Jabatan Karier Guru Harus Sesuai Kompetensi
A
A
A
JAKARTA - Rencana penerapan jabatan karier pada guru untuk menjadi kepala sekolah hingga kepala dinas harus sesuai dengan kompetensi jabatan masing-masing. Karena itu, harus ada penilaian kompetensi kembali untuk menapaki karier berikutnya.
Mantan Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Wamenpan dan RB) Eko Prasojo mengatakan, jabatan karier pada guru tidak semestinya berjenjang. Jika memang guru itu indeks kinerjanya baik, maka tidak otomatis dia menjabat sebagai kepala sekolah hingga kepala dinas. Pasalnya, kompetensi kepala sekolah berbeda dengan guru, sehingga harus ada penilaian kompetensi lagi jika ingin kariernya meningkat. “Proses pengisian jabatan administrasi seperti kepala sekolah harus tetap memperhatikan kompetensi yang bersangkutan,” tandas Eko kepada KORAN SINDO kemarin.
Guru Besar Ilmu Administrasi UI ini mengatakan, menurut konsep UU Aparatur Sipil Negara (ASN), guru adalah jabatan fungsional sehingga kariernya adalah fungsional. Sedangkan kepala sekolah, menurut Eko, adalah jabatan administrasi sebagai tugas tambahan guru. Jika tidak dipisahkan, maka akan mengganggu pola karier, karena orang akan berebut menjadi kepala sekolah daripada guru.
Karena itu, ujarnya, sebelum guru menjabat sebagai kepala sekolah, harus ada penilaian kompetensi yang berkelanjutan. Seleksi kepala sekolah bisa dilakukan melalui lelang jabatan kepala sekolah. Hal ini pernah dilakukan Pemprov DKI Jakarta dengan sistem lelang jabatannya. Lelang jabatan kepala sekolah dinilai Eko sebagai langkah berani karena mencegah politik transaksional dalam pengisian jabatan. Promosi terbuka atau open carrier system ini dinilai menjadi ciri khas reformasi birokrasi yang memaksa orang pindah dari comfort zone nya ke arah yang lebih baik.
Ketua Litbang Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Mohammad Abduhzen berpendapat, kebijakan jabatan karier guru tidak relevan dan signifikan. Pasalnya, kinerja guru memang perlu diperbaiki. Namun, guru yang baik belum tentu berkompeten menjadi kepala sekolah hingga kepala dinas. Jika jabatan itu hanya sebagai insentif saja, maka guru yang baik juga sedikit yang berminat atau tertarik menduduki jabatan keduanya. “Antara kecakapan dan kecintaan pada profesi mengajar dengan kemampuan leadership dan manajemen juga berbeda,” ungkapnya.
Ahli hukum tata negara Universitas Khairun, Ternate, Margarito Kamis menilai, gagasan pemerintah yang membuat indeks kinerja guru merupakan cara terbaik untuk mengatur syarat yang harus dipenuhi oleh guru agar bisa diangkat menjadi kepala sekolah. Adanya pengaturan jabatan ini, menurutnya, sangat penting di tengah manuver para calo jabatan yang bermain di daerah.
Margarito mengatakan, dengan adanya jabatan karier ini, maka akan menjadi batasan ketat bagi bupati atau wali kota untuk mengangkat kepala sekolah. Kepala daerah, ujarnya, tidak jarang mengangkat guru menjadi kepala sekolah hanya untuk sekadar balas budi atas keterlibatannya dalam tim sukses pemilihan kepala daerah. “Pada titik ini saya berpendapat gagasan Kemendikbud tepat sekali,” tandasnya.
Sebelumnya, Kemendikbud mengusulkan guru menjadi jabatan karier di daerah. Jabatan karier ini akan menjadi pemacu untuk meningkatkan mutu pendidikan karena pengangkatannya selama ini asal comot saja. Jabatan karier ini menjadi bentuk punishment and reward untuk menyelesaikan masalah prinsipil di sekolah, yakni bagaimana menciptakan kultur sehat.
Kultur sehat ini dibangun oleh guru dan kepala sekolah dengan kultur yang baik. Jika ingin guru dan kepala sekolah menciptakan kultur yang baik, maka harus ada jabatan karier pada guru dan kepala sekolah.
Neneng zubaidah
SABTU 25 OKTOBER 2014
Mantan Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Wamenpan dan RB) Eko Prasojo mengatakan, jabatan karier pada guru tidak semestinya berjenjang. Jika memang guru itu indeks kinerjanya baik, maka tidak otomatis dia menjabat sebagai kepala sekolah hingga kepala dinas. Pasalnya, kompetensi kepala sekolah berbeda dengan guru, sehingga harus ada penilaian kompetensi lagi jika ingin kariernya meningkat. “Proses pengisian jabatan administrasi seperti kepala sekolah harus tetap memperhatikan kompetensi yang bersangkutan,” tandas Eko kepada KORAN SINDO kemarin.
Guru Besar Ilmu Administrasi UI ini mengatakan, menurut konsep UU Aparatur Sipil Negara (ASN), guru adalah jabatan fungsional sehingga kariernya adalah fungsional. Sedangkan kepala sekolah, menurut Eko, adalah jabatan administrasi sebagai tugas tambahan guru. Jika tidak dipisahkan, maka akan mengganggu pola karier, karena orang akan berebut menjadi kepala sekolah daripada guru.
Karena itu, ujarnya, sebelum guru menjabat sebagai kepala sekolah, harus ada penilaian kompetensi yang berkelanjutan. Seleksi kepala sekolah bisa dilakukan melalui lelang jabatan kepala sekolah. Hal ini pernah dilakukan Pemprov DKI Jakarta dengan sistem lelang jabatannya. Lelang jabatan kepala sekolah dinilai Eko sebagai langkah berani karena mencegah politik transaksional dalam pengisian jabatan. Promosi terbuka atau open carrier system ini dinilai menjadi ciri khas reformasi birokrasi yang memaksa orang pindah dari comfort zone nya ke arah yang lebih baik.
Ketua Litbang Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Mohammad Abduhzen berpendapat, kebijakan jabatan karier guru tidak relevan dan signifikan. Pasalnya, kinerja guru memang perlu diperbaiki. Namun, guru yang baik belum tentu berkompeten menjadi kepala sekolah hingga kepala dinas. Jika jabatan itu hanya sebagai insentif saja, maka guru yang baik juga sedikit yang berminat atau tertarik menduduki jabatan keduanya. “Antara kecakapan dan kecintaan pada profesi mengajar dengan kemampuan leadership dan manajemen juga berbeda,” ungkapnya.
Ahli hukum tata negara Universitas Khairun, Ternate, Margarito Kamis menilai, gagasan pemerintah yang membuat indeks kinerja guru merupakan cara terbaik untuk mengatur syarat yang harus dipenuhi oleh guru agar bisa diangkat menjadi kepala sekolah. Adanya pengaturan jabatan ini, menurutnya, sangat penting di tengah manuver para calo jabatan yang bermain di daerah.
Margarito mengatakan, dengan adanya jabatan karier ini, maka akan menjadi batasan ketat bagi bupati atau wali kota untuk mengangkat kepala sekolah. Kepala daerah, ujarnya, tidak jarang mengangkat guru menjadi kepala sekolah hanya untuk sekadar balas budi atas keterlibatannya dalam tim sukses pemilihan kepala daerah. “Pada titik ini saya berpendapat gagasan Kemendikbud tepat sekali,” tandasnya.
Sebelumnya, Kemendikbud mengusulkan guru menjadi jabatan karier di daerah. Jabatan karier ini akan menjadi pemacu untuk meningkatkan mutu pendidikan karena pengangkatannya selama ini asal comot saja. Jabatan karier ini menjadi bentuk punishment and reward untuk menyelesaikan masalah prinsipil di sekolah, yakni bagaimana menciptakan kultur sehat.
Kultur sehat ini dibangun oleh guru dan kepala sekolah dengan kultur yang baik. Jika ingin guru dan kepala sekolah menciptakan kultur yang baik, maka harus ada jabatan karier pada guru dan kepala sekolah.
Neneng zubaidah
SABTU 25 OKTOBER 2014
(bbg)