Menanti Kado Persatuan dari Garuda Jaya
A
A
A
TIMNAS U-19 memulai misi besar menapak pentas dunia. Hari ini Evan Dimas Dkk akan memulai laga pertama di Piala Asian Football Confederation (AFC) 2014 di Myanmar kontra Uzbekistan. Selanjutnya, berturut-turut menghadapi lawan yang tak kalah beratnya, Australia dan Uni Emirat Arab (UEA).
Bangsa ini tentu berharap berhasil memetik poin sempurna hingga bisa lolos ke fase selanjutnya. Kalau bisa, anak asuh Indra Sjafri tersebut bahkan bukan hanya lolos empat besar hingga bisa berlaga Piala Dunia U-20 2015 di Selandia Baru nanti, tapi juga menjadi jawara. Harapan terhadap tim yang berjuluk Garuda Jaya bisa meraih target maksimal di Myanmar masuk akal karena inilah puncak dari penantian panjang setelah berhasil meraih juara pada event AFF U-19 2013.
Harapan itu juga wajar karena timnas sudah menempa diri dengan sejumlah program seperti pemusatan latihan yang cukup panjang dan penambahan pemain baru.
Meski hasil kurang memuaskan, persiapan panjang—melalui Tur Nusantara Jilid I-II, laga persahabatan dengan sejumlah negara, mengikuti turnamen Hassanal Bolkiah Trophy di Brunei Darussalam, dan melakoni Tur Spanyol—juga diharapkan bisa memperkuat fisik dan psikis pemain dan pengalaman bertanding hingga timnas bisa tampil trengginas. Persembahan kemenangan sudah barang tentu membawa kebanggaan bangsa ini di tengah minim prestasi di dunia olahraga.
Terlebih pada event Asian Games 2014 di Incheon, Korea Selatan beberapa waktu lalu Indonesia gagal total mewujudkan target masuk 10 besar. Sedangkan untuk timnas, juara akan menjadi momen emosional bersejarah karena merebut kembali trofi yang pernah direngkuh 53 tahun lalu. Namun, di balik kebanggaan akan prestasi, timnas U-19 secara tidak langsung membawa misi tak kalah berat, merekatkan kembali tali persatuan dan kesatuan bangsa oleh perseteruan politik.
Perpecahan itu masih menganga hingga detik ini akibat rentetan pertarungan politik Koalisi Indonesia Hebat versus Koalisi Merah Putih yang entah kapan berakhir. Hiruk-pikuk sepak bola bukan sekadar mengalihkan perhatian bangsa ini, melainkan juga kembali menyadarkan bahwa persatuan dan kesatuan sangatlah penting, termasuk untuk sebuah nationstate bernama Indonesia ini.
Kado kemenangan bisa menyempurnakan misi bahwa persatuan dan kesatuan serta kebanggaan sebagai satu bangsa lebih dari segalanya. Sepak bola dan misi kebangsaan sejatinya bisa menjadi dua sisi pada koin yang sama yaitu bisa berjalan searah.
Terlebih, dalam diri sepak bola juga mengandung semangat persatuan dan kesatuan. Pakem klasik bola menyebutkan bahwa sepak bola sejatinya perpaduan antara keterampilan perorangan mengolah bola dan merajut kebersamaan.
Bagi sepak bola Tanah Air, membawa misi perekat kebangsaan sejatinya sudah menjadi bagian hidupnya walau seringkali lebih banyak teralienasi dengan perseteruan abadi antarklub dan para pendukung masing-masing. Belum lagi pertarungan antarelite bola demi memperebutkan prestise kekuasaan di Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI).
Misi dimaksud secara jelas ditunjukkan Soeratin saat menggagas pertemuan besar pada 19 April 1930 yang melibatkan berbagai perserikatan sepak bola di era Hindia Belanda saat itu. Pertemuan yang kemudian melahirkan PSSI (saat itu bernama Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia). PSSI pun kemudian secara tidak langsung menjadi alat persatuan melawan penjajah Belanda yang saat itu telah mendirikan NIVB (Nederlandsch-Indische Voetball).
Dalam bahasa daerah di Nusa Tenggara Timur, sepak bola memperkokoh “kolo sa toko tali sa tebu”(rasa persatuan dan kesatuan sebagai anak bangsa). Pertarungan di AFC 2014 jelas tidak mudah. Karena itu, dukungan dan doa seluruh masyarakat sangat dibutuhkan sehingga Indra Sjafrie berhasil membawa pulang dua kado sekaligus, kado sebagai juara dan kado persatuan dan kesatuan bangsa.
Bangsa ini tentu berharap berhasil memetik poin sempurna hingga bisa lolos ke fase selanjutnya. Kalau bisa, anak asuh Indra Sjafri tersebut bahkan bukan hanya lolos empat besar hingga bisa berlaga Piala Dunia U-20 2015 di Selandia Baru nanti, tapi juga menjadi jawara. Harapan terhadap tim yang berjuluk Garuda Jaya bisa meraih target maksimal di Myanmar masuk akal karena inilah puncak dari penantian panjang setelah berhasil meraih juara pada event AFF U-19 2013.
Harapan itu juga wajar karena timnas sudah menempa diri dengan sejumlah program seperti pemusatan latihan yang cukup panjang dan penambahan pemain baru.
Meski hasil kurang memuaskan, persiapan panjang—melalui Tur Nusantara Jilid I-II, laga persahabatan dengan sejumlah negara, mengikuti turnamen Hassanal Bolkiah Trophy di Brunei Darussalam, dan melakoni Tur Spanyol—juga diharapkan bisa memperkuat fisik dan psikis pemain dan pengalaman bertanding hingga timnas bisa tampil trengginas. Persembahan kemenangan sudah barang tentu membawa kebanggaan bangsa ini di tengah minim prestasi di dunia olahraga.
Terlebih pada event Asian Games 2014 di Incheon, Korea Selatan beberapa waktu lalu Indonesia gagal total mewujudkan target masuk 10 besar. Sedangkan untuk timnas, juara akan menjadi momen emosional bersejarah karena merebut kembali trofi yang pernah direngkuh 53 tahun lalu. Namun, di balik kebanggaan akan prestasi, timnas U-19 secara tidak langsung membawa misi tak kalah berat, merekatkan kembali tali persatuan dan kesatuan bangsa oleh perseteruan politik.
Perpecahan itu masih menganga hingga detik ini akibat rentetan pertarungan politik Koalisi Indonesia Hebat versus Koalisi Merah Putih yang entah kapan berakhir. Hiruk-pikuk sepak bola bukan sekadar mengalihkan perhatian bangsa ini, melainkan juga kembali menyadarkan bahwa persatuan dan kesatuan sangatlah penting, termasuk untuk sebuah nationstate bernama Indonesia ini.
Kado kemenangan bisa menyempurnakan misi bahwa persatuan dan kesatuan serta kebanggaan sebagai satu bangsa lebih dari segalanya. Sepak bola dan misi kebangsaan sejatinya bisa menjadi dua sisi pada koin yang sama yaitu bisa berjalan searah.
Terlebih, dalam diri sepak bola juga mengandung semangat persatuan dan kesatuan. Pakem klasik bola menyebutkan bahwa sepak bola sejatinya perpaduan antara keterampilan perorangan mengolah bola dan merajut kebersamaan.
Bagi sepak bola Tanah Air, membawa misi perekat kebangsaan sejatinya sudah menjadi bagian hidupnya walau seringkali lebih banyak teralienasi dengan perseteruan abadi antarklub dan para pendukung masing-masing. Belum lagi pertarungan antarelite bola demi memperebutkan prestise kekuasaan di Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI).
Misi dimaksud secara jelas ditunjukkan Soeratin saat menggagas pertemuan besar pada 19 April 1930 yang melibatkan berbagai perserikatan sepak bola di era Hindia Belanda saat itu. Pertemuan yang kemudian melahirkan PSSI (saat itu bernama Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia). PSSI pun kemudian secara tidak langsung menjadi alat persatuan melawan penjajah Belanda yang saat itu telah mendirikan NIVB (Nederlandsch-Indische Voetball).
Dalam bahasa daerah di Nusa Tenggara Timur, sepak bola memperkokoh “kolo sa toko tali sa tebu”(rasa persatuan dan kesatuan sebagai anak bangsa). Pertarungan di AFC 2014 jelas tidak mudah. Karena itu, dukungan dan doa seluruh masyarakat sangat dibutuhkan sehingga Indra Sjafrie berhasil membawa pulang dua kado sekaligus, kado sebagai juara dan kado persatuan dan kesatuan bangsa.
(nfl)