Maritim dan Perekonomian Kita
A
A
A
GHIFANI AZHAR
Mahasiswi Jurusan Ekonomi dan Administrasi Fakultas Ekonomi,
Anggota Lembaga Kajian Mahasiswa UNJ,
Universitas Negeri Jakarta
Saat Joko Widodo berpidato pertama kali seusai mengucap sumpah sebagai presiden Republik Indonesia, beliau mengutip moto TNI AL, Jalesveva Jayamahe , yang berarti ”justru di laut kita jaya”. Jalesveva Jayamahe merupakan mentalitas semboyan nenek moyang di masa lalu.
Presiden Joko Widodo yakin Indonesia kembali menjadi poros maritim dunia dan mendatangkan kemakmuran rakyat. Potensi pada poros maritim Indonesia harus dioptimalkan. Tantangan hadir sebagai kenyataan. Hingga saat ini perekonomian Indonesia masih bertumpu pada industri pengolahan, pertambangan dan kehutanan, pertanian dan peternakan, serta semua yang berbasis di daratan.
Hilmar Farid dalam pidato kebudayaannya di Taman Ismail Marzuki mengatakan tumpuan ini dikarenakan Indonesia terlalu lama memunggungi laut. Gerak memunggungi laut membuat pekik-sorak, jerit-pahit, dan dentuman ombak dari perairan menjadi samar.
Kita bisa belajar dari kisah jatuh-bangun kerajaan maritim di Nusantara sebagai akar dari gerak memunggungi laut. Sejarah berbicara kala runtuhnya Majapahit hingga sepinya Tuban, Kerajaan Banten yang dihapuskan dan Pelabuhan Banten yang diambil alih Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) .
Hal serupa terjadi pada pelabuhan Makasar yang menjadi awal kegiatan pemunggungan laut. Dalam narasi novel Arus Balik karya Pramoedya Ananta Toer disebutkan ukuran kapal suatu negara menunjukkan kebesaran negara tersebut. Kapal besar hanya dirangkai kerajaan besar.
Berbeda dengan kapal dan kerajaan kecil yang menyebabkan arus tidak bergerak ke utara. Hasilnya karena atas angin lebih unggul dan membawa segalanya ke Pulau Jawa, termasuk penghancuran, penindasan, dan penipuan. Tentunya kita harus melebarkan negara kita agar tetap memiliki sejumlah kapal besar yang melintas di lautan luas Nusantara.
Sejumlah kapal besar milik bangsa harus tetap berjaya, meramaikan, dan menjaga laut sebagai potensi perekonomian bangsa. Terlebih kita akan menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) Kita patut bersyukur Presiden Joko Widodo serta Menteri Perikanan dan Kelautan Susi Pudjiastuti terus menggaungkan mentalitas perekonomian mesti kembali ke laut.
Membalikkan kembali tubuh masyarakat menghadap laut sehingga kita tak melulu gagap terhadap pencurian ikan, pelanggaran wilayah, penyelundupan, dan sengketa wilayah di perairan.
Mahasiswi Jurusan Ekonomi dan Administrasi Fakultas Ekonomi,
Anggota Lembaga Kajian Mahasiswa UNJ,
Universitas Negeri Jakarta
Saat Joko Widodo berpidato pertama kali seusai mengucap sumpah sebagai presiden Republik Indonesia, beliau mengutip moto TNI AL, Jalesveva Jayamahe , yang berarti ”justru di laut kita jaya”. Jalesveva Jayamahe merupakan mentalitas semboyan nenek moyang di masa lalu.
Presiden Joko Widodo yakin Indonesia kembali menjadi poros maritim dunia dan mendatangkan kemakmuran rakyat. Potensi pada poros maritim Indonesia harus dioptimalkan. Tantangan hadir sebagai kenyataan. Hingga saat ini perekonomian Indonesia masih bertumpu pada industri pengolahan, pertambangan dan kehutanan, pertanian dan peternakan, serta semua yang berbasis di daratan.
Hilmar Farid dalam pidato kebudayaannya di Taman Ismail Marzuki mengatakan tumpuan ini dikarenakan Indonesia terlalu lama memunggungi laut. Gerak memunggungi laut membuat pekik-sorak, jerit-pahit, dan dentuman ombak dari perairan menjadi samar.
Kita bisa belajar dari kisah jatuh-bangun kerajaan maritim di Nusantara sebagai akar dari gerak memunggungi laut. Sejarah berbicara kala runtuhnya Majapahit hingga sepinya Tuban, Kerajaan Banten yang dihapuskan dan Pelabuhan Banten yang diambil alih Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) .
Hal serupa terjadi pada pelabuhan Makasar yang menjadi awal kegiatan pemunggungan laut. Dalam narasi novel Arus Balik karya Pramoedya Ananta Toer disebutkan ukuran kapal suatu negara menunjukkan kebesaran negara tersebut. Kapal besar hanya dirangkai kerajaan besar.
Berbeda dengan kapal dan kerajaan kecil yang menyebabkan arus tidak bergerak ke utara. Hasilnya karena atas angin lebih unggul dan membawa segalanya ke Pulau Jawa, termasuk penghancuran, penindasan, dan penipuan. Tentunya kita harus melebarkan negara kita agar tetap memiliki sejumlah kapal besar yang melintas di lautan luas Nusantara.
Sejumlah kapal besar milik bangsa harus tetap berjaya, meramaikan, dan menjaga laut sebagai potensi perekonomian bangsa. Terlebih kita akan menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) Kita patut bersyukur Presiden Joko Widodo serta Menteri Perikanan dan Kelautan Susi Pudjiastuti terus menggaungkan mentalitas perekonomian mesti kembali ke laut.
Membalikkan kembali tubuh masyarakat menghadap laut sehingga kita tak melulu gagap terhadap pencurian ikan, pelanggaran wilayah, penyelundupan, dan sengketa wilayah di perairan.
(bbg)