Demokrasi Indonesia
A
A
A
FIRMAN NOOR
Peneliti LIPI dan Pengajar di Departemen Ilmu Politik FISIP UI
SEKITAR empat belas tahun yang lalu saat George Walker Bush dinyatakan sebagai pemenang presiden mengalahkan Al Gore, penulis sempat tercenung apakah mungkin bangsa Indonesia dapat mengikuti jejak kedewasaan berpolitik masyarakat AS, khususnya yang menghormati hasil pemilihan dengan elegan dan damai.
Saat itu Bush junior menang dengan situasi yang agak unik. Dia memang memenangkan electoral college (EC), kerap ditafsirkan sebagai dewan pemilih, lebih banyak, namun jumlah total suara pemilih (popular vote) dimenangkan oleh Gore.
Sepintas Gore, dengan keunggulan popular vote sekitar setengah juta suara, lebih layak memimpin. Namun, memang dalam sistem pemilihan presiden AS presiden terpilih ditentukan oleh seberapa besar jumlah EC dan bukan oleh jumlah suara yang diperolehnya.
Akhirnya masyarakat dan elite AS taat pada aturan main itu dan mengakui Bush sebagai presiden baru. Tidak terkecuali Gore, yang dengan legawa dapat menerima kekalahan yang menyakitkan itu. Pemilihan presiden pun tidak menjadi sumber konflik berkepanjangan.
Kesadaran Konstitusional
Dengan ditetapkan keputusan MK beberapa waktu lalu, perjalanan pilpres di Tanah Air telah sampai pada tahap akhir. Dengan situasi yang berbeda, namun dalam substansi yang sama, terbangun situasi kondusif yang terjadi hingga hari ini menunjukkan sebuah kualitas kematangan berpolitik bangsa Indonesia yang tidak kalah dengan negara sekaliber AS. Seluruh pihak menerima hasil keputusan MK dengan baik.
Pascapemungutan suara akhir Juli yang menimbulkan kehebohan, hingga akhirnya MK mengambil keputusannya sebulan setelahnya, kehidupan masyarakat secara umum berlangsung normal. Tidak ada upaya-upaya yang sistematis untuk memperkeruh suasana.
Sebaliknya, semua pihak tampak berupaya untuk berkontribusi secara positif dan bersikap secara proporsional dan profesional. Baik pihak teradu maupun yang mengadu siap untuk menjaga berjalannya sidang ini dengan baik. Kalaupun ada kericuhan saat persidangan, terbukti hanya sebuah riak-riak kecil.
Sementara pihak MK telah bersikap profesional. Aspek-aspek yang bernuansakan dugaan, namun tidak dapat dibuktikan secara meyakinkan benar-benar disingkirkan. Afiliasi dan latar belakang politik para hakim juga tampak sama sekali tidak berpengaruh dalam proses pengambilan keputusan mereka.
Kekhawatiran bahwa beberapa hakim akan bersikap bias karena kedekatan dengan partai-partai pendukung kelompok pengadu tertentu terbukti tidak terjadi.
Dengan demikian, penjuru konstitusi dan aturan main telah dikedepankan secara komprehensif para aktor pengambil keputusan pada masa-masa krusial itu. Tidak itu saja, secara umum proses pilpres itu memperlihatkan bahwa kebebasan memilih dan penghormatan terhadap perbedaan telah dipraktikkan dengan elegan. Tidak ada korban nyawa satu pun di tengah salah satu perhelatan yang konon paling menegangkan ini.
Demokrasi di Tengah Mayoritas Muslim
Sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di seantero jagat, kasus pilpres dan pileg damai yang melibatkan lebih dari 133 juta manusia harusnya mampu membuka mata masyarakat dunia atas kemampuan negara dengan mayoritas penduduk muslim ini dalam menjalankan ritual terpenting dalam kehidupan demokrasi.
Apa yang telah terjadi mematahkan mitos atau asumsi bahwa demokrasi tidak dapat berjalan di sebuah negara dengan mayoritas warganya umat Islam.
Kenyataannya, demokrasi telah dianggap sebagai sistem yang terbaik untuk dijalankan di negara ini. Mayoritas rakyat tampak tidak memberikan ruang atas bangkitnya otoritarianisme.
Hasil survei beberapa kalangan, termasuk dari Pusat Penelitian Politik-LIPI, menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat kita menganggap demokrasi sebagai sistem yang baik. Bahkan ada di antaranya yang dengan yakinnya mengatakan sebagai sistem yang terbaik.
Yang terjadi saat ini adalah bukan benar-benar hal yang baru. Pileg 1955 yang berlangsung damai diakui oleh banyak kalangan telah menunjukkan kekhidmatan masyarakat Indonesia dalam berdemokrasi. Secara substansi hasil yang juga patut disyukuri dari pagelaran pilpres adalah semakin terbangun kompromi.
Terlihat bahwa dalam membangun koalisi tidak terpatok pada sentimen primordialisme ataupun sekat nasionalis versus agama (Islam) semata, namun lebih karena persoalan yang jauh lebih prinsipiil.
Tidak mengherankan jika kemudian di masing-masing kubu unsur-unsur nasionalis dapat bergandengan tangan dengan unsur-unsur agama. Tidak saja pada level partai, namun pula di level ormas dan relawan.
Beberapa Catatan
Meski menunjukkan gelagat peningkatan kualitas demokrasi yang membaik, tidak berarti demokrasi kita telah sempurna. Jelas harus diakui di sana-sini masih banyak kelemahan dan bahkan kemunduran.
Di antara masalah klasik itu adalah persoalan penyakit kronis menahun DPT yang tidak kunjung dapat diselesaikan. Padahal DPT adalah salah satu elemen kunci baik dan buruk penyelenggaraan pemilu.
Uniknya, tahun inilah terjadi situasi di mana jumlah suara seorang kandidat pileg dapat jauh melebihi DPT. Kinerja penyelenggara pemilu juga masih belum memuaskan. Teguran DKPP atas KPU dan pemecatan di level KPUD adalah bukti belum seutuhnya performa baik itu terjaga.
Belum lagi keberatan dari banyak partai yang tersingkir pada Pemilu 2014 (Anam, 2013). Sementara Bawaslu dalam batas tertentu tampak belum benar-benar berdaya meski beberapa kewenangan dan perbaikan tunjangan sudah jauh membaik saat ini.
Begitu pula dengan sikap tidak dewasa dan keberpihakan yang berlebihan dari berbagai institusi yang seharusnya menjadi penopang demokrasi. Mulai dari media massa hingga lembaga survei dan polling tidak terbebas dari virus yang menggerogoti upaya pendidikan politik masyarakat yang imbang, santun, dan bernalar.
Sedihnya, sikap seperti itu juga menjalar ke beberapa tokoh yang selama ini konon dipandang sebagai demokrat atau aktivis yang memperjuangkan nilai-nilai perbedaan, baik dalam situs pribadi maupun komentar lepasnya di beberapa media.
Berbagai catatan buruk itu juga tidak terlepas dari kondisi partai yang secara umum masih dikelola jauh dari modern. Begitu pula sistem pemilu yang justru makin mendorong individualisme dan pragmatisme.
Mudah-mudahan di kemudian hari ihwal seperti itu tidak terulang kembali sehingga kualitas demokrasi kita dapat semakin menjulang tinggi.
Peneliti LIPI dan Pengajar di Departemen Ilmu Politik FISIP UI
SEKITAR empat belas tahun yang lalu saat George Walker Bush dinyatakan sebagai pemenang presiden mengalahkan Al Gore, penulis sempat tercenung apakah mungkin bangsa Indonesia dapat mengikuti jejak kedewasaan berpolitik masyarakat AS, khususnya yang menghormati hasil pemilihan dengan elegan dan damai.
Saat itu Bush junior menang dengan situasi yang agak unik. Dia memang memenangkan electoral college (EC), kerap ditafsirkan sebagai dewan pemilih, lebih banyak, namun jumlah total suara pemilih (popular vote) dimenangkan oleh Gore.
Sepintas Gore, dengan keunggulan popular vote sekitar setengah juta suara, lebih layak memimpin. Namun, memang dalam sistem pemilihan presiden AS presiden terpilih ditentukan oleh seberapa besar jumlah EC dan bukan oleh jumlah suara yang diperolehnya.
Akhirnya masyarakat dan elite AS taat pada aturan main itu dan mengakui Bush sebagai presiden baru. Tidak terkecuali Gore, yang dengan legawa dapat menerima kekalahan yang menyakitkan itu. Pemilihan presiden pun tidak menjadi sumber konflik berkepanjangan.
Kesadaran Konstitusional
Dengan ditetapkan keputusan MK beberapa waktu lalu, perjalanan pilpres di Tanah Air telah sampai pada tahap akhir. Dengan situasi yang berbeda, namun dalam substansi yang sama, terbangun situasi kondusif yang terjadi hingga hari ini menunjukkan sebuah kualitas kematangan berpolitik bangsa Indonesia yang tidak kalah dengan negara sekaliber AS. Seluruh pihak menerima hasil keputusan MK dengan baik.
Pascapemungutan suara akhir Juli yang menimbulkan kehebohan, hingga akhirnya MK mengambil keputusannya sebulan setelahnya, kehidupan masyarakat secara umum berlangsung normal. Tidak ada upaya-upaya yang sistematis untuk memperkeruh suasana.
Sebaliknya, semua pihak tampak berupaya untuk berkontribusi secara positif dan bersikap secara proporsional dan profesional. Baik pihak teradu maupun yang mengadu siap untuk menjaga berjalannya sidang ini dengan baik. Kalaupun ada kericuhan saat persidangan, terbukti hanya sebuah riak-riak kecil.
Sementara pihak MK telah bersikap profesional. Aspek-aspek yang bernuansakan dugaan, namun tidak dapat dibuktikan secara meyakinkan benar-benar disingkirkan. Afiliasi dan latar belakang politik para hakim juga tampak sama sekali tidak berpengaruh dalam proses pengambilan keputusan mereka.
Kekhawatiran bahwa beberapa hakim akan bersikap bias karena kedekatan dengan partai-partai pendukung kelompok pengadu tertentu terbukti tidak terjadi.
Dengan demikian, penjuru konstitusi dan aturan main telah dikedepankan secara komprehensif para aktor pengambil keputusan pada masa-masa krusial itu. Tidak itu saja, secara umum proses pilpres itu memperlihatkan bahwa kebebasan memilih dan penghormatan terhadap perbedaan telah dipraktikkan dengan elegan. Tidak ada korban nyawa satu pun di tengah salah satu perhelatan yang konon paling menegangkan ini.
Demokrasi di Tengah Mayoritas Muslim
Sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di seantero jagat, kasus pilpres dan pileg damai yang melibatkan lebih dari 133 juta manusia harusnya mampu membuka mata masyarakat dunia atas kemampuan negara dengan mayoritas penduduk muslim ini dalam menjalankan ritual terpenting dalam kehidupan demokrasi.
Apa yang telah terjadi mematahkan mitos atau asumsi bahwa demokrasi tidak dapat berjalan di sebuah negara dengan mayoritas warganya umat Islam.
Kenyataannya, demokrasi telah dianggap sebagai sistem yang terbaik untuk dijalankan di negara ini. Mayoritas rakyat tampak tidak memberikan ruang atas bangkitnya otoritarianisme.
Hasil survei beberapa kalangan, termasuk dari Pusat Penelitian Politik-LIPI, menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat kita menganggap demokrasi sebagai sistem yang baik. Bahkan ada di antaranya yang dengan yakinnya mengatakan sebagai sistem yang terbaik.
Yang terjadi saat ini adalah bukan benar-benar hal yang baru. Pileg 1955 yang berlangsung damai diakui oleh banyak kalangan telah menunjukkan kekhidmatan masyarakat Indonesia dalam berdemokrasi. Secara substansi hasil yang juga patut disyukuri dari pagelaran pilpres adalah semakin terbangun kompromi.
Terlihat bahwa dalam membangun koalisi tidak terpatok pada sentimen primordialisme ataupun sekat nasionalis versus agama (Islam) semata, namun lebih karena persoalan yang jauh lebih prinsipiil.
Tidak mengherankan jika kemudian di masing-masing kubu unsur-unsur nasionalis dapat bergandengan tangan dengan unsur-unsur agama. Tidak saja pada level partai, namun pula di level ormas dan relawan.
Beberapa Catatan
Meski menunjukkan gelagat peningkatan kualitas demokrasi yang membaik, tidak berarti demokrasi kita telah sempurna. Jelas harus diakui di sana-sini masih banyak kelemahan dan bahkan kemunduran.
Di antara masalah klasik itu adalah persoalan penyakit kronis menahun DPT yang tidak kunjung dapat diselesaikan. Padahal DPT adalah salah satu elemen kunci baik dan buruk penyelenggaraan pemilu.
Uniknya, tahun inilah terjadi situasi di mana jumlah suara seorang kandidat pileg dapat jauh melebihi DPT. Kinerja penyelenggara pemilu juga masih belum memuaskan. Teguran DKPP atas KPU dan pemecatan di level KPUD adalah bukti belum seutuhnya performa baik itu terjaga.
Belum lagi keberatan dari banyak partai yang tersingkir pada Pemilu 2014 (Anam, 2013). Sementara Bawaslu dalam batas tertentu tampak belum benar-benar berdaya meski beberapa kewenangan dan perbaikan tunjangan sudah jauh membaik saat ini.
Begitu pula dengan sikap tidak dewasa dan keberpihakan yang berlebihan dari berbagai institusi yang seharusnya menjadi penopang demokrasi. Mulai dari media massa hingga lembaga survei dan polling tidak terbebas dari virus yang menggerogoti upaya pendidikan politik masyarakat yang imbang, santun, dan bernalar.
Sedihnya, sikap seperti itu juga menjalar ke beberapa tokoh yang selama ini konon dipandang sebagai demokrat atau aktivis yang memperjuangkan nilai-nilai perbedaan, baik dalam situs pribadi maupun komentar lepasnya di beberapa media.
Berbagai catatan buruk itu juga tidak terlepas dari kondisi partai yang secara umum masih dikelola jauh dari modern. Begitu pula sistem pemilu yang justru makin mendorong individualisme dan pragmatisme.
Mudah-mudahan di kemudian hari ihwal seperti itu tidak terulang kembali sehingga kualitas demokrasi kita dapat semakin menjulang tinggi.
(hyk)