Provokasi Tawuran melalui Media Sosial
A
A
A
JAKARTA - Provokasi untuk melakukan tawuran saat ini sudah semakin canggih dengan menggunakan jejaring media sosial. Para pelaku tawuran dapat melakukan aksinya kapan dan di mana saja.
Tawuran antarpelajar, misalnya. Biasanya mereka merencanakan aksi tawuran melalui media sosial atau internet. Dengan mengunggah sebuah pernyataan atau gambar bernada provokasi banyak orang terpengaruh.
“Tidak hanya orang Jakarta, tapi sedunia bisa melihat apa yang ditulis. Jadi bisa memengaruhi mindset orang banyak,” ujar Kasubdit Cyber Crime Ditreskrim Polda Metro Jaya AKBP Hilarius Duha saat memberikan materi untuk perwakilan 207 sekolah tingkat SMA dan SMK se-Jakarta Selatan kemarin. Menurut dia, saat ini pengaruh dunia maya, terutama internet, sangat dahsyat.
Selain sudah ada posko pencegahan tawuran terpadu secara fisik, perlu juga posko terpadu dunia maya dengan menempatkan guru, kepolisian, siswa, serta pihak yang mengerti internet. Kapolres Jakarta Selatan Kombes Pol Wahyu Hadiningrat mengatakan, aksi tawuran yang dikomandoi via media sosial kerap sulit diprediksi karena tidak terdeteksi dan tak bisa ditindaklanjuti dengan cepat.
“Mereka bisa melakukannya tengah malam, jadi bukan selesai sekolah. Maka itu, guruguru atau siapa pun yang mendapatkan informasi, terutama melalui jejaring sosial, harus menindaklanjutinya dengan cepat untuk mengantisipasi tawuran,” ucapnya.
Salah satu aksi tawuran antarpelajar akibat provokasi melalui jejaring sosial itu melibatkan siswa SMAN 60 Jakarta dan SMAN 109 Jakarta. Dalam kejadian tersebut, siswa SMAN 109 bernama Andi Audi Pratama tewas. Polisi menetapkan lima siswa SMAN 60 sebagai tersangka.
Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) DKI Jakarta Lasro Marbun mengungkapkan, penggunaan jejaring sosial menggunakan smartphone oleh kalangan pelajar tidak dapat ditolak atau dikesampingkan. Agar kehadiran teknologi canggih ini tidak disalahgunakan, dinasnya mengedepankan kinerja seluruh unsur tenaga pendidik untuk mengawasi dan membina para pelajardemimeningkatkanintegritas diri dan bangsa.
“Langkahnya cuma pendekatan sosial dari hati ke hati,” katanya. Selain itu, pihak sekolah menertibkan kelompok-kelompok yang menganut paham kekerasan. Para siswa lebih banyak diajak untuk kegiatan yang mengasah pribadi maupun nurani. Dengan cara seperti itu siswa memiliki gambaran mau seperti apa mereka ke depan.
Pakarteknologiinformasi (TI) dari Institut Teknologi Bandung Khairul Ummah menuturkan, provokasi tawuran melalui dunia maya jangan langsung direspons bahwa seruan tersebut disetujui. Hendaknya media sosial dimanfaatkan oleh kalangan pelajar untukberbagiatau sharing hal-hal positif.
“Misalnya ada korban bullying atau korban lain, termasuk tawuran, bisa saling berbagi, dan dapat menghindari aksi tawuran,” ujarnya. Psikolog dari Universitas Indonesia, Enoch Markum, menilai penanganan yang tidak tepat berakibat pada tak pernah selesainya masalah tawuran hingga kini. Walaupun sudah dilakukan upaya preventif hingga tindakan tegas, tetap saja kasus ini terus terjadi bahkan terus memakan korban jiwa.
“Tawuran merupakan kasus lama dan bukan masalah individual, tetapi kelompok. Dalam tawuran ada identitas kelompok yang harus dipertahankan sehingga pelajar kerap nekat,” ujarnya. Menurut dia, maraknya tawuran karena minimnya ruang publik sehingga anak muda tidak memiliki wadah untuk berekspresi.
Akhirnya mereka menyalurkanenergimerekadengancara mereka sendiri. Untuk mengatasi aksi tawuran sebenarnya sederhana. Antara pihak sekolah dan polisi diimbau menjaga secara rutin selama enam bulan di lokasi rawan tawuran. Dengan demikian pelajar akan sangat sulit berkelahi dan dapat merasakan dampak positifnya.
Helmi syarif/Ilham safutra/R Rratna purnama
Tawuran antarpelajar, misalnya. Biasanya mereka merencanakan aksi tawuran melalui media sosial atau internet. Dengan mengunggah sebuah pernyataan atau gambar bernada provokasi banyak orang terpengaruh.
“Tidak hanya orang Jakarta, tapi sedunia bisa melihat apa yang ditulis. Jadi bisa memengaruhi mindset orang banyak,” ujar Kasubdit Cyber Crime Ditreskrim Polda Metro Jaya AKBP Hilarius Duha saat memberikan materi untuk perwakilan 207 sekolah tingkat SMA dan SMK se-Jakarta Selatan kemarin. Menurut dia, saat ini pengaruh dunia maya, terutama internet, sangat dahsyat.
Selain sudah ada posko pencegahan tawuran terpadu secara fisik, perlu juga posko terpadu dunia maya dengan menempatkan guru, kepolisian, siswa, serta pihak yang mengerti internet. Kapolres Jakarta Selatan Kombes Pol Wahyu Hadiningrat mengatakan, aksi tawuran yang dikomandoi via media sosial kerap sulit diprediksi karena tidak terdeteksi dan tak bisa ditindaklanjuti dengan cepat.
“Mereka bisa melakukannya tengah malam, jadi bukan selesai sekolah. Maka itu, guruguru atau siapa pun yang mendapatkan informasi, terutama melalui jejaring sosial, harus menindaklanjutinya dengan cepat untuk mengantisipasi tawuran,” ucapnya.
Salah satu aksi tawuran antarpelajar akibat provokasi melalui jejaring sosial itu melibatkan siswa SMAN 60 Jakarta dan SMAN 109 Jakarta. Dalam kejadian tersebut, siswa SMAN 109 bernama Andi Audi Pratama tewas. Polisi menetapkan lima siswa SMAN 60 sebagai tersangka.
Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) DKI Jakarta Lasro Marbun mengungkapkan, penggunaan jejaring sosial menggunakan smartphone oleh kalangan pelajar tidak dapat ditolak atau dikesampingkan. Agar kehadiran teknologi canggih ini tidak disalahgunakan, dinasnya mengedepankan kinerja seluruh unsur tenaga pendidik untuk mengawasi dan membina para pelajardemimeningkatkanintegritas diri dan bangsa.
“Langkahnya cuma pendekatan sosial dari hati ke hati,” katanya. Selain itu, pihak sekolah menertibkan kelompok-kelompok yang menganut paham kekerasan. Para siswa lebih banyak diajak untuk kegiatan yang mengasah pribadi maupun nurani. Dengan cara seperti itu siswa memiliki gambaran mau seperti apa mereka ke depan.
Pakarteknologiinformasi (TI) dari Institut Teknologi Bandung Khairul Ummah menuturkan, provokasi tawuran melalui dunia maya jangan langsung direspons bahwa seruan tersebut disetujui. Hendaknya media sosial dimanfaatkan oleh kalangan pelajar untukberbagiatau sharing hal-hal positif.
“Misalnya ada korban bullying atau korban lain, termasuk tawuran, bisa saling berbagi, dan dapat menghindari aksi tawuran,” ujarnya. Psikolog dari Universitas Indonesia, Enoch Markum, menilai penanganan yang tidak tepat berakibat pada tak pernah selesainya masalah tawuran hingga kini. Walaupun sudah dilakukan upaya preventif hingga tindakan tegas, tetap saja kasus ini terus terjadi bahkan terus memakan korban jiwa.
“Tawuran merupakan kasus lama dan bukan masalah individual, tetapi kelompok. Dalam tawuran ada identitas kelompok yang harus dipertahankan sehingga pelajar kerap nekat,” ujarnya. Menurut dia, maraknya tawuran karena minimnya ruang publik sehingga anak muda tidak memiliki wadah untuk berekspresi.
Akhirnya mereka menyalurkanenergimerekadengancara mereka sendiri. Untuk mengatasi aksi tawuran sebenarnya sederhana. Antara pihak sekolah dan polisi diimbau menjaga secara rutin selama enam bulan di lokasi rawan tawuran. Dengan demikian pelajar akan sangat sulit berkelahi dan dapat merasakan dampak positifnya.
Helmi syarif/Ilham safutra/R Rratna purnama
(bbg)