Alasan Pemilukada Tidak Satu Paket Dinilai Berlebihan
Senin, 01 September 2014 - 02:07 WIB

Alasan Pemilukada Tidak Satu Paket Dinilai Berlebihan
A
A
A
JAKARTA - Alasan pemerintah mengusulkan agar pemilu kepala daerah (pemilukada) tidak satu paket atau hanya memilih kepala daerah dinilai berlebihan.
Seperti diketahui alasan pemerintah mengusulkan pemilukada tanpa wakil kepala daerah di Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilukada karena sebanyak 94% terjadi pecah kongsi di daerah.
"Pecah kongsi yang terjadi biasanya terjadi di akhir jabatan. Lebih dari 90% kepala daerah dan wakilnya akan berhadapan saat pemilukada selanjutnya. Jadi alasan itu berlebihan," kata Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah, Robert Endi Jaweng di Cikini, Jakarta, Minggu 31 Agustus 2014.
Pecah kongsi tersebut, menurut dia, tidak bisa dijadikan data rujukan. Pasalnya pecah pecah kongsi yang terjadi saat ini tidak membahayakan jalannya pemerintahan di daerah. Baginya sah-sah saja dalam politik ketika wakil kepala daerah ikut berkontestasi di periode berikutnya.
"Kecuali pecah kongsinya di awal atau pertengahan masa jabatan. Ini sangat berbahaya. Hal tersebut ada tetapi persentasenya tidak signifikan," katanya.
Selain berlebihan, pemilukada tidak satu paket ini berisiko melahirkan pemimpin yang tidak kuat legitimasinya. Hal ini terjadi karena jika kepala daerah berhalangan tetap seperti meninggal, berkekuatan hukum tetap atau mengalami impeachment maka yang menggantikan wakilnya yang tidak dipilih langsung oleh rakyat.
"Dua-duanya pejabat politik yang tentu harus dipilih oleh rakyat. Mereka kan yang secara langsung mengurus urusan masyarakat," paparnya.
Dia mengkritisi pemerintah yang cenderung mengutak-atik mekanisme yang ada dibanding melakukan penataan. "Pemerintah membuat ribet dirinya sendiri," katanya.
Seperti diketahui alasan pemerintah mengusulkan pemilukada tanpa wakil kepala daerah di Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilukada karena sebanyak 94% terjadi pecah kongsi di daerah.
"Pecah kongsi yang terjadi biasanya terjadi di akhir jabatan. Lebih dari 90% kepala daerah dan wakilnya akan berhadapan saat pemilukada selanjutnya. Jadi alasan itu berlebihan," kata Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah, Robert Endi Jaweng di Cikini, Jakarta, Minggu 31 Agustus 2014.
Pecah kongsi tersebut, menurut dia, tidak bisa dijadikan data rujukan. Pasalnya pecah pecah kongsi yang terjadi saat ini tidak membahayakan jalannya pemerintahan di daerah. Baginya sah-sah saja dalam politik ketika wakil kepala daerah ikut berkontestasi di periode berikutnya.
"Kecuali pecah kongsinya di awal atau pertengahan masa jabatan. Ini sangat berbahaya. Hal tersebut ada tetapi persentasenya tidak signifikan," katanya.
Selain berlebihan, pemilukada tidak satu paket ini berisiko melahirkan pemimpin yang tidak kuat legitimasinya. Hal ini terjadi karena jika kepala daerah berhalangan tetap seperti meninggal, berkekuatan hukum tetap atau mengalami impeachment maka yang menggantikan wakilnya yang tidak dipilih langsung oleh rakyat.
"Dua-duanya pejabat politik yang tentu harus dipilih oleh rakyat. Mereka kan yang secara langsung mengurus urusan masyarakat," paparnya.
Dia mengkritisi pemerintah yang cenderung mengutak-atik mekanisme yang ada dibanding melakukan penataan. "Pemerintah membuat ribet dirinya sendiri," katanya.
(kri)