Menyulap Limbah Tapioka Jadi Plastik

Minggu, 16 November 2014 - 08:45 WIB
Menyulap Limbah Tapioka Jadi Plastik
Menyulap Limbah Tapioka Jadi Plastik
A A A
Siapa yang tak kenal plastik. Material yang kerap digunakan masyarakat untuk berbagai keperluan. Saking populernya, penggunaan plastik dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan.

Pada era 1990-an penggunaan plastik di seluruh dunia diperkirakan sudah mencapai 150 juta ton. Sejak 2005 sekitar 220 juta ton plastik beredar di muka bumi ini. Padahal plastik merupakan bahan yang sulit diurai sehingga menimbulkan pencemaran lingkungan yang cukup serius.

Sulitnya plastik terurai disebabkan material ini terbuat dari minyak bumi yang memiliki ikatan antarmolekul sangat kuat serta tidak suka air sehingga jasad renik atau bakteri sulit mengurai atau memakan molekul plastik. Kondisi inilah yang membuat peneliti Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi (PAIR) Badan Teknologi Nuklir Nasional (Batan) Sudradjat Iskandar tergerak membuat plastik dari bahan ramah lingkungan agar bisa terurai di alam.

Dia menjelaskan, inovasi yang dibuatnya berupa proses pembuatan produk cetak plastik ramah lingkungan dari komposit limbah tapioka dengan menggunakan teknologi radiasi. Dia fokus pada penelitian ini karena proses pembuatannya relatif sederhana, aman, praktis, cepat, dan murah.

“Plastik tidak ramah lingkungan. Begitu juga dengan limbah tapioka. Tetapi, dengan memanfaatkan teknologi yang ada, kita bisa menggabungkan kedua material tidak ramah lingkungan ini menjadi produk yang ramah lingkungan,” ungkap Sudradjat kepada KORAN SINDO.

Proses produk cetak plastik ramah lingkungan ini dimulai dengan pembuatan biji plastik yang berbasis limbah tapioka dengan merekayasa sifat plastik dengan menambahkan bahan aditif alami agar mudah terurai secara alami dan diproses menjadi kopolimer dengan memakai teknologi radiasi. Kopolimer iradiasi ini hasil proses pengeringan dari emulsi gel limbah tapioka monomer metil metakrilat, lateks karet alam yang diiradiasi dengan sinar gamma.

Penyinaran dengan radiasi sinar gamma sekitar 2-3 jam dengan dosis 10 kGy atau di bawah dosis steril untuk membentuk kopolimer. Apabila tanpa radiasi, proses pembuatan kopolimer ini memakai suhu tinggi sekitar 60 derajat Celcius. “Artinya tidak ramah lingkungan karena ada pemakaian listrik dalam jumlah besar. Sedangkan memakai sinar gamma tidak membutuhkan listrik besar. Apalagi cukup cepat prosesnya,” paparnya.

Untuk membuat kopolimer, satu drum berisi 30 kg limbah tapioka dicampur dengan bahan kimia kemudian diberikan sinar gamma selama dua hingga tiga jam. Setelah itu bahan tersebut dicampur biji plastik yang terbuat dari karet.

“Komposisinya 50:50. Kedua bahan dalam kondisi panas di-blending. Akhirnya membentuk lembaran dan dimasukkan ke dalam alat pencacah untuk dipotong -potong. Barulah dimasukkan ke alat pemotong agar bisa dibentuk seperti biji plastik pada umumnya,” papar Sudradjat. Hasil kopolimer iradiasi ini memunculkan sifat aditif karena ada radikal bebas baru yang sangat reaktif dan molekulnya tidak stabil akibat interkasi dengan sinar gamma.

Ketidakstabilan molekul ini mempercepat mikroba mengurai plastik di dalam tanah. Apalagi biji plastik yang dibuat ini memiliki dua unsur biodegradable inisiator yaitu limbah tapioka dan karet alam. Maka itu, plastik pun akan cepat terurai karena ada radikal bebas baru tersebut.

“Plastik ramah lingkungan ini dalam waktu beberapa bulan saja sudah bisa terurai. Berbeda dengan plastik pada umumnya yang sulit terurai meski sudah ratusan tahun tertimbun di tanah,” kata Sudrajat.

Ternyata produk yang memakai kopolimer iradiasi yang bersumber dari limbah tapioka dan karet alam ini mampu terurai sempurna setelah dikubur di tanah selama satu hingga dua bulan. Bahan-bahan plastik tadi sudah menyatu dengan tanah karena menggunakan bahan-bahan alami.

Yani a
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9666 seconds (0.1#10.140)