang melanda partai.
Saat ini kubu Ketua Umum DPP Djan Faridz yang terpilih di Muktamar Jakarta dan kubu Romi yang terpilih di Muktamar Surabaya terus terlibat konflik berkepanjangan. Menyadari posisi yang tidak menguntungkan itu, PPP mempertimbangkan mengikuti posisi Partai Demokrat yang tidak memihak dua kubu koalisi.
“Apakah kita mungkin seperti Partai Demokrat, pimpinan DPR dan MPR dapat, alat kelengkapan, ketua komisi dapat. Kan kalau begitu, enak di tengah,” ucap Dimyati Natakusumah di sela-sela Mukernas PPP kemarin. Dimyati mengungkapkan, selama berada di KMP, PPP kurang mendapatkan peran, baik di parlemen maupun internal koalisi. “Kita tidak jelas dapat apa, posisi juga tidak jelas,” lanjutnya.
Namun, dia menegaskan bahwa kekecewaan pada KMP tersebut tidak berarti akan membuat PPP bergabung ke KIH. Menurutnya, apa pun keputusan soal arah koalisi bergantung putusan mukernas yang akan berakhir hari ini. Menurutnya, bergabung ke KIH juga tidak lebih menjanjikan. Itu terbukti pada kubu Romi yang juga tidak memperoleh apa-apa saat memutuskan mendukung pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi- JK).
Kubu Romi disebutnya sebatas mendukung tanpa mendapatkan peran apa pun di pemerintahan. Dengan posisi PPP tidak mendapatkan apa pun, Dimyati meminta kubu Romi untuk bersedia melakukan islah. “Jadi mudah-mudahan mereka (kubu Romi) juga segera introspeksi, sadar diri agar kita bersatu. Buat apa sih kita pecah, apa sih yang dicari?” ucapnya.
Dimyati menambahkan, sudah saatnya PPP saat ini bekerja membangun partai. Kepentingan yang selama ini digelayutkan oleh sekelompok orang sudah semestinya tidak dilanjutkan. “Sekarang ini kan ada kelompokkelompok yang ingin PPP dibawa ke sini, (KMP dan KIH) ke manamana. Ada pihak-pihak tertentu yang menginginkan sesuatu apakah itu jabatan, harta, takhta,” tuturnya.
Namun, pandangan Dimyati ini ditentang Ketua Majelis Pertimbangan PPP Suryadharma Ali (SDA) yang juga mantan ketua umum DPP PPP. SDA menegaskan posisi partainya tetap akan berada di KMP. “Pidato Ketua Umum Djan Faridz pada pembukaan mukernas tetap jadi rujukan, PPP tetap berada di dalam KMP,” katanya.
Namun, dia tidak menafikan kemungkinan akan terjadi perubahan, bergantung dinamika di mukernas ini. Perubahan haluan dan arah perjuangan partai dinilai hal yang memungkinkan terjadi. “Berubah bisa kalau hasil mukernas meminta kita ke KIH atau menjadi partai tengah,” sebutnya.
SDA membenarkan saat ini paradigma PPP memang mirip partai tengah yakni mendukung setiap program atau kebijakan yang baik untuk masyarakat dan siap mengkritisi bila program dan kebijakan itu menyengsarakan rakyat. “PPP berpegang pada prinsip amar maruf nahi munkar. Koalisi mana pun yang membawa kepada kebaikan dan memiliki keberpihakan yang kuat pada rakyat, di situlah PPP berada,” ungkapnya.
Pengamat politik dari Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahudin lebih menilai pernyataan Dimyati Natakusumah tersebut sebagai bentuk sindiran kepada Partai Demokrat. Partai yang dipimpin Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu dianggap bukan penghuni tetap KMP, namun bisa mendapatkan sejumlah keuntungan dari kebijakan KMP.
“Demokrat kan dianggap tidak loyal, tapi punya peran strategis di alat kelengkapan DPR. Ini bentuk sindiran bahwa sebetulnya PPP yang lebih loyal,” kata Said. Menurut Said, bila keinginan menjadi partai tengah untuk memudahkan tercipta islah dengan kubu Romi, itu sangat baik. Namun, alasan islah sangat disayangkan bila tidak diikuti kesiapan partai untuk menjadi penyeimbang.
“Demokrat berani bandel karena mereka merasa punya posisi yang strategis. Sementara PPP mungkin kurang dalam posisi tawarnya,” ucapnya. Said juga mengingatkan, untuk menjadi partai tengah, PPP membutuhkan konsistensi dalam setiap arah kebijakan partainya. “Harus menjadi partai yang idealis. Kalau tidak, justru islah yang dibuat tidak akan bertahan lama,” ungkapnya.
Dian ramdhani
(bbg)