Batas Usia 16 Tahun Rampas Hak Perempuan
A
A
A
JAKARTA - Diperbolehkannya perempuan menikah pada usia 16 tahun dinilai telah merenggut kebebasan untuk tumbuh dan berkembang serta menghilangkan hak pendidikan.
Artinya, pemberlakuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1/1974 mengenai batasan usia perempuan diizinkan menikah berdampak pada diskriminasi pendidikan kaum perempuan. Atas aturan itu, anak perempuan hanya dapat mengakses kesempatan pendidikan sampai usia 16 tahun, sementara laki-laki bisa mengakses hingga perguruan tinggi.
”Jadi, ada dampak lanjutan sebagai akibat dari tingkat pendidikannya yang rendah dan berujung pada kemiskinan,” ungkap Ketua Pelaksana Harian Institut Kapal Perempuan Misiyah saat menjadi saksi uji materi UU Perkawinan di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, kemarin.
Dia menyebutkan, sekitar 43,85% perkawinan di bawah umur terjadi secara masif di seluruh provinsi. Menurut dia, angka ini cukup mengkhawatirkan jika melihat dampak lanjutan mengenai perkembangan perempuan, khususnya pendidikan dan pengetahuan. Karena itu, diperbolehkannya perempuan menikah di usia 16 tahun telah merenggut hak pendidikan yang menyebabkan kemiskinan. Dengan pendidikan rendah, ungkap Misiyah, langkah bagi perempuan mencapai kesejahteraan dan ikut bersuara dalam keluarga pun akan terhalang.
Biasanya mereka akan bekerja pada sektor informal dengan gaji rendah. Bahkan, kekerasan dalam rumah tangga pun sering terjadi di samping kualitas kesehatan reproduksi yang rendah. ”Jadi berakibat langsung terhadap menurunnya kualitas hidup perempuan,” paparnya. Karena itu, menurut Misiyah, berlakunya Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan Pasal 28 B ayat (2) UUD 1945 atas hak keberlangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Sudah seharusnya Indonesia tidak memiliki undang- undang yang melegalkan perkawinan di bawah umur. ”Sudah waktunya direvisi. Menaikkan usia perkawinan setara dengan laki-laki, yaitu 21 tahun atau minimal 18 tahun, sesuai dengan UU Perlindungan Anak,” desaknya. Ketua Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM Muhadjir Darwin menyatakan, secara tegas dalam Convention on the Right of the Child (CRC) dinyatakan bahwa usia perkawinan anak adalah di bawah 18 tahun. Dengan batas usia perkawinan 16 tahun, jelas melanggar hak anak.
”Konsep ini (CRC) membentuk prinsip perlindungan atas hak anak dalam kerangka hukum internasional. Masa kanak-kanak bukan hanya belajar, tetapi perlu perlindungan dari ancaman,” ungkap Muhadjir. Namun, menurut dia, perkawinan anak sering terjadi karena perkembangan budaya dan sosial ekonomi tempat tinggal. Sebut saja, kebanyakan orang yang melahirkan anak laki-laki maka orang tua akan berpikir tentang pendidikan. Sebab, laki-laki akan bertanggung jawab atas perempuan sehingga harus berkarier profesional.
Bagi masyarakat strata rendah, terkadang kemiskinan menyebabkan alasan mengapa menikahkan anaknya pada usia dini. Meski demikian, jika bicara dampaknya, Muhadjir menilai pernikahan anak menyumbang angka tinggi pada tindak aborsi. Uji materi UU Perkawinan ini diajukan Zumrotin selaku ketua Dewan Pengurus Yayasan Kesehatan Perempuan, Yayasan Pemantau Hak Anak, Hadiyatut Thoyyibah, dan Ramadhaniati.
Pembenaran perkawinan anak, khususnya pada perempuan, secara tegas dan jelas menunjukkan ancaman terhadap pemenuhan dan perlindungan hak anak.
Nurul adriyana
Artinya, pemberlakuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1/1974 mengenai batasan usia perempuan diizinkan menikah berdampak pada diskriminasi pendidikan kaum perempuan. Atas aturan itu, anak perempuan hanya dapat mengakses kesempatan pendidikan sampai usia 16 tahun, sementara laki-laki bisa mengakses hingga perguruan tinggi.
”Jadi, ada dampak lanjutan sebagai akibat dari tingkat pendidikannya yang rendah dan berujung pada kemiskinan,” ungkap Ketua Pelaksana Harian Institut Kapal Perempuan Misiyah saat menjadi saksi uji materi UU Perkawinan di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, kemarin.
Dia menyebutkan, sekitar 43,85% perkawinan di bawah umur terjadi secara masif di seluruh provinsi. Menurut dia, angka ini cukup mengkhawatirkan jika melihat dampak lanjutan mengenai perkembangan perempuan, khususnya pendidikan dan pengetahuan. Karena itu, diperbolehkannya perempuan menikah di usia 16 tahun telah merenggut hak pendidikan yang menyebabkan kemiskinan. Dengan pendidikan rendah, ungkap Misiyah, langkah bagi perempuan mencapai kesejahteraan dan ikut bersuara dalam keluarga pun akan terhalang.
Biasanya mereka akan bekerja pada sektor informal dengan gaji rendah. Bahkan, kekerasan dalam rumah tangga pun sering terjadi di samping kualitas kesehatan reproduksi yang rendah. ”Jadi berakibat langsung terhadap menurunnya kualitas hidup perempuan,” paparnya. Karena itu, menurut Misiyah, berlakunya Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan Pasal 28 B ayat (2) UUD 1945 atas hak keberlangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Sudah seharusnya Indonesia tidak memiliki undang- undang yang melegalkan perkawinan di bawah umur. ”Sudah waktunya direvisi. Menaikkan usia perkawinan setara dengan laki-laki, yaitu 21 tahun atau minimal 18 tahun, sesuai dengan UU Perlindungan Anak,” desaknya. Ketua Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM Muhadjir Darwin menyatakan, secara tegas dalam Convention on the Right of the Child (CRC) dinyatakan bahwa usia perkawinan anak adalah di bawah 18 tahun. Dengan batas usia perkawinan 16 tahun, jelas melanggar hak anak.
”Konsep ini (CRC) membentuk prinsip perlindungan atas hak anak dalam kerangka hukum internasional. Masa kanak-kanak bukan hanya belajar, tetapi perlu perlindungan dari ancaman,” ungkap Muhadjir. Namun, menurut dia, perkawinan anak sering terjadi karena perkembangan budaya dan sosial ekonomi tempat tinggal. Sebut saja, kebanyakan orang yang melahirkan anak laki-laki maka orang tua akan berpikir tentang pendidikan. Sebab, laki-laki akan bertanggung jawab atas perempuan sehingga harus berkarier profesional.
Bagi masyarakat strata rendah, terkadang kemiskinan menyebabkan alasan mengapa menikahkan anaknya pada usia dini. Meski demikian, jika bicara dampaknya, Muhadjir menilai pernikahan anak menyumbang angka tinggi pada tindak aborsi. Uji materi UU Perkawinan ini diajukan Zumrotin selaku ketua Dewan Pengurus Yayasan Kesehatan Perempuan, Yayasan Pemantau Hak Anak, Hadiyatut Thoyyibah, dan Ramadhaniati.
Pembenaran perkawinan anak, khususnya pada perempuan, secara tegas dan jelas menunjukkan ancaman terhadap pemenuhan dan perlindungan hak anak.
Nurul adriyana
(ars)