Kepala Daerah dan DPRD Terancam Tak Terima Gaji
A
A
A
JAKARTA - Kepala daerah dan anggota DPRD terancam tidak akan menerima gaji jika pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) belum disahkan hingga akhir tahun.
“Jika sampai 31 Desember ada daerah yang tak juga menetapkan Raperda APBD, sanksinya jelas yakni tidak diberikan hak-hak keuangannya selama enam bulan,” kata Direktur Jenderal (Dirjen) Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Reydonnyzar Moenek di Kantor Kemendagri, Jakarta, kemarin.
Hak-hak keuangan yang melekat kepada kepala daerah, wakil kepala daerah, dan anggota DPRD itu menyangkut gaji pokok, tunjangan jabatan, dantunjangan lain-lain. Ini berlaku untuk daerah provinsi dan kabupaten/kota. Menurut Reydonnyzar, aturan tegas ini tercantum di dalam Undang-Undang (UU) Nomor 23/2014 tentang Pemerintah Daerah (Pemda).
Dia menjelaskan, pada UU 23/2014 Pasal 312 ayat 2 jelas disebutkan DPRD dan kepala daerah yang tidak menyetujui bersama Raperda tentang APBD sebelum dimulai tahun anggaran setiap tahun dikenai sanksi administratif berupa tidak dibayarkan hak-hak keuangannya. Tetapi, sanksi tersebut tidak akan berlaku bagi DPRD jika keterlambatan itu disebabkan kepala daerah yang memang telat menyampaikan raperda kepada DPRD.
Ini disebutkan di dalam Pasal 312 ayat 3. Kemendagri telah memberikan peringatan kepada sejumlah daerah melalui Surat Edaran (SE) Nomor 903/6865/SJ pada 24 November. Di dalam surat edaran tersebut, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo meminta kepala daerah mempercepat penyelesaian Raperda APBD 2015. Penyelesaian Raperda APBD ini sesuai ketentuan Pasal 312 ayat 1 UU 23/2014 dan 45 ayat 1 PP 58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Dia menegaskan tidak ada toleransi apa pun terkait aturan ini. Apa pun alasannya, jika APBD molor ditetapkan, kepala daerah dan DPRD akan menerima sanksi. “Regulasi tidak mengenal toleransi. Tidak mengenal dinamika,” ujarnya. Hingga Desember ini baru 18 provinsi yang menyelesaikan Raperda APBD yakni Lampung, Nusa Tenggara Barat, Jambi, Sumatera Utara, Kalimantan Selatan, Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Papua, dan Gorontalo.
Daerah lain yang juga selesai yakni Jawa Timur, Bali, Kalimantan Utara, Bangka Belitung, Sulawesi Utara, Banten, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dan Jawa Tengah. Tahun sebelumnya sanksi keterlambatan penetapan APBD hanya berupa penahanan dana alokasi umum (DAU). Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng menilai, sanksi tersebut cukup baik jika diterapkan secara konsisten.
Dia meminta itu tidak hanya keras di atas kertas, tapi lemah dalam implementasi. Dia berharap sanksi ini dapat memberikan efek jera bagi daerah yang teledor menetapkan APBD.
“Tapi, apakah sanksi ini akan benar dilaksanakan, itu yang menjadi pertanyaan. Jika 200 daerah yang melampaui batas waktu akhir tahun, apakah seluruhnya dikenakan sanksi semua? Kita tunggu saja,” ucapnya.
Dita angga
“Jika sampai 31 Desember ada daerah yang tak juga menetapkan Raperda APBD, sanksinya jelas yakni tidak diberikan hak-hak keuangannya selama enam bulan,” kata Direktur Jenderal (Dirjen) Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Reydonnyzar Moenek di Kantor Kemendagri, Jakarta, kemarin.
Hak-hak keuangan yang melekat kepada kepala daerah, wakil kepala daerah, dan anggota DPRD itu menyangkut gaji pokok, tunjangan jabatan, dantunjangan lain-lain. Ini berlaku untuk daerah provinsi dan kabupaten/kota. Menurut Reydonnyzar, aturan tegas ini tercantum di dalam Undang-Undang (UU) Nomor 23/2014 tentang Pemerintah Daerah (Pemda).
Dia menjelaskan, pada UU 23/2014 Pasal 312 ayat 2 jelas disebutkan DPRD dan kepala daerah yang tidak menyetujui bersama Raperda tentang APBD sebelum dimulai tahun anggaran setiap tahun dikenai sanksi administratif berupa tidak dibayarkan hak-hak keuangannya. Tetapi, sanksi tersebut tidak akan berlaku bagi DPRD jika keterlambatan itu disebabkan kepala daerah yang memang telat menyampaikan raperda kepada DPRD.
Ini disebutkan di dalam Pasal 312 ayat 3. Kemendagri telah memberikan peringatan kepada sejumlah daerah melalui Surat Edaran (SE) Nomor 903/6865/SJ pada 24 November. Di dalam surat edaran tersebut, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo meminta kepala daerah mempercepat penyelesaian Raperda APBD 2015. Penyelesaian Raperda APBD ini sesuai ketentuan Pasal 312 ayat 1 UU 23/2014 dan 45 ayat 1 PP 58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Dia menegaskan tidak ada toleransi apa pun terkait aturan ini. Apa pun alasannya, jika APBD molor ditetapkan, kepala daerah dan DPRD akan menerima sanksi. “Regulasi tidak mengenal toleransi. Tidak mengenal dinamika,” ujarnya. Hingga Desember ini baru 18 provinsi yang menyelesaikan Raperda APBD yakni Lampung, Nusa Tenggara Barat, Jambi, Sumatera Utara, Kalimantan Selatan, Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Papua, dan Gorontalo.
Daerah lain yang juga selesai yakni Jawa Timur, Bali, Kalimantan Utara, Bangka Belitung, Sulawesi Utara, Banten, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dan Jawa Tengah. Tahun sebelumnya sanksi keterlambatan penetapan APBD hanya berupa penahanan dana alokasi umum (DAU). Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng menilai, sanksi tersebut cukup baik jika diterapkan secara konsisten.
Dia meminta itu tidak hanya keras di atas kertas, tapi lemah dalam implementasi. Dia berharap sanksi ini dapat memberikan efek jera bagi daerah yang teledor menetapkan APBD.
“Tapi, apakah sanksi ini akan benar dilaksanakan, itu yang menjadi pertanyaan. Jika 200 daerah yang melampaui batas waktu akhir tahun, apakah seluruhnya dikenakan sanksi semua? Kita tunggu saja,” ucapnya.
Dita angga
(ars)