Pencuri Kayu Bakar Didenda Rp2 Miliar
A
A
A
PROBOLINGGO - Vonis majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Kota Probolinggo, Jawa Timur terhadap Busrin, 48, pencuri kayu bakar selama dua tahun penjara dan denda Rp2 miliar cukup mencengangkan publik.
Dengan barang bukti 2 meter kubik potongan pohon bakau, warga Desa Pesisir Kecamatan Sumberasih Kabupaten Probolinggo harus menjalani hukuman dan membayar denda yang di luar nalarnya. ”Jangankan Rp2 miliar, uang jutaan saja, kami tidak punya. Bapak hanya seorang buruh penambang pasir sungai. Kalau tidak ada banjir, tidak ada pasir di sungai,” kata Tohir, menantu terpidana Busrin, kemarin.
Menurut Tohir, untuk memenuhi kebutuhan harian, selain bekerja serabutan, Busrin juga mencari kayu bakar guna memasak. Ia tidak menyangka jika kayu bakar potongan pohon bakau tersebut berujung pemidanaan mertuanya. ”Kayu bakar itu untuk kebutuhan memasak di rumah. Kami tidak selalu menggunakan elpiji untuk memasak sehari-hari,” ujar Tohir.
Pada persidangan 22 Oktober 2014 lalu, majelis hakim PN Probolinggo memvonis terdakwa dengan hukuman dua tahun penjara dan denda Rp2 miliar, subsider satu bulan tahanan. Vonis terdakwa yang dijerat dengan UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pasir dan Pulau-Pulau Terluar ini lebih rendah satu bulan masa subsider dari tuntutan jaksa.
”Dalam mengadili, majelis telah mempertimbangkan segala aspek. Tidak didasarkan atas si kaya dan si miskin. Akan tetapi juga didasarkan atas kemanfaatan putusan tersebut,” kata Juru Bicara PN Probolinggo, Putu Agus Wiranata. Menurutnya, vonis dua tahun penjara dan denda Rp2 miliar tersebut sudah merupakan ancaman hukuman minimal.
Sementara ancaman hukuman yang berlaku pada UU tersebut antara 2-10 tahun penjara dengan denda Rp2 miliar hingga Rp10 miliar. ”Majelis tidak bisa memberikan putusan di bawah ketentuan minimal. Kemanfaatan atas vonis ini bukan sebagai efek jera terhadap pelaku perusakan lingkungan. Akan tetapi pada ancaman kerusakan lingkungan, banjir, dan abrasi pantai,” ucapnya.
Dalam persidangan tersebut, juga terungkap fakta bahwa kegiatan penebangan tersebut untuk kepentingan pembukaan lahan. Ketidaktahuan terdakwa terhadap perundangan yang berlaku tidak bisa dijadikan sebagai hal meringankan hukumannya. Karena perangkat desa telah menyosialisasikan agar tidak melakukan penebangan bakau di pesisir pantai.
Penasihat hukum keluarga Busrin, Usman, mengungkapkan keinginan pihak keluarga untuk menempuh hukum lain melalui peninjauan kembali (PK). Upaya ini dilakukan karena adanya disparitas perlakuan hukum. Bahwa diundangkannya aturan tersebut tentu didasarkan atas potensi kerusakan ekosistem yang sistematis untuk kepentingan ekonomi.
”Busrin menebang kayu hanya untuk kebutuhan hariannya. Tidak ada niat untuk kepentingan ekonomi. Sementara disparitas hukum ini terjadi pada pihak yang sengaja merusak hutan untuk kepentingan ekonomi, tetapi justru dibiarkan terjadi,” tandas Usman.
Arie yoenianto
Dengan barang bukti 2 meter kubik potongan pohon bakau, warga Desa Pesisir Kecamatan Sumberasih Kabupaten Probolinggo harus menjalani hukuman dan membayar denda yang di luar nalarnya. ”Jangankan Rp2 miliar, uang jutaan saja, kami tidak punya. Bapak hanya seorang buruh penambang pasir sungai. Kalau tidak ada banjir, tidak ada pasir di sungai,” kata Tohir, menantu terpidana Busrin, kemarin.
Menurut Tohir, untuk memenuhi kebutuhan harian, selain bekerja serabutan, Busrin juga mencari kayu bakar guna memasak. Ia tidak menyangka jika kayu bakar potongan pohon bakau tersebut berujung pemidanaan mertuanya. ”Kayu bakar itu untuk kebutuhan memasak di rumah. Kami tidak selalu menggunakan elpiji untuk memasak sehari-hari,” ujar Tohir.
Pada persidangan 22 Oktober 2014 lalu, majelis hakim PN Probolinggo memvonis terdakwa dengan hukuman dua tahun penjara dan denda Rp2 miliar, subsider satu bulan tahanan. Vonis terdakwa yang dijerat dengan UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pasir dan Pulau-Pulau Terluar ini lebih rendah satu bulan masa subsider dari tuntutan jaksa.
”Dalam mengadili, majelis telah mempertimbangkan segala aspek. Tidak didasarkan atas si kaya dan si miskin. Akan tetapi juga didasarkan atas kemanfaatan putusan tersebut,” kata Juru Bicara PN Probolinggo, Putu Agus Wiranata. Menurutnya, vonis dua tahun penjara dan denda Rp2 miliar tersebut sudah merupakan ancaman hukuman minimal.
Sementara ancaman hukuman yang berlaku pada UU tersebut antara 2-10 tahun penjara dengan denda Rp2 miliar hingga Rp10 miliar. ”Majelis tidak bisa memberikan putusan di bawah ketentuan minimal. Kemanfaatan atas vonis ini bukan sebagai efek jera terhadap pelaku perusakan lingkungan. Akan tetapi pada ancaman kerusakan lingkungan, banjir, dan abrasi pantai,” ucapnya.
Dalam persidangan tersebut, juga terungkap fakta bahwa kegiatan penebangan tersebut untuk kepentingan pembukaan lahan. Ketidaktahuan terdakwa terhadap perundangan yang berlaku tidak bisa dijadikan sebagai hal meringankan hukumannya. Karena perangkat desa telah menyosialisasikan agar tidak melakukan penebangan bakau di pesisir pantai.
Penasihat hukum keluarga Busrin, Usman, mengungkapkan keinginan pihak keluarga untuk menempuh hukum lain melalui peninjauan kembali (PK). Upaya ini dilakukan karena adanya disparitas perlakuan hukum. Bahwa diundangkannya aturan tersebut tentu didasarkan atas potensi kerusakan ekosistem yang sistematis untuk kepentingan ekonomi.
”Busrin menebang kayu hanya untuk kebutuhan hariannya. Tidak ada niat untuk kepentingan ekonomi. Sementara disparitas hukum ini terjadi pada pihak yang sengaja merusak hutan untuk kepentingan ekonomi, tetapi justru dibiarkan terjadi,” tandas Usman.
Arie yoenianto
(bbg)