Kebijakan Transportasi di DKI Tak Fokus

Kamis, 04 Desember 2014 - 12:43 WIB
Kebijakan Transportasi...
Kebijakan Transportasi di DKI Tak Fokus
A A A
JAKARTA - Berbagai kebijakan transportasi makro di DKI Jakarta dinilai tidak fokus dalam menyelesaikan sebuah permasalahan. Artinya belum terlihat keberhasilan satu kebijakan atau program, Pemprov DKI sudah menjalankan kebijakan lainnya.

Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta terkadang melupakan evaluasi menyeluruh dari kebijakan yang diterapkan di lapangan.

”Selama ini Dishub enggan melaporkan keberhasilan dari sebuah kebijakan. Mereka mengatakan efektif, tapi kenyataan di lapangan belum terlihat. Kalau memang merasa berhasil, katakan berikut dengan fakta dan indikasi keberhasilan tersebut,” ujar pengamat transportasi dan perkotaan Universitas Trisakti Yayat Supriatna kemarin. Menurut dia, yang terjadi pemprov kerap mempertontonkan wacana tanpa perubahan signifikan.

Padahal, masyarakat menginginkan Jakarta yang lebih baik lagi terutama pada sektor transportasi makro. Beberapa kebijakan transportasi publik yang dilakukan Pemprov DKI, berupa operasi cabut pentil dan derek parkir liar dengan denda maksimal saat ini dianggap belum efektif dan berhasil. Pasalnya, titik-titik parkir liar yang telah ditertibkan kembali menjamur, seperti di kawasan Gajah Mada- Hayam Wuruk; kawasan Puri Kembangan, Jakarta Barat; Jatinegara, Kampung Melayu, dan masih banyak lokasi parkir liar yang menggeliat lagi.

Begitu juga dengan kebijakan parkir meter di Jalan Agus Salim (Sabang), Jakarta Pusat, di mana ketika malam berubah fungsi menjadi tempat berdagang. Penerapan sistem pembayaran dengan e-money yang dianggap mampu mengatasi kehabisan koin hingga kini belum diterapkan. Kebijakan lainnya yang masih berjalan dan tidak jelas evaluasinya yakni penerapan electronic road pricing (ERP) di kawasan Sudirman dan Kuningan.

Akibatnya, kebijakan three in one masih digunakan dan terus dibanjiri para joki meski sering kali dirazia. Terobosan terbaru dari Pemprov DKI yaitu pelarangan sepeda motor melintasi Jalan MH Thamrin hingga Medan Merdeka Barat pada 17 Desember mendatang. Menurut Yayat, berbagai kebijakan dari Dishub DKI tersebut harus ditegakkan aturan dan sanksinya agar masyarakat jera.

Karena itu, Dishub harus terus menggandeng pihak kepolisian. ”Bandingkan saja Operasi Zebra Jaya dengan operasi cabut pentil. Dalam Operasi Zebra, banyak masyarakat takut melanggar, sedangkan untuk operasi cabut pentil masyarakat masih tetap nekat memarkirkan kendaraannya,” ujarnya.

Anggota DPRD DKI Jakarta Selamat Nurdin menuturkan bahwa kebijakan yang dibuat pemprov dalam hal ini transportasi makro memang belum jelas, sehingga semua kebijakan terkesan tiba-tiba dan tidak bermanfaat. ”Harusnya ada perencanaan terintegrasi dan konsisten, adabataswaktu,” ucapnya.

Menurut dia, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) saat ini sudah bukan saatnya untuk menunjukkan pencitraan. Ahok harus melakukan evaluasi terkait berbagai kebijakan transportasi, mulai persiapan hingga hasil yang didapat. Dia menyarankan Ahok dan Dishub DKI sebelum menjalankan kebijakan, berembuk bareng terlebih dahulu dengan anggota DPRD. Seperti dalam kebijakan larangan motor melewati Jalan MH Thamrin-Medan Merdeka Barat.

Bila tujuannya mengurangi kecelakaan, kenapa bukan diterapkan di pinggirpinggir kota yang jelas banyak kecelakaan. Kemudian, apakah bus tingkatnya sudah siap, lalu bagaimana dengan lahan parkir yang tidak difasilitasi. Bagaimana ketentuan untuk pengendara motor jasa kurir. Menanggapi itu, Kepala Bidang Pengendalian dan Operasional Dishub DKI Jakarta Syafrin Liputo membantah semua kebijakan transportasi tidak efektif dan terkesan dadakan.

Pasalnya, seluruh kebijakan yang diterapkan mulai dari pembatasan kendaraan melalui three in one, kemudian derek parkir, parkir meter hingga pelarangan roda dua, itu sudah masuk perencanaan transportasi makro 2004. Dalam olah transportasi makro tersebut ada tiga strategi. Pertama, pengembangan angkutan umum, mass rapid transit (MRT), LRT, termasuk busway .

Kedua, pembatasan kendaraan melalui three in one, pelarangan sepeda motor di kawasan Semanggi, di Jalan Layang Nontol Antasari dan di Kampung Melayu- Tanah Abang serta seluruh jalan protokol pada 2015. ”Kebijakan Pemprov DKI sudah masuk olah transportasi makro. Artinya seluruh kebijakan harus sampai tahap implementasi. Tidak ada yang datang tiba-tiba dan semua sudah terencana baik,” tandasnya.

Pihaknya juga mengklaim semua kebijakan berjalan efektif, misalnya derek parkir liar. Sejak 8 September hingga Selasa (2/12), sedikitnya 929 kendaraan diderek dengan biaya retribusi sebesar Rp489 juta. Begitu juga dengan parkir meter di mana dalam sehari mampu meraup pemasukan Rp5-6 juta dari sebelum diberlakukan parkir meter hanya Rp700.000.

Hanya, dalam evaluasi kebijakan tersebut, pihaknya kerap mengalami kendala, salah satunya keterbatasan sumber daya manusia dan peralatan.

Bima setiyadi
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1025 seconds (0.1#10.140)