MA Siap Periksa Majelis Hakim Kasus TPI

Jum'at, 21 November 2014 - 13:43 WIB
MA Siap Periksa Majelis...
MA Siap Periksa Majelis Hakim Kasus TPI
A A A
JAKARTA - Mahkamah Agung (MA) menyatakan siap memeriksa dan meminta klarifikasi majelis hakim peninjauan kembali (PK) kasus sengketa kepemilikan saham Televisi Pendidikan Indonesia (TPI).

Pemeriksaan dan klarifikasi itu dilakukan atas dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan tiga majelis hakim, yakni M Saleh, Abdul Manan, dan Hamdan. ”Nanti dilihat, makanya kita akan minta klarifikasi dari majelisnya,” tandas Ketua MA Hatta Ali di Jakarta kemarin. Bukan hanya itu, Hatta pun mempersilakan pihak luar untuk melakukan eksaminasi putusan jika memang tidak puas dengan vonis yang dihasilkan majelis PK.

Dirinya tidak masalah jika ada eksaminasi terhadap putusan MA khususnya perkara TPI. Meski demikian, Hatta menandaskan bahwa hasil eksaminasi nantinya tidak akan membatalkan putusan. ”Silakan dieksaminasi, malah bagus. Eksaminasi di mana kelemahannya. eksaminasi itu tidak membatalkan putusan,” paparnya.

Komisioner Komisi Yudisial (KY) Bidang Hubungan Antarlembaga Imam Anshori Saleh menyatakan, hasil eksaminasi bisa dijadikan bahan pertimbangan untuk menjatuhkan sanksi etik terhadap majelis hakim. Namun, sanksi baru bisa dijatuhkan apabila dalam eksaminasi ditemukan bukti kuat adanya pelanggaran etika.

”Kalau langsung tidak bisa, kecuali jika ada yang janggal misalnya ada pertemuan dengan para pihak itu baru bisa menjadi pertimbangan menjatuhkan sanksi,” tandas Imam. Selain itu, adanya pelanggaran hukum acara atau prosedur yang dilakukan majelis bisa menjadi pertimbangan KY dalam menjatuhkan sanksi juga. Namun, dia menandaskan bahwa KY tidak akan melakukan eksaminasi putusan.

KY, ujarnya, hanya akan melakukan proses anotasi. Proses ini, ujarnya, bisa dikatakan semacam eksaminasi karena juga mengkaji putusan. Pendapat berbeda disampaikan pakar hukum Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar. Menurut dia, KY tetap bisa melakukan eksaminasi. ”Eksaminasi bisa dilakukan jika dirasa ada yang janggal pada keputusan hakim di pengadilan,” tandasnya.

Menurut dia, eksaminasi adalah alat untuk menguji satu keputusan pengadilan. Dari eksaminasi, ujarnya, bisa disimpulkan bahwa dalam keputusannya seorang hakim melanggar aturan atau etika peradilan atau tidak. Syarat mutlak melakukan eksaminasi adalah jika sudah ada keputusan hukum tetap terhadap kasus itu.

”Asalkan putusan itu sudah berkekuatan hukum tetap,” ujarnya. Eksaminasi, ungkap Fickar, berfungsi untuk meninjau kembali satu putusan. Dengan eksaminasi bisa dibuktikan apakah ada penyimpangan atas kasus itu oleh hakim pemeriksa kasus. Hasil proses eksaminasi, ungkapnya, memang tidak berpengaruh pada keputusan, tetapi bisa disimpulkan bahwa keputusan janggal karena hakimnya menyimpang atau tidak profesional. ”Jadi lebih ke etika,” tandasnya.

Senada diungkapkan pakar hukum Universitas Parahyangan (Unpar) Asep Warlan Yusuf. Menurut dia, eksaminasi biasanya karena dirasa ada yang ganjil pada putusan hakim atau pengadilan terhadap satu kasus. Istilah yang mirip dengan eksaminasi adalah legal annotation yaitu semacam ulasan ataupun pemberian catatan terhadap putusan pengadilan.

Anotasi, ujarnya, merujuk pada penilaian perilaku dan perbuatan hakim yang dianggap melanggar kode etik dalam membuat putusan, misalnya menerima suap atau ketentuan lainnya. Sementara eksaminasi berasal kata examinatie, yang berarti memeriksa dan menilai atau menguji putusan badan pengadilan.

Keberadaan lembaga eksaminasi publik atau kegiatan anotasi memberikan kontribusi yang sangat signifikan dengan upaya MA untuk melakukan pengawasan terhadap kinerja hakim. Dia pun menyatakan, forum eksaminasi nantinya bisa menilai secara obyektif kasus sengketa TPI antara PT Berkah Karya Bersama (BKB) dengan Siti Hardiyanti Rukmana alias Tutut.

”Saya kira eksaminasi akan objektif dan terbuka dalam menilai kasus ini,” ujarnya. Pasalnya, pada proses eksaminasi masing-masing panelis memaparkan penilaiannya pada makalah. ”Lantas, mereka berdiskusi dan melakukan musyawarah untuk mendapatkan kesimpulan akhir,” paparnya.

Sementara itu, Komisioner KY Ibrahim menyatakan, KY akan mendalami petunjuk teknis yudisial yang disepakati dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Mahkamah Agung (MA) pada 18–22 September 2005 di Denpasar, Bali. Penelusuran dilakukan terkait dugaan pelanggaran kode etik hakim MA dalam putusan menolak PK kasus sengketa TPI.

”Tentunya jika ada (petunjuk teknis yudisial MA).Anotasi KY tentunya menilai proses beperkara yang ada di sana (MA),” ungkapnya. Diketahui, dalam petunjuk teknis yudisial yang dibuat dalam Rakernas MA pada 19–22 September 2005 di Denpasar, Bali terdapat sejumlah poin yang disepakati.

Salah satunya menyebutkan bahwa pengadilan negeri/umum tidak berwenang untuk mengadili suatu perkara yang para pihaknya terikat dalam perjanjian arbitrase, walaupun hal tersebut didasarkan pada gugatan perbuatan melawan hukum. Keberadaan petunjuk teknis yudisial MA ini diakui oleh mantan Komisioner KY M Thahir Saimina.

”Ya (berdasarkan petunjuk MA) majelisnya (hakim MA) memang tidak dibolehkan mengadili perkara yang sudah menjadi petunjuk (teknis yudisial) MA di Bali,” tandasnya. Menurut dia, petunjuk teknis yudisial MA yang disepakati di Denpasar itu terkait hak dan kewenangan hakim dalam menangani sebuah perkara.

Petunjuk teknis yudisial MA itu, lanjutnya, bisa menjadi acuan dan penegasan Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase, bahwa MA dilarang mengadili perkara yang menjadi kewenangan BANI. ”Apalagi itu menjadi petunjuk bagi hakim melalui keputusan rapat kerja nasional. Pastinya diketahui sebagai petunjuk yang jelas,” tandasnya.

Nurul adriyana/Danti daniel/Sindonews
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7013 seconds (0.1#10.140)