Mengapa Prasetyo?
A
A
A
REZA INDRAGIRI AMRIEL
Psikolog Forensik,
Alumnus The University of Melbourne,
Terlibat dalam Berbagai Program Reformasi Yudisial
Pengangkatan M Prasetyo sebagai jaksa agung masih memancing polemik panjang. Kebanyakan kritik mempermasalahkan latar belakang Prasetyo sebagai seorang politisi, tepatnya politisi Partai Nasional Demokrat (NasDem). Beriringan dengan itu adalah penilaian tentang minimnya prestasi Prasetyo selama bekerja sebagai seorang jaksa karier.
Attitudinal Model
Mustahil penegak hukum mampu bekerja dengan berlandaskan semata-mata pada landasan hukum. Alihalih, penegak hukum sangat dipengaruhi oleh preferensi ideologisnya saat membuat putusan. Makna attitudinal model sedemikian rupa memang ditelurkan dari berbagai riset tentang bagaimana hakim membuat putusan hukum. Namun, menganalogikan kerja jaksa yang hingga derajat tertentu memiliki kemiripan dengan kerja hakim, boleh jadi attitudinal model juga bisa diterapkan guna memahami perilaku jaksa.
Attitudinal model , sebagai salah satu manifestasi new legal empiricism, merupakan tandingan terhadap legal model . Para ilmuwan yang berada pada mazhab new legal empiricism menaruh skeptisisme mendalam terhadap serbaneka doktrin yang mengesankan penegak hukum sebagai sosok yang mampu menepis pengaruh-pengaruh ekstralegal terhadap kerja legal mereka.
Kajian-kajian new legal empiricism membuktikan bahwa justru unsurunsur subjektivitas penegak hukum yang bermain sangat dominan di dalam proses kognitif penegak hukum, yang pada akhirnya memengaruhi ragam putusan yang para punggawa hukum itu hasilkan. Dengan attitudinal model, bisa dipahami bahwa latar belakang Prasetyo sebagai politisi sangat mungkin diwarnai ideologi kepartaiannya. Ideologi kepartaian NasDem itulah, yang mengacu pada attitudinal model, berkelindan dengan ideologi hukum Presiden Jokowi.
Kecocokan ideologis sedemikian rupa menjadi alasan di balik keputusan Jokowi menunjuk Prasetyo sebagai pucuk pimpinan korps adhiyaksa. Pada sisi lain, attitudinal model menjadi dasar argumentatif bagi kekhawatiran bahwa ideologi kepartaian akan menjadikan Prasetyo sebagai sosok partisan sesuatu yang diharamkan bagi penegak hukum. Sepintas lalu kerisauan macam itu masuk akal.
Tetapi, apabila cermatan dilakukan terhadap program-program hukum Partai NasDem, sebagaimana uraian Taufik Basari selaku ketua bidang hukum, advokasi, dan HAM partai tersebut pada laman hukumonline, kegundahan sebagian kalangan akan figur Prasetyo tampak berlebihan.
Dari sekian banyak fokus program Partai NasDem, terdapat tiga area yang paling berhubungan dengan lembaga kejaksaan agung yakni pemberantasan korupsi, revisi legislasi terkait hak asasi manusia, dan revisi KUHAP. Pada ketiga bidang tersebut, posisi Partai NasDem tidak memperlihatkan sesuatu yang baru apalagi orisinal.
Hanya pada bidang pemberantasan korupsi, Partai NasDem terlihat bertentangan dengan arus utama opini publik. Ketika sebagian besar masyarakat masih menginginkan KPK berkonsentrasi pada kerja penindakan, Partai NasDem papar Taufik memandang lembaga antirasuah tersebut lebih tepat mengkhususkan diri pada kerja preventif.
Betapa pun demikian, secara umum dapat dikatakan bahwa banyak pihak, baik parpol maupun bukan parpol, yang telah lebih dahulu menunjukkan perhatian pada tiga area program hukum Partai NasDem tersebut. Tambahan lagi, penegasan Taufik Basari bahwa Partai NasDem bertekad menegakkan Pancasila dan UUD 1945 (disertai upaya amendemen) semakin mengunci NasDem sebagai parpol yang katakanlah ideal normatif dan steril dari ideologi-ideologi lain.
Strategic Model
Alih-alih mempersoalkan kemungkinan campur tangan ideologi kepartaian terhadap kerjanya selaku jaksa agung, pertanyaan khalayak luas akan kapasitas dan integritas Prasetyo hemat saya justru lebih tepat jika didasarkan pada strategic model . Menurut model ini, penegak hukum mempertimbangkan matang-matang dampak putusan yang dihasilkannya.
Baik dampak pada tataran makro (hingga level nasional) maupun mikro (kepentingan personal si penegak hukum). Berbeda dengan attitudinal model yang memandang unsurunsur fundamental (ideologi, keyakinan/belief) sebagai pengintervensi kerja penegak hukum, strategic model justru meyakini bahwa langkah atau program penegak hukum sangat ditentukan oleh orientasi jangka pendek, lebih superfisial, dan berbasis pada pemikiran (kognitif) semata.
Logika penegak hukum bukan lagi berdasarkan pada tafsiran ideologis akan kebenaran dan keadilan, melainkan pada seberapa jauh kerja yang ia tampilkan dapat mengamankan kepentingan tertentu sekaligus mengeliminasi kepentingan pihak lain.
Pada tujuan strategis itulah terarah kecemasan bahwa Prasetyo akan memfungsikan jabatan jaksa agung sebagai instrumen politik, namun tetap dengan dalih hukum, untuk meremukkan pihak-pihak yang berseberangan dengan kepentingan makro dan mikro tadi. Filter Prasetyo untuk menangkal intervensi-intervensi nonhukum tersebut tampaknya tidak cukup kuat.
Pertama, dari sisi pribadi, Prasetyo tidak terekam dalam catatan publik sebagai individu penegak hukum dengan marwah istimewa. Kedua , dari sisi latar organisasi kejaksaan, karier Prasetyo dirintis dan dibangun dalam sebuah institusi hukum yang dinilai masih harus melakukan reformasi besar terhadap sistem dan kultur kelembagaannya. Juga, dari sisi latar organisasi kepartaian, NasDem sebagai parpol belia belum cukup kokoh menata orientasi dan implementasi fokus kerja hukumnya.
Lalu
Berhadapan dengan kritisi publik, Presiden Jokowi sepatutnya memberikan penjelasan substantif dan terbuka mengenai pertimbangan-pertimbangannya dalam memilih Prasetyo selaku jaksa agung. Tidak hanya transparansi itu dibutuhkan sebagai model acuan bagi seluruh lembaga penegak hukum dalam menegakkan merit system untuk membangun karier para personelnya, penjelasan Jokowi juga akan berfungsi sebagai pedoman bagi masyarakat untuk menilai kinerja Prasetyo kelak.
Apalagi manakala komentar-komentar sinis hingga kini masih deras tertuju ke sosok ”misterius” menteri hukum dan HAM, kian mendesak tuntutan terhadap Jokowi untuk menyampaikan penjelasan tentang pengangkatan jaksa agung baru tersebut. Tanpa itu, jangan salahkan publik jika sudah mulai bersimpulan sejak dini bahwa area penegakan hukum pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla tidak usah terlalu banyak diharapkan. Allahu a’lam.
Psikolog Forensik,
Alumnus The University of Melbourne,
Terlibat dalam Berbagai Program Reformasi Yudisial
Pengangkatan M Prasetyo sebagai jaksa agung masih memancing polemik panjang. Kebanyakan kritik mempermasalahkan latar belakang Prasetyo sebagai seorang politisi, tepatnya politisi Partai Nasional Demokrat (NasDem). Beriringan dengan itu adalah penilaian tentang minimnya prestasi Prasetyo selama bekerja sebagai seorang jaksa karier.
Attitudinal Model
Mustahil penegak hukum mampu bekerja dengan berlandaskan semata-mata pada landasan hukum. Alihalih, penegak hukum sangat dipengaruhi oleh preferensi ideologisnya saat membuat putusan. Makna attitudinal model sedemikian rupa memang ditelurkan dari berbagai riset tentang bagaimana hakim membuat putusan hukum. Namun, menganalogikan kerja jaksa yang hingga derajat tertentu memiliki kemiripan dengan kerja hakim, boleh jadi attitudinal model juga bisa diterapkan guna memahami perilaku jaksa.
Attitudinal model , sebagai salah satu manifestasi new legal empiricism, merupakan tandingan terhadap legal model . Para ilmuwan yang berada pada mazhab new legal empiricism menaruh skeptisisme mendalam terhadap serbaneka doktrin yang mengesankan penegak hukum sebagai sosok yang mampu menepis pengaruh-pengaruh ekstralegal terhadap kerja legal mereka.
Kajian-kajian new legal empiricism membuktikan bahwa justru unsurunsur subjektivitas penegak hukum yang bermain sangat dominan di dalam proses kognitif penegak hukum, yang pada akhirnya memengaruhi ragam putusan yang para punggawa hukum itu hasilkan. Dengan attitudinal model, bisa dipahami bahwa latar belakang Prasetyo sebagai politisi sangat mungkin diwarnai ideologi kepartaiannya. Ideologi kepartaian NasDem itulah, yang mengacu pada attitudinal model, berkelindan dengan ideologi hukum Presiden Jokowi.
Kecocokan ideologis sedemikian rupa menjadi alasan di balik keputusan Jokowi menunjuk Prasetyo sebagai pucuk pimpinan korps adhiyaksa. Pada sisi lain, attitudinal model menjadi dasar argumentatif bagi kekhawatiran bahwa ideologi kepartaian akan menjadikan Prasetyo sebagai sosok partisan sesuatu yang diharamkan bagi penegak hukum. Sepintas lalu kerisauan macam itu masuk akal.
Tetapi, apabila cermatan dilakukan terhadap program-program hukum Partai NasDem, sebagaimana uraian Taufik Basari selaku ketua bidang hukum, advokasi, dan HAM partai tersebut pada laman hukumonline, kegundahan sebagian kalangan akan figur Prasetyo tampak berlebihan.
Dari sekian banyak fokus program Partai NasDem, terdapat tiga area yang paling berhubungan dengan lembaga kejaksaan agung yakni pemberantasan korupsi, revisi legislasi terkait hak asasi manusia, dan revisi KUHAP. Pada ketiga bidang tersebut, posisi Partai NasDem tidak memperlihatkan sesuatu yang baru apalagi orisinal.
Hanya pada bidang pemberantasan korupsi, Partai NasDem terlihat bertentangan dengan arus utama opini publik. Ketika sebagian besar masyarakat masih menginginkan KPK berkonsentrasi pada kerja penindakan, Partai NasDem papar Taufik memandang lembaga antirasuah tersebut lebih tepat mengkhususkan diri pada kerja preventif.
Betapa pun demikian, secara umum dapat dikatakan bahwa banyak pihak, baik parpol maupun bukan parpol, yang telah lebih dahulu menunjukkan perhatian pada tiga area program hukum Partai NasDem tersebut. Tambahan lagi, penegasan Taufik Basari bahwa Partai NasDem bertekad menegakkan Pancasila dan UUD 1945 (disertai upaya amendemen) semakin mengunci NasDem sebagai parpol yang katakanlah ideal normatif dan steril dari ideologi-ideologi lain.
Strategic Model
Alih-alih mempersoalkan kemungkinan campur tangan ideologi kepartaian terhadap kerjanya selaku jaksa agung, pertanyaan khalayak luas akan kapasitas dan integritas Prasetyo hemat saya justru lebih tepat jika didasarkan pada strategic model . Menurut model ini, penegak hukum mempertimbangkan matang-matang dampak putusan yang dihasilkannya.
Baik dampak pada tataran makro (hingga level nasional) maupun mikro (kepentingan personal si penegak hukum). Berbeda dengan attitudinal model yang memandang unsurunsur fundamental (ideologi, keyakinan/belief) sebagai pengintervensi kerja penegak hukum, strategic model justru meyakini bahwa langkah atau program penegak hukum sangat ditentukan oleh orientasi jangka pendek, lebih superfisial, dan berbasis pada pemikiran (kognitif) semata.
Logika penegak hukum bukan lagi berdasarkan pada tafsiran ideologis akan kebenaran dan keadilan, melainkan pada seberapa jauh kerja yang ia tampilkan dapat mengamankan kepentingan tertentu sekaligus mengeliminasi kepentingan pihak lain.
Pada tujuan strategis itulah terarah kecemasan bahwa Prasetyo akan memfungsikan jabatan jaksa agung sebagai instrumen politik, namun tetap dengan dalih hukum, untuk meremukkan pihak-pihak yang berseberangan dengan kepentingan makro dan mikro tadi. Filter Prasetyo untuk menangkal intervensi-intervensi nonhukum tersebut tampaknya tidak cukup kuat.
Pertama, dari sisi pribadi, Prasetyo tidak terekam dalam catatan publik sebagai individu penegak hukum dengan marwah istimewa. Kedua , dari sisi latar organisasi kejaksaan, karier Prasetyo dirintis dan dibangun dalam sebuah institusi hukum yang dinilai masih harus melakukan reformasi besar terhadap sistem dan kultur kelembagaannya. Juga, dari sisi latar organisasi kepartaian, NasDem sebagai parpol belia belum cukup kokoh menata orientasi dan implementasi fokus kerja hukumnya.
Lalu
Berhadapan dengan kritisi publik, Presiden Jokowi sepatutnya memberikan penjelasan substantif dan terbuka mengenai pertimbangan-pertimbangannya dalam memilih Prasetyo selaku jaksa agung. Tidak hanya transparansi itu dibutuhkan sebagai model acuan bagi seluruh lembaga penegak hukum dalam menegakkan merit system untuk membangun karier para personelnya, penjelasan Jokowi juga akan berfungsi sebagai pedoman bagi masyarakat untuk menilai kinerja Prasetyo kelak.
Apalagi manakala komentar-komentar sinis hingga kini masih deras tertuju ke sosok ”misterius” menteri hukum dan HAM, kian mendesak tuntutan terhadap Jokowi untuk menyampaikan penjelasan tentang pengangkatan jaksa agung baru tersebut. Tanpa itu, jangan salahkan publik jika sudah mulai bersimpulan sejak dini bahwa area penegakan hukum pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla tidak usah terlalu banyak diharapkan. Allahu a’lam.
(bbg)