DPR Imbau Sengketa Tanah Diselesaikan Secara Hukum
A
A
A
JAKARTA - Sengketa perselisihan soal tanah harus diselesaikan secara hukum. Bukan dengan cara tidak beradab atau premanisme.
Hal itu dikatakan Anggota DPR Tubagus Ace Hasan Sadzili. Menurutnya, cara premanisme hanya akan menimbulkan masalah baru, bukan menyelesaikan masalah.
“Serahkan pada hukum. Karena kita negara hukum dan sengketa itu akan selesai jika masing-masing pihak memiliki dasar hukum yang kuat, yakni surat atau bukti kepemilikan tanah,” kata Tubagus Ace kepada wartawan, di Jakarta, Jumat (12/9/2014).
Politikus muda Golkar ini menekankan, sudah banyak pengalaman dalam berbagai sengketa tanah, jika diselesaikan dengan cara premanisme hanya menimbulkan masalah berkepanjangan.
“Kita mengajak masyarakat untuk sadar hukum dan menyerahkan persoalan sengketa pada hukum, sehingga akhir dari sengketa itu memiliki dasar hukum yang kuat,” tegasnya.
Ace, begitu panggilan akrab anggota Komisi VIII DPR ini menambahkan, hukum mempunyai mekanisme penyelesaian bagi setiap perselisihan, termasuk perselisihan mengenai kepemilikan tanah, lahan atau rumah.
“Sekali lagi, saya hanya ingatkan bahwa cara –cara pengerahan massa adalah cara penyelesaian yang tidak beradab. Mari kita junjung tinggi hukum, apalagi negara kuta adalah negara hukum,” paparnya.
Seperti diketahui, saat ini terjadi sengketa tanah di desa Wanasari, Wanakerta, dan Margamulya, Teluk Jambe Karawang, Jawa Barat (Jabar).
Dalam kasus ini ada indikasi jelas upaya pengerahan massa saat dilakukannya proses eksekusi oleh Pengadilan Negeri Karawang atas tanah yang telah mendapatkan kepastian hukum yang tetap dan mengikat. Masyarakat didorong-dorong di barisan terdepan menghadapi aparat.
Untungnya, eksekusi 24 Juni 2014 itu berjalan terkendali dan tanpa akhir yang dramatis. Padahal, di media sempat dibangun opini kalau eksekusi ini bisa berakhir seperti kasus Mesuji di era prareformasi dulu.
Meskipun demikian, setelah eksekusi, tetap saja berkembang opini bahwa aparat bertindak brutal dalam menghalau massa dan mengakibatkan jatuhnya korban dari kalangan petani.
Hal ini dibantah keras oleh Kapolres Karawang AKBP Daddy Hartadi. "Petani, tidak ada petani disini. Enggak ada yang ditembak, semua kondusif," kata Daddy Hartadi.
Jauh sebelum aksi menentang proses eksekusi, 11 Juli 2013, masyarakat juga pernah digerakkan untuk menutup jalan tol Jakarta-Cikampek di Kilometer 44, tepatnya di wilayah Kecamatan Telukjambe Barat.
Akibat aksi pemblokiran jalan itu, kemacetan parah terjadi di sepanjang jalan Tol Jakarta-Cikampek, baik dari arah Jakarta atau sebaliknya.
Aparat kepolisian dari Polres Karawang sempat membubarkan pengunjukrasa dengan menggunakan water canon. Namun, warga tidak juga bubar dan melakukan aksi perlawanan dengan melakukan pelemparan batu.
Hal itu dikatakan Anggota DPR Tubagus Ace Hasan Sadzili. Menurutnya, cara premanisme hanya akan menimbulkan masalah baru, bukan menyelesaikan masalah.
“Serahkan pada hukum. Karena kita negara hukum dan sengketa itu akan selesai jika masing-masing pihak memiliki dasar hukum yang kuat, yakni surat atau bukti kepemilikan tanah,” kata Tubagus Ace kepada wartawan, di Jakarta, Jumat (12/9/2014).
Politikus muda Golkar ini menekankan, sudah banyak pengalaman dalam berbagai sengketa tanah, jika diselesaikan dengan cara premanisme hanya menimbulkan masalah berkepanjangan.
“Kita mengajak masyarakat untuk sadar hukum dan menyerahkan persoalan sengketa pada hukum, sehingga akhir dari sengketa itu memiliki dasar hukum yang kuat,” tegasnya.
Ace, begitu panggilan akrab anggota Komisi VIII DPR ini menambahkan, hukum mempunyai mekanisme penyelesaian bagi setiap perselisihan, termasuk perselisihan mengenai kepemilikan tanah, lahan atau rumah.
“Sekali lagi, saya hanya ingatkan bahwa cara –cara pengerahan massa adalah cara penyelesaian yang tidak beradab. Mari kita junjung tinggi hukum, apalagi negara kuta adalah negara hukum,” paparnya.
Seperti diketahui, saat ini terjadi sengketa tanah di desa Wanasari, Wanakerta, dan Margamulya, Teluk Jambe Karawang, Jawa Barat (Jabar).
Dalam kasus ini ada indikasi jelas upaya pengerahan massa saat dilakukannya proses eksekusi oleh Pengadilan Negeri Karawang atas tanah yang telah mendapatkan kepastian hukum yang tetap dan mengikat. Masyarakat didorong-dorong di barisan terdepan menghadapi aparat.
Untungnya, eksekusi 24 Juni 2014 itu berjalan terkendali dan tanpa akhir yang dramatis. Padahal, di media sempat dibangun opini kalau eksekusi ini bisa berakhir seperti kasus Mesuji di era prareformasi dulu.
Meskipun demikian, setelah eksekusi, tetap saja berkembang opini bahwa aparat bertindak brutal dalam menghalau massa dan mengakibatkan jatuhnya korban dari kalangan petani.
Hal ini dibantah keras oleh Kapolres Karawang AKBP Daddy Hartadi. "Petani, tidak ada petani disini. Enggak ada yang ditembak, semua kondusif," kata Daddy Hartadi.
Jauh sebelum aksi menentang proses eksekusi, 11 Juli 2013, masyarakat juga pernah digerakkan untuk menutup jalan tol Jakarta-Cikampek di Kilometer 44, tepatnya di wilayah Kecamatan Telukjambe Barat.
Akibat aksi pemblokiran jalan itu, kemacetan parah terjadi di sepanjang jalan Tol Jakarta-Cikampek, baik dari arah Jakarta atau sebaliknya.
Aparat kepolisian dari Polres Karawang sempat membubarkan pengunjukrasa dengan menggunakan water canon. Namun, warga tidak juga bubar dan melakukan aksi perlawanan dengan melakukan pelemparan batu.
(maf)