Warga Karawang Desak Presiden Turun Tangan
A
A
A
JAKARTA - Masyarakat Kabupaten Karawang, Jawa Barat, mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Ferry Mursyidan Baldan turun tangan menyelesaikan sengketa dan hak atas tanah warga dengan anak perusahaan PT Agung Podomoro Land (APL).
Dalam kurun waktu empat hari berturut-turut, masyarakat menggelar dua aksi. Pertama, aksi “Tanam Kembali” di lahan sengketa pada Jumat (14/11). Kedua, aksi jalan kaki dengan mata tertutup dari Karawang ke Istana pada Sabtu (15/11) hingga Senin (17/11). Aksi jalan kaki ke Istana Presiden dilakukan empat perwakilan warga tiga desa di Telukjambe Barat, Karawang, yakni Wanasari, Wanakerta, dan Margamulya.
Aksi mereka cukup ekstrem. Empat warga itu yakni Asep Toha, Mustofa Bisri, Mulyana, dan Cakim. Jalan kaki itu dilakukan dengan mata tertutup dari Karawang hingga Istana Presiden, Jakarta selama tiga hari. “Kami jalan kaki dari Karawang menuju Istana Presiden dan BPN Pusat di Jakarta untuk memberikan pesan kepada Presiden bahwa hukum di negara ini sudah menutup mata terhadap rakyat kecil, terutama bagi kami, warga tiga desa di Telukjambe, Karawang,” ujar Asep Toha dalam siaran pers yang diterima KORAN SINDOkemarin.
Warga di tiga desa, ujarnya, telah mengalami perampasan hak atas tanahnya oleh PT Sumber Air Mas Pratama (SAMP), anak usaha PT Agung Podomoro Land (APL). Mustofa Bisri, perwakilan Serikat Petani Karawang (Sepetak), menuturkan bahwa persoalan lahan/tanah merupakan hal yang berurusan dengan mati dan hidupnya masyarakat.
Aksi jalan kaki dengan mata tertutup ini dilakukan sebagai bentuk protes dan perlawanan terhadap aparat birokrasi dan penegak hukum yang diduga berpihak kepada perusahaan, yakni SAMP. “Apalagi, rakyat kecil seperti kami. Namun, ternyata kekuatan uang lebih berkuasa daripada hukum. Mereka lebih membela PT SAMP,” tutur Mustofa.
Saat aksi pertama, puluhan warga pemilik sah tanah di lahan sengketa 350 hektare yang diduga dirampas oleh SAMP melakukan penanaman kembali di lahan mereka. Warga yang menggelar aksi merasa menjadi korban dari tindak perampasan tanah oleh SAMP. Lahan sengketa itu sudah sejak lama diduduki dan dijaga puluhan preman berpakaian sekuriti.
Bahkan, saat itu mereka juga dikawal 1 Satuan Setingkat Kompi (SSK) Brimob Polda Jabar berseragam dan bersenjata lengkap. Penjagaan oleh aparat Brimob di tanah tersebut menuai protes keras dari kuasa hukum warga dan aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) seperti Serikat Petani Karawang (Sepetak), Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), dan Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).
Moris Purba, salah satu kuasa hukum warga, menuturkan bahwa putusan PN Karawang yang mengeksekusi tanah warga bersifat cacat hukum. Pasalnya, status tanah yang diambil alih SAMP masih bermasalah dan sebagian besar masih milik warga, ada perkara yang sedang berjalan, dan tapal batas tanah pun tidak jelas saat dieksekusi. “Apa yang dilakukan para petani adalah cara untuk meminta perhatian presiden dan menteri agraria/kepala BPN untuk membantu penyelesaian masalah ini,” paparnya.
Sabir laluhu
Dalam kurun waktu empat hari berturut-turut, masyarakat menggelar dua aksi. Pertama, aksi “Tanam Kembali” di lahan sengketa pada Jumat (14/11). Kedua, aksi jalan kaki dengan mata tertutup dari Karawang ke Istana pada Sabtu (15/11) hingga Senin (17/11). Aksi jalan kaki ke Istana Presiden dilakukan empat perwakilan warga tiga desa di Telukjambe Barat, Karawang, yakni Wanasari, Wanakerta, dan Margamulya.
Aksi mereka cukup ekstrem. Empat warga itu yakni Asep Toha, Mustofa Bisri, Mulyana, dan Cakim. Jalan kaki itu dilakukan dengan mata tertutup dari Karawang hingga Istana Presiden, Jakarta selama tiga hari. “Kami jalan kaki dari Karawang menuju Istana Presiden dan BPN Pusat di Jakarta untuk memberikan pesan kepada Presiden bahwa hukum di negara ini sudah menutup mata terhadap rakyat kecil, terutama bagi kami, warga tiga desa di Telukjambe, Karawang,” ujar Asep Toha dalam siaran pers yang diterima KORAN SINDOkemarin.
Warga di tiga desa, ujarnya, telah mengalami perampasan hak atas tanahnya oleh PT Sumber Air Mas Pratama (SAMP), anak usaha PT Agung Podomoro Land (APL). Mustofa Bisri, perwakilan Serikat Petani Karawang (Sepetak), menuturkan bahwa persoalan lahan/tanah merupakan hal yang berurusan dengan mati dan hidupnya masyarakat.
Aksi jalan kaki dengan mata tertutup ini dilakukan sebagai bentuk protes dan perlawanan terhadap aparat birokrasi dan penegak hukum yang diduga berpihak kepada perusahaan, yakni SAMP. “Apalagi, rakyat kecil seperti kami. Namun, ternyata kekuatan uang lebih berkuasa daripada hukum. Mereka lebih membela PT SAMP,” tutur Mustofa.
Saat aksi pertama, puluhan warga pemilik sah tanah di lahan sengketa 350 hektare yang diduga dirampas oleh SAMP melakukan penanaman kembali di lahan mereka. Warga yang menggelar aksi merasa menjadi korban dari tindak perampasan tanah oleh SAMP. Lahan sengketa itu sudah sejak lama diduduki dan dijaga puluhan preman berpakaian sekuriti.
Bahkan, saat itu mereka juga dikawal 1 Satuan Setingkat Kompi (SSK) Brimob Polda Jabar berseragam dan bersenjata lengkap. Penjagaan oleh aparat Brimob di tanah tersebut menuai protes keras dari kuasa hukum warga dan aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) seperti Serikat Petani Karawang (Sepetak), Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), dan Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).
Moris Purba, salah satu kuasa hukum warga, menuturkan bahwa putusan PN Karawang yang mengeksekusi tanah warga bersifat cacat hukum. Pasalnya, status tanah yang diambil alih SAMP masih bermasalah dan sebagian besar masih milik warga, ada perkara yang sedang berjalan, dan tapal batas tanah pun tidak jelas saat dieksekusi. “Apa yang dilakukan para petani adalah cara untuk meminta perhatian presiden dan menteri agraria/kepala BPN untuk membantu penyelesaian masalah ini,” paparnya.
Sabir laluhu
(bbg)