Kerja Kreatif
A
A
A
Lontaran pakar hukum Prof Dr Yusril Ihza Mahendra tentang kinerja pemerintahan Jokowi-JK yang dia nilai kurang kreatif dalam menyelesaikan persoalan subsidi bahan bakar minyak (BBM), menjadi bahan diskusi yang menarik.
Diskusinya bukan soal bagaimana seharusnya Presiden Jokowi menuntaskan problem klasik yang telah membelenggu setiap periode pemerintahan tersebut, melainkan lebih pada harapan masyarakat yang demikian besar akan munculnya gagasan-gagasan brilian yang diterjemahkan dalam kebijakan-kebijakan terobosan yang gemilang oleh Kabinet Kerja.
Rencana menaikkan harga BBM bersubsidi sebagai upaya menyelamatkan APBN menurut Prof Yusril dan mantan Menko Perekonomian Rizal Ramli sebagai langkah yang kurang kreatif dan ingin gampang saja. Apalagi, momentumnya kurang tepat karena harga minyak dunia sedang turun, jauh di bawah harga yang dipatok dalam APBN. Titik tekan kita di sini adalah kreativitas dari Kabinet Kerja.
Coba kita lihat apa yang dilakukan anggota kabinet dalam satu pekan pertama setelah pelantikan. Mayoritas mereka langsung tancap gas seperti yang diarahkan Presiden Jokowi dan desakan publik kepada pemerintah. Tancap gas ini pun diwujudkan dalam bentuk inspeksi mendadak (sidak) ke sejumlah lokasi dengan rombongan lengkap, termasuk para pewarta yang siap mengabadikan aksi heroik sidak ini.
Apa yang dilakukan para menteri yang langsung action di lapangan ini tentu saja bertujuan menyampaikan pesan positif kepada masyarakat bahwa kabinet sungguh-sungguh telah bekerja keras. Para menteri ini pun seperti mengerti betul gaya Presiden Jokowi yang hobi blusukan sejak menjadi wali kota Solo maupun saat menjabat gubernur DKI Jakarta.
Leadership blusukan ala Jokowi ini pun menjadi semacam tren baru yang dipersepsikan sebagai langkah jitu dalam memecahkan semua persoalan bangsa. Karena keyakinan itulah, para menteri Kabinet Kerja akan ramai-ramai blusukan di lapangan. Tapi benarkah semua masalah akan selesai dengan blusukan ? Tentu saja tidak.
Blusukan alias sidak ke lapangan akan efektif jika dilakukan dengan pertimbangan matang untuk memecahkan kebuntuan yang sulit dipecahkan. Artinya sebelum blusukan dilakukan, sudah ada sejumlah upaya yang mendahuluinya. Jadi, blusukan itu sebagai salah satu cara atau strategi untuk memecahkan persoalan yang sudah diidentifikasi dengan baik sebelumnya.
Blusukan tidak bisa diposisikan sebagai tujuan akhir, sehingga makin sering blusukan semakin bagus kinerja seorang menteri. Kita merasakan adanya pendangkalan makna dalam mengukur kinerja pemerintahan. Seolah-olah menteri yang paling jago adalah dia yang paling sering melakukan sidak alias blusukan, sedangkan menteri-menteri Kabinet Kerja lain yang tidak pernah atau kurang suka dengan cara blusukan akan dianggap tidak sukses atau gagal.
Cara pandang semacam ini sudah seharusnya diformat ulang. Presiden Jokowi dan kabinetnya juga harus mampu berkreasi lagi jika ingin namanya tetap dikenang masyarakat. Bagi sebagian masyarakat, model blusukan ini bukan barang baru. Harus ada versi lain yang lebih kreatif lagi sehingga tetap mampu mencuri perhatian. Blusukan ke lapangan dengan tim pendukung penuh sering diidentikkan dengan upaya pencitraan.
Dan, ini boleh-boleh saja jika diyakini masih memiliki nilai tambah bagi para anggota kabinet. Tapi harus diingat, banyak orang di luar saja yang memiliki pandangan serupa dengan Yusril dan Rizal Ramli. Pemerintahan Jokowi memikul beban berat yang hanya bisa dipecahkan dengan cara-cara kreatif dan penuh terobosan, namun juga harus hati-hati.
Kreatif tidak berarti menabrak pakem dan aturan seenaknya, tapi harus runtut dan sistematis. Intinya, kabinet kerja harus lebih kreatif lagi dalam bekerja. Jangan terlalu bergantung pada model blusukan, karena pada akhirnya berhasil tidaknya seseorang akan dilihat pada karya nyata apa yang telah mereka lakukan.
Diskusinya bukan soal bagaimana seharusnya Presiden Jokowi menuntaskan problem klasik yang telah membelenggu setiap periode pemerintahan tersebut, melainkan lebih pada harapan masyarakat yang demikian besar akan munculnya gagasan-gagasan brilian yang diterjemahkan dalam kebijakan-kebijakan terobosan yang gemilang oleh Kabinet Kerja.
Rencana menaikkan harga BBM bersubsidi sebagai upaya menyelamatkan APBN menurut Prof Yusril dan mantan Menko Perekonomian Rizal Ramli sebagai langkah yang kurang kreatif dan ingin gampang saja. Apalagi, momentumnya kurang tepat karena harga minyak dunia sedang turun, jauh di bawah harga yang dipatok dalam APBN. Titik tekan kita di sini adalah kreativitas dari Kabinet Kerja.
Coba kita lihat apa yang dilakukan anggota kabinet dalam satu pekan pertama setelah pelantikan. Mayoritas mereka langsung tancap gas seperti yang diarahkan Presiden Jokowi dan desakan publik kepada pemerintah. Tancap gas ini pun diwujudkan dalam bentuk inspeksi mendadak (sidak) ke sejumlah lokasi dengan rombongan lengkap, termasuk para pewarta yang siap mengabadikan aksi heroik sidak ini.
Apa yang dilakukan para menteri yang langsung action di lapangan ini tentu saja bertujuan menyampaikan pesan positif kepada masyarakat bahwa kabinet sungguh-sungguh telah bekerja keras. Para menteri ini pun seperti mengerti betul gaya Presiden Jokowi yang hobi blusukan sejak menjadi wali kota Solo maupun saat menjabat gubernur DKI Jakarta.
Leadership blusukan ala Jokowi ini pun menjadi semacam tren baru yang dipersepsikan sebagai langkah jitu dalam memecahkan semua persoalan bangsa. Karena keyakinan itulah, para menteri Kabinet Kerja akan ramai-ramai blusukan di lapangan. Tapi benarkah semua masalah akan selesai dengan blusukan ? Tentu saja tidak.
Blusukan alias sidak ke lapangan akan efektif jika dilakukan dengan pertimbangan matang untuk memecahkan kebuntuan yang sulit dipecahkan. Artinya sebelum blusukan dilakukan, sudah ada sejumlah upaya yang mendahuluinya. Jadi, blusukan itu sebagai salah satu cara atau strategi untuk memecahkan persoalan yang sudah diidentifikasi dengan baik sebelumnya.
Blusukan tidak bisa diposisikan sebagai tujuan akhir, sehingga makin sering blusukan semakin bagus kinerja seorang menteri. Kita merasakan adanya pendangkalan makna dalam mengukur kinerja pemerintahan. Seolah-olah menteri yang paling jago adalah dia yang paling sering melakukan sidak alias blusukan, sedangkan menteri-menteri Kabinet Kerja lain yang tidak pernah atau kurang suka dengan cara blusukan akan dianggap tidak sukses atau gagal.
Cara pandang semacam ini sudah seharusnya diformat ulang. Presiden Jokowi dan kabinetnya juga harus mampu berkreasi lagi jika ingin namanya tetap dikenang masyarakat. Bagi sebagian masyarakat, model blusukan ini bukan barang baru. Harus ada versi lain yang lebih kreatif lagi sehingga tetap mampu mencuri perhatian. Blusukan ke lapangan dengan tim pendukung penuh sering diidentikkan dengan upaya pencitraan.
Dan, ini boleh-boleh saja jika diyakini masih memiliki nilai tambah bagi para anggota kabinet. Tapi harus diingat, banyak orang di luar saja yang memiliki pandangan serupa dengan Yusril dan Rizal Ramli. Pemerintahan Jokowi memikul beban berat yang hanya bisa dipecahkan dengan cara-cara kreatif dan penuh terobosan, namun juga harus hati-hati.
Kreatif tidak berarti menabrak pakem dan aturan seenaknya, tapi harus runtut dan sistematis. Intinya, kabinet kerja harus lebih kreatif lagi dalam bekerja. Jangan terlalu bergantung pada model blusukan, karena pada akhirnya berhasil tidaknya seseorang akan dilihat pada karya nyata apa yang telah mereka lakukan.
(bbg)