Revolusi Mental Harus Ada Tolok Ukurnya
A
A
A
JAKARTA - Gagasan revolusi mental yang digaungkan Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla dinilai sangat positif. Namun, gerakan tersebut butuh tolok ukur untuk mengetahui efektivitasnya.
Founder ESQ165 Ary Ginanjar Agustian mengatakan, pihaknya siap membantu untuk berpartisipasi mewujudkan kebijakan revolusi mental. Pihaknya telah menyiapkan satu unit training - ACT Consulting, untuk mencapai tujuan yang diharapkan. “Satu organisasi tidak hanya butuh strategi untuk mencapai tujuannya, tetapi juga butuh budaya organisasi yang baik. Mentalitas orang-orang dalam organisasi akan memengaruhi baik buruknya budaya organisasi tersebut,” kata pakar pembangunan karakter tersebut saat digelarnya ASEAN Corporate Culture Forum (ACCF) di ruang Andalusia, Menara 165, Jakarta, kemarin.
Lebih lanjut Ary mengungkapkan, mentalitas sumber daya penyelenggara negara sangat penting dan mempengaruhi keberhasilan dari tujuan yang ingin dicapai. Namun, tambah Ary, proses revolusi mental yang akan menjadi pekerjaan besar pemerintahan Jokowi-JK harus memiliki tolok ukur yang jelas. “Saya menamakan tolok ukur tersebut entropi level. Ini yang dapat melihat racun birokrasi. Entropi itu bisa berbentuk friksi, konflik, keresahan, ketidakpahaman, ketidakmengertian, tidak sama visi, ketidakjelasan nilai,” paparnya seusai menyampaikan presentasi kepada para pejabat pemerintahan dan perusahaan-perusahaan swasta yang hadir di forum itu.
Tolok ukur ini harus dimiliki pemerintahan Jokowi-JK, seperti juga pemerintahan pusat di banyak negara di seluruh dunia yang sudah melakukan ini. “Contoh ada dua negara yang pernah melakukan pengukuran ini, yakni Latvia pada 2007 diukur tingkat entropi levelnya mencapai 56 persen. Enam bulan setelah itu, pemerintahan Latvia jatuh dan terjadi huruhara. Islandia pada 2008 juga seperti itu entropinya mencapai 50 persen,” terang Ary.
Menurut Ary, entropi level dianggap aman jika hanya berada pada angka 10%. Namun, jika lebih dari itu harus segera diatasi. “Ibarat orang sakit, kalau 20-30% itu rawat jalan, 30-40% harus rawat inap, dan 40-50% masuk ruang gawat darurat. Untuk dapat mengukur dan memberikan solusi, kami punya alat ukurnya yang berstandar internasional,” jelas Ary. Ary mengungkapkan, dengan adanya tolok ukur ini dapat memotivasi setiap orang untuk memperbaiki diri.
“Selama ini kinerja pemerintah hanya dari nilai sisi keuangan, Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dan penyerapan anggaran. Tapi tidak diukur bagaimana budaya kerja serta kondisimental. Nah , dengantolok ukur ini maka orang akan berlomba- lomba menunjukkan angka terbaiknya.
Misalkan seorang menteri menargetkan 10%, dia akan berusaha mencapainya. Misalnya dengan memperbaiki sistem, memperbaiki leadershipnya, dan nilai-nilainya,” tegas dia.
Neneng zubaedah
Founder ESQ165 Ary Ginanjar Agustian mengatakan, pihaknya siap membantu untuk berpartisipasi mewujudkan kebijakan revolusi mental. Pihaknya telah menyiapkan satu unit training - ACT Consulting, untuk mencapai tujuan yang diharapkan. “Satu organisasi tidak hanya butuh strategi untuk mencapai tujuannya, tetapi juga butuh budaya organisasi yang baik. Mentalitas orang-orang dalam organisasi akan memengaruhi baik buruknya budaya organisasi tersebut,” kata pakar pembangunan karakter tersebut saat digelarnya ASEAN Corporate Culture Forum (ACCF) di ruang Andalusia, Menara 165, Jakarta, kemarin.
Lebih lanjut Ary mengungkapkan, mentalitas sumber daya penyelenggara negara sangat penting dan mempengaruhi keberhasilan dari tujuan yang ingin dicapai. Namun, tambah Ary, proses revolusi mental yang akan menjadi pekerjaan besar pemerintahan Jokowi-JK harus memiliki tolok ukur yang jelas. “Saya menamakan tolok ukur tersebut entropi level. Ini yang dapat melihat racun birokrasi. Entropi itu bisa berbentuk friksi, konflik, keresahan, ketidakpahaman, ketidakmengertian, tidak sama visi, ketidakjelasan nilai,” paparnya seusai menyampaikan presentasi kepada para pejabat pemerintahan dan perusahaan-perusahaan swasta yang hadir di forum itu.
Tolok ukur ini harus dimiliki pemerintahan Jokowi-JK, seperti juga pemerintahan pusat di banyak negara di seluruh dunia yang sudah melakukan ini. “Contoh ada dua negara yang pernah melakukan pengukuran ini, yakni Latvia pada 2007 diukur tingkat entropi levelnya mencapai 56 persen. Enam bulan setelah itu, pemerintahan Latvia jatuh dan terjadi huruhara. Islandia pada 2008 juga seperti itu entropinya mencapai 50 persen,” terang Ary.
Menurut Ary, entropi level dianggap aman jika hanya berada pada angka 10%. Namun, jika lebih dari itu harus segera diatasi. “Ibarat orang sakit, kalau 20-30% itu rawat jalan, 30-40% harus rawat inap, dan 40-50% masuk ruang gawat darurat. Untuk dapat mengukur dan memberikan solusi, kami punya alat ukurnya yang berstandar internasional,” jelas Ary. Ary mengungkapkan, dengan adanya tolok ukur ini dapat memotivasi setiap orang untuk memperbaiki diri.
“Selama ini kinerja pemerintah hanya dari nilai sisi keuangan, Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dan penyerapan anggaran. Tapi tidak diukur bagaimana budaya kerja serta kondisimental. Nah , dengantolok ukur ini maka orang akan berlomba- lomba menunjukkan angka terbaiknya.
Misalkan seorang menteri menargetkan 10%, dia akan berusaha mencapainya. Misalnya dengan memperbaiki sistem, memperbaiki leadershipnya, dan nilai-nilainya,” tegas dia.
Neneng zubaedah
(ars)