MUI Sebut Pemohon Kawin 'Beda Agama' Adopsi Hukum Kolonial
A
A
A
JAKARTA - Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta kepada Mahkamah Kontutusi (MK) agar menolak seluruh permohonan uji materi Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 yakni pasal 2 ayat (1), tentang gugatan hukum kawin menurut agama.
Menurut Wakil Sekretaris Komisi Hukum dan Undang-undang MUI, Luthfie Hakim, para pemohon dinilai tidak mengetahui sejarah panjang hukum perkawinan tersebut.
Kata Lutfhie, yang menjadi pendapat para pemohon adalah soal sahnya hukum perkawinan dari hukum yang pernah dibolehkan masa kolonial Belanda. Pada masa itu, cara pandang pemerintah Belanda menganggap hukum perkawinan hanya diatur dalam konteks perdata. Sedangkan yang menyangkut hukum agama dikesampingkan.
"Pemohon mengajak kita semua kembali pada cara berpikir seperti zaman kolonial Belanda," kata Luthfie dalam sidang MK, Jakarta, Rabu (5/11/2014).
Luthfie berharap empat mantan mahasiswa Universitas Indonesia selaku pemohon diminta membaca kembali literatur mengenai hukum perkawinan.
Sebab, kata dia, melalui proses diskusi dan diplomasi panjang para pendiri negara bersama tokoh agama sudah memutuskan hukum perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
Luthfie berpendapat, tafsir hukum menurut pemohon yang menyatakan negara memiliki unsur 'memaksa' dalam hukum perkawinan dianggap sangat tidak beralasan. Sehingga MUI mendesak MK untuk menolak seluruh permohonan pemohon.
"Ketentuan-ketentuan pasal 2 ayat 1 tidak dapat dimaknai negara memaksa warga negaranya. Sejak undang-undang perkawinan disahkan, jauh sebelum pemohon lahir, pemohon terlalu membesar-besarkan persoalan tanpa referensi yang jelas," pungkasnya.
Menurut Wakil Sekretaris Komisi Hukum dan Undang-undang MUI, Luthfie Hakim, para pemohon dinilai tidak mengetahui sejarah panjang hukum perkawinan tersebut.
Kata Lutfhie, yang menjadi pendapat para pemohon adalah soal sahnya hukum perkawinan dari hukum yang pernah dibolehkan masa kolonial Belanda. Pada masa itu, cara pandang pemerintah Belanda menganggap hukum perkawinan hanya diatur dalam konteks perdata. Sedangkan yang menyangkut hukum agama dikesampingkan.
"Pemohon mengajak kita semua kembali pada cara berpikir seperti zaman kolonial Belanda," kata Luthfie dalam sidang MK, Jakarta, Rabu (5/11/2014).
Luthfie berharap empat mantan mahasiswa Universitas Indonesia selaku pemohon diminta membaca kembali literatur mengenai hukum perkawinan.
Sebab, kata dia, melalui proses diskusi dan diplomasi panjang para pendiri negara bersama tokoh agama sudah memutuskan hukum perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
Luthfie berpendapat, tafsir hukum menurut pemohon yang menyatakan negara memiliki unsur 'memaksa' dalam hukum perkawinan dianggap sangat tidak beralasan. Sehingga MUI mendesak MK untuk menolak seluruh permohonan pemohon.
"Ketentuan-ketentuan pasal 2 ayat 1 tidak dapat dimaknai negara memaksa warga negaranya. Sejak undang-undang perkawinan disahkan, jauh sebelum pemohon lahir, pemohon terlalu membesar-besarkan persoalan tanpa referensi yang jelas," pungkasnya.
(hyk)