To Suprapto, Pelopor Pertanian Terpadu
A
A
A
JAKARTA - Berbekal pengalamannya mengikuti pembelajaran pertanian terpadu menuju kedaulatan pangan dan mewujudkan kemandirian petani tahun 1989-1999, To Suprapto bertekad mewujudkan perubahan taraf hidup para petani.
Selama ini petani banyak mendapat tekanan ekonomi (bibit, obat, serta pupuk harus membeli), alam (kondisi cuaca yang tak menentu), sosial (strata petani dianggap paling rendah), budaya, globalisme, dan kebijakan pemerintah.
Selain itu harga ditentukan pembeli, atau tengkulak. Jadi kondisi ini membuat pria kelahiran Sleman 30 Januari 1957 ini merasa tak adil.
Suprapto mempelopori model pertanian berkelanjutan dan terpadu yang berpihak pada petani, menerapkan program bertani organik sebagai pilar kemandirian masyarakat, dan pengendalian hama terpadu.
Agar prinsip hidup “Besok makan apa kita tinggal milih, karena kita punya, bukannya kita makan siapa” dapat terwujud, Suprapto menerapkan sistem diversifikasi pangan, agar setiap bulannya masyarakat dapat panen dan mendapatkan hasil berkelanjutan.
Suprapto juga melakukan regenerasi tani dengan melibatkan pemuda dalam setiap kegiatannya. Bahkan, dari uang pribadinya, ia menyiapkan Sumber Daya Manusia yang lebih baik dengan menyekolahkan remaja-remaja berpotensi ke perguruan tinggi fakultas pertanian, sehingga saat lulus nanti dapat kembali ke desa dan bersama-sama menbangun desa.
Melihat keberhasilannya mengangkat taraf hidup para petani di Sleman, Yogyakarta, To Suprapto kerap kali diundang ke seluruh wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke untuk berbagi pengalaman dan pendampingan.
Selama ini petani banyak mendapat tekanan ekonomi (bibit, obat, serta pupuk harus membeli), alam (kondisi cuaca yang tak menentu), sosial (strata petani dianggap paling rendah), budaya, globalisme, dan kebijakan pemerintah.
Selain itu harga ditentukan pembeli, atau tengkulak. Jadi kondisi ini membuat pria kelahiran Sleman 30 Januari 1957 ini merasa tak adil.
Suprapto mempelopori model pertanian berkelanjutan dan terpadu yang berpihak pada petani, menerapkan program bertani organik sebagai pilar kemandirian masyarakat, dan pengendalian hama terpadu.
Agar prinsip hidup “Besok makan apa kita tinggal milih, karena kita punya, bukannya kita makan siapa” dapat terwujud, Suprapto menerapkan sistem diversifikasi pangan, agar setiap bulannya masyarakat dapat panen dan mendapatkan hasil berkelanjutan.
Suprapto juga melakukan regenerasi tani dengan melibatkan pemuda dalam setiap kegiatannya. Bahkan, dari uang pribadinya, ia menyiapkan Sumber Daya Manusia yang lebih baik dengan menyekolahkan remaja-remaja berpotensi ke perguruan tinggi fakultas pertanian, sehingga saat lulus nanti dapat kembali ke desa dan bersama-sama menbangun desa.
Melihat keberhasilannya mengangkat taraf hidup para petani di Sleman, Yogyakarta, To Suprapto kerap kali diundang ke seluruh wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke untuk berbagi pengalaman dan pendampingan.
(kri)