Pilkada Serentak 2015 Bakal Bertambah
A
A
A
JAKARTA - Jumlah penyelenggaraan pemilu kepala daerah (pilkada) serentak yang mulai digelar 2015 akan bertambah. Banyak kepala daerah yang masa jabatannya habis pada 2016 juga mengajukan pergantian pada 2015.
“Saya menerima puluhan surat yang masa jabatannya habis 2016. Terutama yang habis Januari, Februari, Maret, dan April. Mereka mengajukan permohonan agar digabung di pilkada serentak 2015,” sebut Direktur Jenderal (Dirjen) Otonomi Daerah (Otda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Djohermansyah Djohan di Kemendagri kemarin.
Djohermansyah mengatakan, seharusnya kepala daerah yang habis masa jabatannya pada 2016, pilkadanya akan dilaksanakan pada 2018. Di interval waktu 2016-2018 jabatan kepala daerah akan diisi penjabat (Pj). “Pilkada 2015 ada 204 daerah. Lalu Pilkada 2018 itu 285 daerah. Baru serentak secara nasional pada 2020,” ungkapnya.
Dia menilai permintaan untuk digabung bukan karena lamanya Pj menjabat. Namun, itu terkait petahana yang ingin mencalonkan lagi. “Ini soal petahana yang baru satu kali periode dan mau maju lagi atau ada wakil yang mau naik karena petahana sudah dua kali. Kalau menunggu Pilkada 2018 kan hilang kontak dengan publik sehingga dia bisa kehilangan popularitas dan pendukung,” katanya.
Kepala daerah yang mengajukan usulan tersebut di antaranya Kota Bitung, Kota Batam, dan Kabupaten Siak. Pada 2016 terdapat 100 daerah yang masa jabatan kepala daerahnya habis. “Ada dua puluhan lebih. Kabupaten Merauke masih konsultasi. Ini contoh saja,” ujarnya.
Usulan ini memiliki kendala yang harus dihadapi jika ingin pilkada digabungkan. Hal ini terkait Peraturan Presiden Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1/2014 Pasal 201 ayat 2 yang mengatur kepala daerah yang habis masa jabatannya 2016 dilakukan pada Pilkada 2018. “Isinya pemungutan suara serentak dalam pemilihan gubernur, bupati/wali kota yang berakhir pada 2016, 2017, dan 2018 dilaksanakan pada hari dan bulan yang sama pada 2018,” kata dia.
Dia menambahkan, ada konsekuensi yang harus ditanggung ketika kepala daerah ingin dimajukan menjadi 2015 yakni terkait masa jabatannya. Misalnya saja masa jabatan habis pada April 2016, artinya harus merelakan empat bulan masa jabatan kepada kepala daerah baru.
“Kan kalau gabung 2015 itu, pada Desember dilantik. Kalau menang, kan tentu tidak masalah. Tetapi, kalau tidak menang, kan empat bulan harus direlakan kepada kepala daerah terpilih. Dulu kita tidak munculkan karena takut banyak penolakan,” ungkapnya.
Meski begitu, dia tetap memahami dan menangkap aspirasi para kepala daerah. Karena itu, dia akan melakukan kajian dan pendalaman terhadap usulan tersebut. “Kita juga harus pelajari dulu. Kita akan melakukan pertemuan-pertemuan dulu. Yang sudah mau ini. Yang belum menyurat kita koordinasikan dulu,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng menilai, pemerintah tidak perlu mengakomodasi keinginan kepala daerah tersebut. Menurut dia, pemerintah melaksanakan pilkada sebagaimana ketentuan di dalam perppu. “Sesuai dengan perppu saja, 2015 sudah cukup tidak perlu ditambah lagi,” katanya.
Dia menilai pilkada serentak yang masif dilakukan ini eksperimen pertama. Itu akan lebih baik digelar sebagaimana yang diatur yakni pilkada serentak bagi 204 daerah. “Terus terang ini masa belajar. Cukup begini saja. Jangan ditarik, nanti malah tidak benar. Jelas dari segi teknis sulit. Yang 204 harus dibuat berhasil,” kata dia.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai pelaksanaan Pilkada 2015 belum mencerminkan semangat efektivitas dan efisiensi. Pilkada yang digelar 204 daerah itu belum memenuhi syarat keserentakan karena digelar tidak bersama dalam satu wilayah antara provinsi, kabupaten, atau kota.
“Saya kira keserentakan itu akan menemui makna yang lebih baik efektif apabila antara provinsi dan kabupaten/kota serentak. Kalau hanya di satu kabupaten/kota di satu provinsi, dampaknya tidak terlalu bisa dirasakan,” ungkap Titi. Menurut Titi, saat ini baru ada delapan provinsi yang ikut dalam pelaksanaan pilkada serentak. Kabupaten ada 170 wilayah, sedangkan kota ada 26 daerah.
Dita angga/Dian ramdhani
“Saya menerima puluhan surat yang masa jabatannya habis 2016. Terutama yang habis Januari, Februari, Maret, dan April. Mereka mengajukan permohonan agar digabung di pilkada serentak 2015,” sebut Direktur Jenderal (Dirjen) Otonomi Daerah (Otda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Djohermansyah Djohan di Kemendagri kemarin.
Djohermansyah mengatakan, seharusnya kepala daerah yang habis masa jabatannya pada 2016, pilkadanya akan dilaksanakan pada 2018. Di interval waktu 2016-2018 jabatan kepala daerah akan diisi penjabat (Pj). “Pilkada 2015 ada 204 daerah. Lalu Pilkada 2018 itu 285 daerah. Baru serentak secara nasional pada 2020,” ungkapnya.
Dia menilai permintaan untuk digabung bukan karena lamanya Pj menjabat. Namun, itu terkait petahana yang ingin mencalonkan lagi. “Ini soal petahana yang baru satu kali periode dan mau maju lagi atau ada wakil yang mau naik karena petahana sudah dua kali. Kalau menunggu Pilkada 2018 kan hilang kontak dengan publik sehingga dia bisa kehilangan popularitas dan pendukung,” katanya.
Kepala daerah yang mengajukan usulan tersebut di antaranya Kota Bitung, Kota Batam, dan Kabupaten Siak. Pada 2016 terdapat 100 daerah yang masa jabatan kepala daerahnya habis. “Ada dua puluhan lebih. Kabupaten Merauke masih konsultasi. Ini contoh saja,” ujarnya.
Usulan ini memiliki kendala yang harus dihadapi jika ingin pilkada digabungkan. Hal ini terkait Peraturan Presiden Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1/2014 Pasal 201 ayat 2 yang mengatur kepala daerah yang habis masa jabatannya 2016 dilakukan pada Pilkada 2018. “Isinya pemungutan suara serentak dalam pemilihan gubernur, bupati/wali kota yang berakhir pada 2016, 2017, dan 2018 dilaksanakan pada hari dan bulan yang sama pada 2018,” kata dia.
Dia menambahkan, ada konsekuensi yang harus ditanggung ketika kepala daerah ingin dimajukan menjadi 2015 yakni terkait masa jabatannya. Misalnya saja masa jabatan habis pada April 2016, artinya harus merelakan empat bulan masa jabatan kepada kepala daerah baru.
“Kan kalau gabung 2015 itu, pada Desember dilantik. Kalau menang, kan tentu tidak masalah. Tetapi, kalau tidak menang, kan empat bulan harus direlakan kepada kepala daerah terpilih. Dulu kita tidak munculkan karena takut banyak penolakan,” ungkapnya.
Meski begitu, dia tetap memahami dan menangkap aspirasi para kepala daerah. Karena itu, dia akan melakukan kajian dan pendalaman terhadap usulan tersebut. “Kita juga harus pelajari dulu. Kita akan melakukan pertemuan-pertemuan dulu. Yang sudah mau ini. Yang belum menyurat kita koordinasikan dulu,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng menilai, pemerintah tidak perlu mengakomodasi keinginan kepala daerah tersebut. Menurut dia, pemerintah melaksanakan pilkada sebagaimana ketentuan di dalam perppu. “Sesuai dengan perppu saja, 2015 sudah cukup tidak perlu ditambah lagi,” katanya.
Dia menilai pilkada serentak yang masif dilakukan ini eksperimen pertama. Itu akan lebih baik digelar sebagaimana yang diatur yakni pilkada serentak bagi 204 daerah. “Terus terang ini masa belajar. Cukup begini saja. Jangan ditarik, nanti malah tidak benar. Jelas dari segi teknis sulit. Yang 204 harus dibuat berhasil,” kata dia.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai pelaksanaan Pilkada 2015 belum mencerminkan semangat efektivitas dan efisiensi. Pilkada yang digelar 204 daerah itu belum memenuhi syarat keserentakan karena digelar tidak bersama dalam satu wilayah antara provinsi, kabupaten, atau kota.
“Saya kira keserentakan itu akan menemui makna yang lebih baik efektif apabila antara provinsi dan kabupaten/kota serentak. Kalau hanya di satu kabupaten/kota di satu provinsi, dampaknya tidak terlalu bisa dirasakan,” ungkap Titi. Menurut Titi, saat ini baru ada delapan provinsi yang ikut dalam pelaksanaan pilkada serentak. Kabupaten ada 170 wilayah, sedangkan kota ada 26 daerah.
Dita angga/Dian ramdhani
(bbg)