Bupati Purwakarta Bicara Soal Kearifan Lokal
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah daerah dalam upayanya menumbuhkan kearifan lokal mendapati berbagai macam hambatan. Di antaranya pemahaman tentang modernisasi dan agama.
”Modernisasi seolah menjadi sebuah keharusan. Modernisasi seolah-olah meninggalkan dirinya. Jika seseorang tidak mengikuti perkembangan zaman dianggap tidak modern,” kata Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi kepada Sindonews, saat acara Roundtable Discussion Koran Sindo, Jakarta, Rabu (17/9/2014).
Padahal, lanjut Dedi, jika kita memiliki kekuatan dalam mempertahankan budaya dan kearifan lokal, kita akan menjadi bangsa yang kuat.
“Kuat, karena kita memiliki identitas yang unik dan pastinya berbeda dengan budaya lain,” tambah Dedi.
Menurutnya, hambatan kedua untuk mengembalikan diri pada kearifan lokal adanya pemahaman agama. “Maksudnya adalah seringkali kaum tradisional dihadapkan pada pemahaman-pemahaman agama yang membuat mereka menjadi risih dalam berperilaku kebudayaan,” tutur Dedi.
Dedi memberikan contoh sebuah upaya memunculkan kearifan lokal tanpa harus meninggalkan ajaran agama. “Nantinya ada Islam Bandung, Islam Purwakarta, Islam Indramayu jadi Islam itu tidak harus seperti di Arab sana. Perilakunya yang penting sudah Islam. Saya Islam, orang Sunda, saya bisa menggunakan baju khas Sunda untuk salat,” tutur Dedi.
Dia menambahkan, ini berdampak pada psikologi kaum tradisional. Dipisahkannya antara nilai ibadah dan ritual.
“Ketika kita menanam padi itu sebenarnya sudah ibadah. Ada lagi contoh lainnya kalau orang sufi menari muter-muter itu mereka anggap ibadah. Kita mengapa tidak bisa menari jaipong itu kan bisa dianggap sebagai ibadah juga,” tutupnya.
”Modernisasi seolah menjadi sebuah keharusan. Modernisasi seolah-olah meninggalkan dirinya. Jika seseorang tidak mengikuti perkembangan zaman dianggap tidak modern,” kata Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi kepada Sindonews, saat acara Roundtable Discussion Koran Sindo, Jakarta, Rabu (17/9/2014).
Padahal, lanjut Dedi, jika kita memiliki kekuatan dalam mempertahankan budaya dan kearifan lokal, kita akan menjadi bangsa yang kuat.
“Kuat, karena kita memiliki identitas yang unik dan pastinya berbeda dengan budaya lain,” tambah Dedi.
Menurutnya, hambatan kedua untuk mengembalikan diri pada kearifan lokal adanya pemahaman agama. “Maksudnya adalah seringkali kaum tradisional dihadapkan pada pemahaman-pemahaman agama yang membuat mereka menjadi risih dalam berperilaku kebudayaan,” tutur Dedi.
Dedi memberikan contoh sebuah upaya memunculkan kearifan lokal tanpa harus meninggalkan ajaran agama. “Nantinya ada Islam Bandung, Islam Purwakarta, Islam Indramayu jadi Islam itu tidak harus seperti di Arab sana. Perilakunya yang penting sudah Islam. Saya Islam, orang Sunda, saya bisa menggunakan baju khas Sunda untuk salat,” tutur Dedi.
Dia menambahkan, ini berdampak pada psikologi kaum tradisional. Dipisahkannya antara nilai ibadah dan ritual.
“Ketika kita menanam padi itu sebenarnya sudah ibadah. Ada lagi contoh lainnya kalau orang sufi menari muter-muter itu mereka anggap ibadah. Kita mengapa tidak bisa menari jaipong itu kan bisa dianggap sebagai ibadah juga,” tutupnya.
(kri)