3 Dalil SBY Bakal Gagal Gugat UU Pilkada
A
A
A
JAKARTA - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Demokrat diprediksi gagal menggugat atau judicial review UU Pilkada ke MK.
DPP Gerindra bidang hukum dan advokasi, Habiburokhman menilai, setidaknya ada tiga alasan SBY bakal kesulitan membatalkan Undang-undang (UU) Pilkada yang sudah disahkan DPR itu.
Pertama, presiden melalui Mendagri dianggap sebagai pihak yang mengajukan RUU tersebut ke DPR, sekaligus pihak yang turut mensahkan RUU menjadi UU, sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi.
"Setiap RUU dibahas oleh DPR dan presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama," kata Habib mengutip pasal dalam UUD 1945, melalui pesan singkat yang diterima Sindonews, Jakarta, Selasa 30 September 2014.
Habib menjelaskan, sejak terpilih kembali sebagai presiden untuk kedua kalinya, posisi SBY bukan lagi sebagai warga negara biasa, melainkan sudah menjadi pranata badan hukum konstitusi yang memegang kekuasaan pemerintahan sebagaimana diatur Pasal 4 ayat (1) UUD 1945.
Dilanjutkan dia, alasan kedua menurut Habib, SBY sebagai kepala pemerintah tidak bisa mengeluarkan Perppu Pilkada untuk mengganti UU Pilkada.
"Atas dasar apa SBY mengeluarkan Perppu, sementara tidak ada kegentingan yang memaksa sebagaimana disyaratkan oleh Pasal 22 ayat (1) UUD 1945," ucapnya.
Menurut Habib, kesepakatan soal hasil UU Pilkada hanya aksi protes dari sejumlah pihak yang tidak setuju dengan mekanisme pemilihan.
Sedangkan alasan ketiga, Demokrat yang dipimpin SBY tidak memiliki legal standing untuk mengguggat hasil UU Pilkada ke MK. Soalnya, Demokrat satu di antara partai yang terlibat dalam perumusan dan pengesahan UU tersebut.
"Hal ini mengacu pada Putusan MK dalam Perkara 73/PUU-XII/2014 Tentang Uji Materiil UU MD3 kemarin yang menolak legal standing PDIP kemarin. Karena PDIP adalah partai politik memiliki kursi terbanyak di parlemen," pungkasnya.
DPP Gerindra bidang hukum dan advokasi, Habiburokhman menilai, setidaknya ada tiga alasan SBY bakal kesulitan membatalkan Undang-undang (UU) Pilkada yang sudah disahkan DPR itu.
Pertama, presiden melalui Mendagri dianggap sebagai pihak yang mengajukan RUU tersebut ke DPR, sekaligus pihak yang turut mensahkan RUU menjadi UU, sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi.
"Setiap RUU dibahas oleh DPR dan presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama," kata Habib mengutip pasal dalam UUD 1945, melalui pesan singkat yang diterima Sindonews, Jakarta, Selasa 30 September 2014.
Habib menjelaskan, sejak terpilih kembali sebagai presiden untuk kedua kalinya, posisi SBY bukan lagi sebagai warga negara biasa, melainkan sudah menjadi pranata badan hukum konstitusi yang memegang kekuasaan pemerintahan sebagaimana diatur Pasal 4 ayat (1) UUD 1945.
Dilanjutkan dia, alasan kedua menurut Habib, SBY sebagai kepala pemerintah tidak bisa mengeluarkan Perppu Pilkada untuk mengganti UU Pilkada.
"Atas dasar apa SBY mengeluarkan Perppu, sementara tidak ada kegentingan yang memaksa sebagaimana disyaratkan oleh Pasal 22 ayat (1) UUD 1945," ucapnya.
Menurut Habib, kesepakatan soal hasil UU Pilkada hanya aksi protes dari sejumlah pihak yang tidak setuju dengan mekanisme pemilihan.
Sedangkan alasan ketiga, Demokrat yang dipimpin SBY tidak memiliki legal standing untuk mengguggat hasil UU Pilkada ke MK. Soalnya, Demokrat satu di antara partai yang terlibat dalam perumusan dan pengesahan UU tersebut.
"Hal ini mengacu pada Putusan MK dalam Perkara 73/PUU-XII/2014 Tentang Uji Materiil UU MD3 kemarin yang menolak legal standing PDIP kemarin. Karena PDIP adalah partai politik memiliki kursi terbanyak di parlemen," pungkasnya.
(maf)